Friday, August 26, 2011

Uang... Uang...

oleh Juan Mahaganti pada 19 November 2010 jam 10:19
Berbahagialah orang yang menghargai didikan, demikian kata Amsal Salomo. Jadi berbahagialah orang yang membaca tulisan ini. Jangan memandangnya dari sudut pandang orang yang menulis, tetapi pandanglah dari sudut pandang kebijaksanaan yang mengalir dari tiap kata-kata yang keluar dari pikiran sang penulis. Pertimbangkanlah itu dengan akal sehat. Jangan telan mentah-mentah karena itu adalah kebodohan. Seperti kata Buddha yang bijak, ujilah itu dan jika itu berhasil, lakukanlah itu. Perlakukanlah itu seperti seorang ilmuwan yang menguji theorinya. Segalanya harus diletakan pada meja pengadilan akal sehat dan praktik kehidupan. Dan seperti kata-kata Yesus, “engkau akan melakukan perintahku dan engkau akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran akan memerdekakanmu.” Juan Mahaganti bukan Yesus, Juan Mahaganti adalah lambang kebodohan, kemunafikan dan kebohongan jika engkau menyelidiki hidupnya dengan mikroskop moralitas. Tetapi paling tidak pertimbangkanlah sedikit, kata-kata seorang manusia biasa yang baru menjalani kehidupan sederhana dan dangkal selama 24 tahun terakhir. Berbahagialah engkau yang membaca ini.
Entah kegialaan apa yang menyerangku malam ini, tetapi aku ingin menulis layaknya para nabi.
Datanglah padaku malam ini penglihatan tentang kebenaran. Kebenaran yang menyedihkan tentang sebuah masyarakat bernama masyarakat Indonesia. Masyarakat dalam kondisi tanpa nilai murni yang bisa dijunjung. Tanpa nilai keindahan untuk dipuja, kecuali nilai ketamakan dan keinginan untuk memiliki lebih. Sebuah masyarakat tanpa pegangan yang kokoh. Suatu masyarakat yang mengaku beragama tetapi bertindak selayaknya para pemuja berhala serapah, berhala bernama uang. Uang adalah satu-satunya pegangan masyarakat ini, tetapi pegangan itu sangat rapuh dan tanpa moralitas. Uang tidak berbicara, uang tidak bernapas, uang tidak berpikir, tetapi uang seakan-akan menjadi dasar pembicaraan, alasan bernapas, dan cara berpikir masyarakat ini. Inilah masyarakat penyembah uang, masyarakat Indonesia. Kita bukan lagi menilai orang dari
Menyelidiki uang sudah menjadi bagian hidupku selama beberapa tahun terakhir. Dengan kenyataan bahwa aku ditamatkan dari sekolah bisnis, dan ketertarikanku yang mendalam tentang uang. Tetapi apa yang membuatku merinding adalah begitu besarnya pengaruh uang atas orang-orang sekitarku. Tentu saja uang bukanlah setan, tetapi cinta akan uang adalah akar segala setan. Dan masyarakat ini adalah masyarakat yang terlalu cinta uang.
Ambil seorang anak kecil dan lihatlah ketulusan hatinya. Tanyakan padanya apa cita-citanya di masa depan. Ambil contoh dia menjawab bahwa dia ingin menjadi dokter. Tanyakan lagi kenapa dia ingin menjadi dokter, dan mungkin dia menjawab karena dia ingin menolong orang yang sakit. Sebuah alasan yang murni, penuh nilai kebaikan. Tanyakan lagi pada seorang anak lain tentang cita-citanya, dan dia akan berkata bahwa cita-citanya adalah menjadi polisi karena dia ingin menciptakan masyarakat yang aman dan tentram. Kamu bisa mengambil contoh ribuan anak kecil dan anda akan melihat jawaban tulus yang sama. Tetapi seperti kata-kata puisi yang dulu pernah saya dengar yang sudah saya lupa siapa penulisnya dan dimana saya membacanya berkata; dunia begitu indah pada masa kanak-kanak sebelum kegilaan masa dewasa menelannya.
Sekarang, ambil orang dewasa dari masyarakat Indonesia ini dan tanyakan pertanyaan yang sama. Kenapa kamu ingin menjadi dokter? Karena pekerjaan sebagai dokter menawarkan keamanan keuangan sehingga walaupun mahal menjadi dokter, tidak apa-apa karena anggaplah itu investasi masa depan. Ambil seorang pengusaha yang ingin menjadi bupati dan tanyakan kenapa dia ingin menjadi bupati. Jika dia menjawab bahwa dia ingin melayani masyarakat, dia adalah orang munafik (walaupun tidak semua demikian). Kebanyakan dari mereka menjadi “pelayan masyarakat” karena mereka ingin mendapatkan uang yang lebih banyak. Jadi uang adalah tujuan akhir dari segalanya.
Ketika kita mulai bersekolah, kita mengimpikan sertifikat setelah kita lulus. Tetapi sertifikat bukanlah segalanya, tetapi ilmu yang kita dapatkan selama proses pembelajaran itu. Dan kita menghargai sertifikat itu, justru setelah mengetahui betapa banyak pengorbanan yang telah kita dapatkan untuk mendapatkan sertifikat itu, dan betapa kertas tidak berharga itu menjadi berharga setelah kita melihat kebelakang akan pencapaian dan ilmu yang kita sudah dapatkan untuk mendapatkan sertifikat tersebut. Tetapi apa yang terjadi ketika kita mulai bersekolah hanya dengan tujuan mendapatkan sertifikat? Kita menghalalkan segala cara untuk itu. Kita menganggap menyontek bukan lagi dosa, dan lebih buruk, kita membayar untuk sertifikat tersebut tanpa mempedulikan pendidikan yang seharusnya kita dapatkan,dan bahwa sertifikat tersebut adalah pengakuan atas pendidikan kita, dan bukan sebaliknya bahwa pengetahuan kita membuktikan kesahihan sertifikat tersebut. Apa yang terjadi jika kita mengutamakan sertifikat dari pada pendidikan? Kita menjadi orang bodoh, manja, tanpa moralitas dan hanya berpuas untuk barang yang sebenarnya semu, sertifikat yang adalah kertas tanpa arti dan tanpa guna.
Demikian juga dengan memperoleh uang. Uang adalah sebuah sertifikat penghargaan. Ketika saya menjual barang atau jasa lebih baik dari saingan saya, maka orang akan datang dan membeli barang saya lebih dari saingan saya, dan memberikan bagi saya sertifikat penghargaan atas kebaikan saya dalam menyediakan barang yang lebih baik dan sertifikat ini adalah uang. Lebih baik kita bekerja, lebih bijak kita mengambil resiko maka lebih banyak sertifikat penghargaan yang kita dapatkan. Piagam ini adalah uang. Tetapi bukanlah sertifikat yang utama, sertifikat adalah bagian dari pencapaian, tetapi proses pencapaian, itu yang utama. Ketika kita mengutamakan uang diatas segala-galanya, kita menjadi orang manja dan tanpa mau bekerja. Kegagalan pasti membayangi kita, seperti seseorang yang mulai bersekolah hanya untuk sertifikat, kita mulai bekerja hanya untuk uang. Malah kita menganggap pekerjaan bukanlah pengabdian, tetapi cara untuk memperoleh uang. Tentu tidak salah jika kita memiliki uang, dan uang banyak. Tetapi apakah uang adalah akhir dari segalanya? Bukan, uang adalah sertifikat atas pencapaian yang kita peroleh. Tetapi proses mencapai itulah yang utama. Bukan berarti saya tidak cinta uang. Saya cinta sekali uang, seperti saya cinta nilai A di sertifikat kelulusan saya. Tetapi apalah arti sertifikat itu ketika saya memperolehnya tanpa kerja keras? Sertifikat itu tidak berharga sama sekali. Uang yang diperoleh dengan kerja keras akan terasa jauh lebih nikmat dari pada uang yang gampang didapat.
Apa yang terjadi ketika saya menempatkan uang diatas segala-galanya? Saya menjadi tidak fokus atas pekerjaan saya. Sebagaimana seorang murid yang menghadapi ujian hanya untuk mendapatkan sertifikat, bukan pendidikan, saya menghalalakan segala cara. Hati saya menjadi lembek menghadapi cobaan. Saya akan lebih mudah menyontek. Tetapi apakah ini menimbulkan akibat positif bagi masa depan saya? Menyontek membuat saya lebih bodoh, dan itu juga membuat saya gagal menjadi orang yang baik. Saya menjadi tidak fokus akan tujuan saya, yaitu menjadi pintar. Dan saya pada akhrinya menjadi murid yang gagal. Demikian ketika kita bekerja hanya demi uang. Kita menjadi orang yang penuh perhitungan. Kita menghitung untung rugi ketika bekerja, sehingga kita menjadi orang yang tidak fokus terhadap profesionalits. Usaha kita menjadi setengah-setengah. Kita tidak akan pernah serius, karena kita hanya memperhatikan garis akhir bukan cara melewati lintasan. Memang tujuan kita adalah mencapai garis akhir, tetapi ada lintasan lari yang harus kita lewati antara garis awal dan garis akhir dan disitulah seharusnya fokus kita yang utama.
Apa yang terjadi ketika seorang siswa kedokteran masuk sekolah kedokteran hanya karena uang yang akan dia dapatkan setelah kelak dia menjadi seorang dokter? Dia mulai tidak fokus atas tanggung jawab sejati ketika dia menjadi dokter. Dia fokus pada cintanya yang sebenarnya; Uang. Dia tidak fokus pada pelayannya, pada sumpah kedokterannya, pada profesionalitasnya. Dan setelah dia lulus nanti, coba terka dokter seperti apakah dia nanti? Dia bukanlah orang yang mencintai pekerjaannya, karena dia seperti orang yang terperangkap pada keadaan di mana dia terpaksa ada disini karena cintanya pada uang, bukan karena cintanya terhadap profesi kedokteran. Dia mungkin sebelumnya mencintai pekerjaan lain yaitu menjadi seorang pelukis. Dan akhirnya dia menjadi tidak fokus antara melukis dan menjadi seorang dokter. Dia menjadi dokter yang tidak professional. Dan pelayannya tentu saja akan dia jual dengan harga mahal, mengingat bahwa cintanya sebenarnya bukan melayani sebagai seorang dokter, tetapi uang yang dicarinya. Apa yang terjadi ketika seorang guru menjadi pengajar karena uang, bukannya karena dia ingin melayani sebagai seorang guru? Dia menjadi pengajar yang mendua hati, antara mengajar dan usaha mengejar uang. Maka seperti murid yang hanya mengejar sertifikat dan gampang tergoda, guru ini adalah guru yang paling rentan terhadap suap. Dia akan sangat mudah disuap dengan godaan uang. Dengan mudahnya dia akan merubah nilai siswa untuk uang. Apa yang terjadi jika seorang polisi menjadi polisi karena alasan uang dan bukannya melayani masyarakat? Seperti seorang guru, dia akan gampang disuap. Apa yang terjadi jika seorang pengusaha menjadi bupati bukan karena ingin melayani tetapi karena alasan uang? Anda terka sendiri apa yang terjadi. Benar, korupsi adalah halal baginya. Mengambil sedikit disini, pungli sedikit disana, mark-up sedikit disini, kolusi sedikit disana, bukan lagi masalah, karena uanglah alasan utamanya. Politik uang bukanlah hal tabu baginya, karena dia tidak peduli lagi dengan moralitas karena yang utama baginya adalah menang dan mendapatkan lebih banyak uang. Ketika seorang pemilih memilih calon pemimpinya dan hanya cinta uang, apa yang akan terjadi? Tentu akal sehatnya akan tertutup dengan uang dan dia akan memilih pemimpin secara serampangan dan memilih hanya karena dasar uang. Dan apa yang terjadi ketika masyarakat diberikan para pekerja penting seperti dokter, guru, polisi, dan bupati yang hanya cinta uang seperti di atas segala-galanya? Kekacauan. Itulah yang terjadi dalam masyarakat gila bernama Indonesia ini. Dari tingkat masyarakat pemilih jelata paling bawah, para guru dan polisi pelayan masyarakat, para professional seperti dokter dan pengacara, sampai para pemimpin politik pada tingkat atas menjadi gila akan satu hal; UANG. Dan jangan heran jika anda melihat masyarakat ini berubah menjadi masyarakat gila.
Bagaimana seharusnya cara kita melihat uang? Saya belajar banyak hal dari teman-teman saya orang tionghoa. Kalau ada bangsa didunia ini yang paling tidak cinta uang, maka itu adalah orang Tionghoa. Kedengaran lucu mengingat stigma orang Cina yang selama ini kita anggap sebagai bangsa cinta uang. Tapi setelah mengenal orang Cina dengan dekat, saya yakinkan anda satu hal, mereka adalah orang yang paling tidak cinta uang yang pernah saya kenal, berbeda dengan orang Indonesia yang saya anggap adalah bangsa paling SERAKAH yang pernah saya lihat. Orang Cina bukan bangsa yang cinta uang, tetapi bangsa yang paling professional. Anda bisa katakan bahwa saya berhayal dengan berkata demikian. Tetapi kalau anda tidak percaya dengan perkataan saya, saya tantang anda untuk bersahabat dengan orang Cina yang orang tuanya punya pekerjaan berbeda-beda. Tentunya yang paling ditemukan adalha orang Cina yang pekerjaannya pengusaha. Tentu saja anda akan dengan mudah berkata bahwa mereka pelit. Tentu saja mereka harus pelit, karena pekerjaan mereka adalah tentang mengolah uang, dan mereka harus mengelolanya sebaik-baiknya. Seorang pengusaha sudah seharusnya berhati-hati mengeluarkan uang, seperti seorang dokter harus bisa melayani sebagaimana buruknya kondisi seorang pasien, atau pendeta yang harus tahu isi Alkitab. Jadi seorang pengusaha Cina yang berhati-hati mengeluarkan uang adalah seorang pengusaha professional. Sekarang, coba kenal dengan dekat seorang Cina yang punya pekerjaan sebagai Dokter. Anda akan temukan mereka tidak sepelit yang pengusaha. Tetapi mereka akan melayani sepenuh hati sebagaimana seorang dokter. Saya teringat cerita seorang Dokter Tionghoa yang sudah melegenda di Siau bernama Dr. Ngantung. Beliau sekarang membuka praktik di Hotel Crown dekat Jembatan Megawati. Orang Siau sangat mencintai Dr. Ngantung walaupun dia seorang Tionghoa karena dia dokter yang memang benar-benar seorang dokter. Sampai sekarang orang tua saya kalau punya keluhan kesehatan selalu pergi ke tempat praktek Dr. Ngantung. Dia mengabdikan seluruh hidupnya untuk melayani dengan ketulusan dan bahkan sebegitu lamanya dia melayani orang Siau, dia bahkan sangat lancar berbahasa Siau. Bayangkan pelayanan seperti ini. Lalu anda cari seorang Tionghoa yang dengan pekerjaan lain seperti pendeta. Anda akan temukan profesionalitas disitu, bukan profesionalitas palsu untuk mendapatkan uang, tetapi karena kecintaan mereka terhadap pekerjaan itu. Orang Tionghoa pengusaha menjadi pelit adalah hal yang sepantasnya karena pekerjaannya sebagai seorang pengusaha. Tetapi kenyataan bahwa kebanyakan orang Tionghoa berprofesi sebagai pengusaha, dan sebagai pengusaha yang baik mereka harus pelit, membuat kita meng-generalisir bahwa semua orang Tionghoa itu pelit. Tetapi mereka tidak pelit, mereka profesioal. Kalau anda temukan seorang Tionghoa penjudi, anda akan terkejut dengan betapa gilanya mereka berjudi dan tidak cinta uang. Tetapi kita lihat apa yang terjadi dengan para pengusaha, pendeta, dokter, pebulu tangkis, ilmuwan, juru masak, Tionghoa. Mereka sukses, apakah mereka pelit? Apakah karena mereka cinta uang? Bukan, justru sebaliknya, mereka tidak cinta uang, tetapi mereka cinta pekerjaan. Mereka ingin hidup yang lebih baik dengan pekerjaan yang mereka lakukan dan uang menyusul kemudian dan menjadi bagian dari kesuksesan itu. Bandinkan dengan para Hua Na alias orang pribumi. Kita adalah orang paling serakah. Kita tidak suka pekerjaan kita dan lebih banyak menuntut uang. Belum belum bekerja dengan baik, kita sudah menuntut gaji lebih. Kita meletakan uang pertama, kita serakah, ketika menjadi dokter belum apa-apa dalam melayani, kita sudah hitung-hitungan. Ketika si majikan Tionghoa membandingkan antara gaji dan pekerjaan kita, kita mengeluh bahwa mereka pelit, padahal kalau kita rajin berkaca, kita akan sadar bahwa bukan mereka yang pelit tetapi kita yang terlalu serakah. Kita mementingkan uang diatas segala-galanya melebihi kecintaan terhadap pekerjaan kita. Hasilnya? Kita tidak akan pernah sukses. Si Tionghoa udah kaya raya di Istana Ceria, kita si serakah hidup sengsara di Gubuk Derita.
Bayangkan ketika kita memulai perjalan dan menggunakan peta yang salah. Apakah kita akan mencapai tujuan? Begitu juga ketika kita mulai perjuangan dalam hidup. Ketika kita memutuskan untuk memulainnya dengan uang di kepala kita, kita menggunakan peta yang salah. Bukannya mencapai uang yang banyak, kita malah akan tetap menjadi pecundang sampai kita mati. Begitulah dengan masyarakat yang memulai dengan peta yang salah. Ketika anggota-anggota masyarakat memulai segala sesuatu dengan uang diotaknya maka korupsi, kolusi, nepotisme, kekacauan, kemelaratan, kebohongan, manipulasi, diktatorisme, dan segala hal buruk lainnya yang menjadi muara masyarakat ini. Ketika anak-anak muda memilih jurusan untuk karir masa depan mereka atas dasar uang, masyarakat ini akan kacau balau. Para anak muda memilih menjadi polisi karena uang, lainnya memilih menjadi dokter karena alasan uang, lainnya menjadi akuntan, suster, mantri, pakar computer, pakar bahasa, JAKSA dan sebagainya, bukan karena itu bidang yang mereka cintai, tetapi karena itu mendatangkan uang yang banyak. Hasilnya? Polisi yang korup, dokter yang sering malpraktek dan biaya kesehatannya kemahalan, guru-guru yang bisa disuap, jaksa-jaksa yang bisa disogok, akuntan yang bisa diatur agar main kotor, pakar computer yang tidak professional karena hobinya sebenarnya adalah bermain basket, dan kekacauan lainnya karena masyarakat ini tidak mampu menciptakan tenaga yang professional. Mereka menjadi masyarakat tanpa impian, tanpa mimpi, karena impian sebenarnya, impian murni seperti menjadi dokter karena ingin melayani, menjadi guru karena ingin memberi inspirasi, menjadi tentara untuk membela Negara, semua alasan murni dan tulus ini sudah terkubur karena satu mimpi buruk: menciptakan uang. Dan bukannya uang yang kita ciptakan malah kekacauan. Bukannya kesuksesan, malah kemunduran.
Wabah ketamakan ini mewabah bahkan sampai kerimba politik. Rakyat memilih karena uang, bertemu dengan politikus yang mencalonkan diri karena uang, cocoklah. Kalau anda seorang pemilih yang memilih karena dibayar, jangan tanya kenapa pemimpin ini bisa korup. Lihat ke cermin dan anda akan lihat siapa penyebab sebenarnya kekacauan ini. Kita adalah bangsa yang terlalu serakah!!!!
Apakah saya menyarankan agar kita membenci uang? Tentu tidak. Uang adalah salah satu hal paling penting dalam kebudayaan manusia. Tetapi uang hanyalah alat untuk mencapai kebaikan dan bukan kebaikan itu sendiri. Seperti kata Alkitab, CINTA akan uang adalah akar segala kejahatan, bukan Uang itu sendiri, tetapi cinta yang berlebihan akan uang. Mari kita jadikan uang bukan alasan utama, jadikan itu sebagai salah satu pertimbangan penting tetapi bukan yang terpenting. Kalau anda belum lulus SMA dan mau melajutkan perguruan tinggi, jangan dengar tentang kata-kata orang tentang jurusan anda yang katanya kurang lapangan pekerjaan. Jika engkau dedikasikan dirimu pada bidangmu, engkau menjadi orang yang pakar dan pada saat yang sama melakukan apa yang paling engku sukai dan kesuksesan akan mengikutimu. Kalau anda orang yang sudah bekerja, cintai pekerjaan anda dan jangan terlalu tamak dan sering memikirkan uang. Kalau anda tidak bisa mencintai pekerjaan itu, evaluasi lagi diri anda, apakah ini pekerjaan yang memang saya cintai? Kalau tidak, berhenti dan cari pekerjaan yang anda cintai. Hidup di bumi hanya sekali dan jangan sia-siakan itu dengan menghabiskan waktu mengerjakan hal yang tidak anda sukai. Memaksakan diri anda terhadap anda melaksanakan hal yang anda tidak sukai adalah seperti hidup dalam neraka.
Dan untuk siapapun yang membaca ini, mari kita evaluasi diri kita masing-masing. Apakah saya orang yang telalu mencintai uang sehingga mengorbankan orang lain, bahkan diri kita sendiri? Apakah saya penghancur masyarakat ini karena mencintai uang secara berlebihan? Apakah saya memilih kandidat politik karena uang? Kalau ya, saya harus bertobat karena itu adalah dosa yang sangat-sangat besar. Apakah saya orang yang suka menerima suap? Apakah saya orang yang suka merugikan orang lain karena terlalu cinta uang? Ingat saudara, cinta uang itu akar segala kejahatan. AKAR SEGALA KEJAHATAN. Bukan hanya kehancuran orang lain, tetapi diri anda sendiri. Orang yang terlalu cinta uang tidak akan pernah berhasil, seperti murid yang terlalu mencintai sertifikat bukannya mencintai didikan. Berbahagialah mereka yang mencintai didikan, bukannya mencintai sertifikat dan titel.
PS. Saya takut dan ragu ketika menulis tulisan ini. Hidup saya selamanya akan dinilai dari setiap tulisan yang saya buat. Saya mengambil resiko dengan sok suci, tetapi percayalah saya orang paling menjijkan di muka bumi. Saya menulis karena saya hanya sekedar suka menulis. Jangan jadikan ini sebagai bahan referensi dari Juan Mahaganti, Juan Mahaganti adalah orang yang sebegitu jahatnya sampai-sampai dia merasa tidak yakin dengan kebaikannya. Pembaca bebas mengutip apapun dari tulisan ini tanpa memberi kredit bagi Juan Mahaganti. Saya takut menjadi orang suci karena saya bukanlah salah satunya, saya orang berdosa, penuh dosa yang hanya sok tahu. Tetapi tolong jangan lihat dari sudut pandang penulisnya, memang sulit karena kita cenderung menerima informasi berdasarkan pemberi informasi. Tetapi ini hanyalah sudut pandang saya yang saya anggap kebijksanaan universal yang kalau kita semua praktekan bisa membawa kebaikan. Saya tidak mengklaim disini bahwa saya suatu hari akan sukses. Seperti yang saya sampaikan dalam tulisan sebelumnya bahwa saya ini punya kemungkinan besar ended up as a loser. Tetapi tolong sekali lagi jangan dilihat siapa penulisnya, tetapi kata-kata didalamnya. Apakah saya orang yang tidak suka jadi kaya??? Kalau saya bilang saya tidak suka jadi kaya, saya munafik… Saya suka jadi kaya, sebagaimana saya suka dapat sertifikat ijasah dengan nilai baik. Tetapi kaya bukanlah segalanya. Berbuatlah yang terbaik dengan memikirkan proses, tanggung jawab, nilai, bukan karena ujung-ujungnya uang.

No comments: