Friday, August 26, 2011

Mitos liberalisme


oleh Juan Mahaganti pada 26 Juni 2009 jam 19:22


Mitos : Liberalisme adalah paham yang tidak bermoral. Banyak orang menuduh liberalisme/kapitalisme menuntun kepada imoralitas, pada keserakahan, ketidak adilan, kejahatan, kemaksiatan, dan banyak hal jahat lainnya. Bahkan seorang murid saya pernah memakai sebuah kaos dengan tulisan “capitalism stole my virginity”.



Fakta : Moral adalah kemampuan kita dalam hal membedakan mana yang benar, mana yang salah. Mana yang baik dan mana yang jahat. Perlu diketahui bahwa moral jauh lebih besar dan murni dari adat. Beberapa adat istiadat bisa saja tidak bermoral, tetapi semua yang benar berasal murni dari dalam akal sehat dan nurani kita, yang tidak bisa kita bohongi. Itu adalah anugerah pencipta bagi kita semua. Manusia adalah satu-satunya makhluk dengan nilai moral. Anjing tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang jahat.



Secara moral, liberalisme lebih unggul dari faham sekuler apapun. Banyak pakar ekonomisalah dengan membela kapitalisme karena kapitalisme menciptakan kesejahteraan, tetapi kadang-kadang mengakui bahwa kapitalisme menciptakan kejahatan, sehingga dianggap, kapitalisme adalah “necessary evil” (kejahatan yang diperlukan) untuk menciptakan kesejahteraan. Pandangan yang salah ini tentu saja memperburuk citra liberalisme. Liberalisme menurut Walter Williams, sebenarnya bukan seharusnya dibela dari segi argument ekonomi, tetapi lebih dari sisi moralitas, karena liberalism adalah faham dengan yang paling superior dari sisi moralitas. Sehingga, walaupun liberalisme gagal dalam mengelola ekonomi, tetapi secara moral, liberalism tidak terbantahkan. Sehingga, liberalisme harus dipertahankan dengan argument yang jauh melebihi sekedar argument bahwa liberalisme baik untuk ekonomi, tetapi juga baik untuk kemanusiaan secara universal.



Liberalisme didasarkan kepada hak individu atas anugerah pencipta yang tidak bisa diambil oleh siapapun. Liberalisme menciptakan kebahagiaan bagi siapapun, selama kebahagiaan tersebut tidak mengganggu kebahagiaan orang lain. Bukti memperlihatkan bahwa bangsa modern yang beradab adalah bangsa yang menghargai hak orang lain. Negara-negara besar seperti AS dan Inggris, tidak tercipta dari pemaksaan kehendak terhadap warganya, tetapi melalui consensus yang tercipta secara damai dan demokratis, tanpa adanya pemaksaan dan pelanggaran hak asasi manusia. Tetapi harus diingat bahwa kesejahteraan ekonomi “hanyalah produk sampingan dari liberalisme” (Williams, 2004). Produk utamanya adalah kemerdekaan, apakah ada hal yang lebih bermoral dari ini?



Kembali ke pernyataan di atas : “capitalism stole my virginity”. Apakah memang kebebasan yang mengakibatkan keperawanannya terenggut? Atau jika pernyataanya: apakah kebebasan yang mengakibatkan imoralitas? Tentu saja tidak! Kebebasan membutuhkan tanggungjawab pribadi. Bukan kebebasan yang menciptakan imoralitas tersebut, tetapi diri anda sendiri. Ada pilihan lain untuk mencegahnya, yaitu dengan menghilangkan kebebasan (dengan pemaksaan, koersi, kekerasan dll), sehingga tidak terwujudnya imoralitas. Tetapi bukankah dengan demikian kita menciptakan lebih banyak imoralitas?



Mitos : Liberalisme adalah paham yang tidak berkeadilan, paham yang menciptakan ketidak adilan. Tuduhan yang sering di alamatkan katanya liberalisme kapitalisme menciptakan perbedaan kelas, ketimpangan ekonomi, yang kaya semakin kaya dan miskin semakin miskin sehingga tercipta kesenjangan pendapatan.


Fakta : Diantara banyaknya tuduhan, ini yang paling sering didengungkan. Sebagaimana menjawab mitos diatas, dengan mewujudkan pengertian bersama tentang apa itu keadilan, kita bisa melangkah dengan pengertian yang lebih baik. Bagaimana sebenarnya keadilan itu? Ketika saya masih kecil dulu, duduk berdampingan dengan kakak saya yang terpaut 6 tahun, duduk menanti sarapan yang akan diberikan, ibu saya memberikan porsi yang lebih banyak kepada kakak saya karena tahu kemampuan makan kakak saya dan saya berbeda. Apakah ini bisa disebut keadilan? Tentu saja karena masing-masing menurut kemampuannya. Ketika saya sekarang mengajar di sebuah kelas. Bagi murid yang malas, saya berikan nilai lebih rendah sedangkan yang rajin saya berikan nilai yang lebih tinggi. Apakah ini keadilan? Sekali lagi, ya, karena saya memberi sesuai dengan yang mereka usahakan.



Dalam pikiran banyak orang yang anti liberalisme, mereka punya kesamaan visi atas ketidak adilan yang tercipta dalam system kebebasan. TEtapi sayangnya, hayalan ketidak adilan ini mereka dasarkan hanya atas hasil akhir dan bukan prosesnya (William, 2004). Prof. Hayek, berusaha menjawab kritik ini dengan meyakinkan bahwa jangan hanya melihat ketidak adilan dari hasil akhir, tetapi yang paling utama, keadilan dalam proses. Contohnya, dalam sebuah kelas, terdapat ketimpangan hasil akhir. Ada yang dapat F dan ada yang dapat A.Tetapi ini adalah keadilan, seandainya memang prosesnya adil. Ketika murid berusaha sesuai kemampuannya dan mendapat nilai sesuai dengan kemampuannya, itulah keadilan. Akan sangat tidak adil seandainya semuanya mendapat A. Bukan saja tidak adil, tetapi juga akan menghasilkan proses belajar yang tidak kompetitif dan produktif, karena tidak ada murid yang mau berusaha sejak mereka tahu bahwa sekeras apapun mereka berusaha, mereka tetap akan dapat A. Bahkan menurut Prof. Friedman dalam “Free to Choose”, bukan saja tidak adil dan kontra produktih, malah tidak menyenangkan. Tidak ada orang yang akan menikmati hidup seandainya “keadilan hanya berdasar hasil akhir” ini diterapkan. Kita sendiri sudah lahir “tidak adil”. Ada yang dilahirkan sudah kaya, tampan dan cantik, ada yang pintar nyanyi, ada yang pintar memimpin, berbakat jadi dokter, jadi pilot, ada yang dilahirkan cacat, ada yang buta, ada tidak terlalu pintar, ada yang brilliant. Memang “tidak adil”, tetapi kalau anda lihat justru itulah keadilan yang Maha Kuasa. Kalau semuanya dilahirkan pintar bermain music, siapa yang akan menjadi penikmat music. Kalau semua dilahirkan berbakat memimpin, siapa yang akan menjadi pengikut? Yang membuat saya heran, kenapa para kaum egaliter (ingin masyarakat sederajat), begitu getol agar kita menjadi sejajar semua secara ekonomi, sedangkan kita sendiri lahir secara “tidak merata”. Milton Friedman mengejek anggapan ini dengan begitu brilliant. Menurutnya, kalau memang anda ingin dunia adil, maka sederhana, semua yang terlahir pintar bermusik, jangan dilatih bermusik. Sedangkan yang tidak bisa bermusik harus diajari bermain music, sehingga kemampuan semua manusia sejajar. Tetapi bukankah ini hal yang sangat bodoh? Bukan hanya merugikan sang empunya bakat, tetapi merugikan seluruh masyarakat yang tidak bisa menikmati keindahan music yang dihasilkan empunya bakat.



Dalam liberalisme, anda mendapatkan sesuai dengan apa yang anda usahakan. Kerja keras anda menentukan hasil akhir yang anda dapat. Walter Williams mengilustrasikan dengan luar biasa gamblangnya system penghargaan (reward) ini. Menurutnya, dalam masyarakat kapitalis, setiap kerja anda dihargai dengan sertifikat, dan sertifikat itu kalau di Amerika kita sebut Dollar, di tempat lain disebut Euro, Mark, Pound sterling, dan kalau di Indonesia kita sebut itu Rupiah. Sertifikat ini kita berikan atas ucapan terima kasih atas layanan yang diberikan atas kita terhadap sopir taxi, guru, penata rambut, penjual beras, dan banyak orang lain. Lebih keras anda bekerja, lebih banyak sertifikat yang anda terima. Ketika anda tidak bekerja, jangan harap anda menerima sertifikat penghargaan ini. Sehingga jangan heran dalam system kapitalisme/liberalisme, tercipta ketidak sejajaran, karena ada yang bekerja malas, ada yang rajin, sehingga mereka menerima sesuai dengan apa yang layak mereka dapatkan. Tetapi ketidak sejajaran hasil akhir ini adalah hasil sebuah proses yang sangat-sangat adil. Bukankah ini system yang sangat, sangat berkeadilan. Bisakah anda temukan system yang lebih adil dari ini?



Mitos : Ekonomi Liberalisme didasarkan atas pementingan diri sendiri dan keserakahan


Fakta : Coba perhatikanpara atlit yang sedang bertanding, contohlah para pelari cepat. Apa yang anda lihat? Tentu saja bukan sekedar lintasan lari dan para atlit. Tetapi juga determinasi yang terpancar dari aura dan usaha mereka yang membuat mereka ingin berlari lebih cepat dari yang lain. Tentu saja tidak ada yang menyuruh mereka untuk lari lebih cepat. Tidak ada perintah dari atasan, tidak ada kelinci yang harus dikejar (seperti lintasan lari anjing greyhound) dan tidak ada yang menodong mereka dari belakang untuk lari lebih cepat. Lalu apa yang membuat mereka lari lebih cepat? Paling tidak ada dua alasan utama yang membuat mereka lari. Pertama, hadiah besar yang menanti didepan. Hmmmm, hadiah besar yang menggiurkan. Alasan kedua, adalah, keinginan alamiah manusia untuk menjadi yang terbaik. Tidak semua orang bisa menjadi terbaik, karena jika semua menjadi terbaik, maka terbaik menjadi biasa saja. “Terbaik” adalah hal yang eksklusif. Tidak semua bisa menjadi terbaik, hanya orang khusus bisa menjadi terbaik. Dan untuk menjadi terbaik seseorang harus mendahulukan dirinya. Bukankah kedua hal ini yang meEconomic and Virtue



Mitos : Liberalisme menimbulkan kemelaratan


Fakta : Diantara semua tuduhan, ini adalah tuduhan yang paling tidak berdasar. Tidak ada satu bukti pun yang bisa mendukung mitos ini. Tetapi buktu untuk kebalikannya, bahwa Ekonomi liberal menciptakan kesejahteraan, bisa anda temukan dimana-mana. Anda tidak perlu sebuah penelitian ilmiah secara comprehensive. Cukup nyalakan TV anda dan lihat secara jelas. Tetapi jika anda membutuhkan fakta ilmiah, penelitian James Gwartney, Robert A. Lawson dan Walter E. Block (1998) membuktikan hal ini ini. Gwartney Et Al. merancang index untuk mengukur tingkat kebebasan ekonomi dari 100 negara. Dengan membandingkan hasil index tersebut dengan GDP Negara bersangkutan, dan menemukan bahwa Negara-negara dengan tingkat kebebasan ekonomi yang tinggi (seperti Amerika Serikat, Selandia Baru dan Hong Kong),bertumbuh lebih cepat dari Negara-negara dengan kebebasan ekonomi menengah (seperti Inggris, Jerman dan Negara-negara Skandinavia), dan bertumbuh jauh lebih cepat dari Negara-negara dengan tingkat kebebasan ekonomi rendah (seperti Venezuela dan Iran). (Informasi penelitian ini bisa anda dapatkan dari buku karya Mark Skousen berjudul “The Making of Modern Economic”, yang sudah di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia “Sang Maestro: Sejarah Ekonomi Modern”, yang bisa dibeli di gramedia, atau dipinjam ke saya, dengan syarat ketentuan berlaku J. Sehingga jika anda lihat apa sebenarnya resep utama dibalik kemakmuran suatu bangsa? Jawabannya terletak pada sebuah tulisan berusia lebih dari 200 tahun lalu dengan judul yang mempertanyakan pertanyaan yang sama “Penyelidikan Terhadap Sifat dan Penyebab Kemakmuran Bangsa” karya Adam Smith : “Ketika seseorang bekerja sekeras mungkin, dengan menggunakan modalnya untuk mendukung industry didalam negeri dan menuntun industry ini untuk menghasilkan mungkin nilai yang tertinggi … Dia pada dasarnya tidak tentu tidak bermaksud memajukan kepentingan publik, dan tidak tahu bagaimana caranya memajukan kepentingan umum … dia bertujuan hanya untuk mengamankan dirinya sendiri, dan dengan mengarahkan industrinya untuk menghasilkan nilai yang tertinggi, tujuannya hanya keuntungan pribadinya; dan dia dalam kasus ini, sebagaimana banyak kasus lainnya dituntun oleh tangan tak Nampak untuk mencapai tujuan akhir yang bukan merupakan tujuannya. Dengan mengejar kepentingan pribadinya, dia sering memajukan kepentingan masyarakat lebih effektif dari pada ketika dia dengan sengaja bertujuan memajukannya. Aku tak pernah melihat begitu banyak kebaikan yang dilakukan (bagi masyarakat - penerjemah) melebihi kebaikan yang merupakan efek perdangan.”



Faktanya, terimakasih terhadap kebebasan pasar, kita sekarang punya teknologi yang memudahkan hidup kita. Kita jauh melebihi leluhur kita yang banyak hanya mampu memenuhi kebutuhan tidak lebih dari satu hari, dan harus berusaha lebih keras untuk memenuhi kebutuhan hari berikutnya. Sekarang, kebanyakan dari kita punya lebih banyak kesempatan untuk memajukan kebudayaan. Lebih banyak waktu untuk membaca buku, aktif dalam diskusi public, dalam ilmu pengetahuan, dan berekreasi, mempercantik diri, main game, dan mengejar impian masing-masing.



Mitos : Dalam ekonomi liberal, yang kaya lebih kaya dan miskin lebih miskin. Yang punya modal berkuasa.


Fakta : Fakta ini saya kutip dari buku “The Making of Modern Economic” : “Pekerjaan stastistik modern oleh Stanley Lebergott dan Michael Cox mengkonfirmasi pemikiran pandangan Smithian ini (bahwa yang miskin juga bertambah sejahtera – Penj.) dan menyangkal kiritik yang dipercaya banyak orang bahwa dibawah system pasar bebas yang kaya menjadi lebih kaya dan miskin lebih miskin. Yang miskin juga menjadi kaya, menurut studi terbaru oleh Lebergott (1976) dan Cox (1999). Stanley Lebergott, professor emeritus di Wesleyan University, mepelajari pasar consumer individual dari makanan, pakaian, perumahan, bahan bakar, perlengkapan rumah tangga, transportasi, kesehatan, rekreasi dan agama. Sebagaimana dia mengembakan statistik… yang menunjukan pertumbuhan standar hidup semenjak tahun 1900 sampai 1970. Sebagaimana table Lebergott tersebut menunjukan, standar hidup meningkat secara substansial untuk semua kelas, termasuk yang terbawah, pada abad keduapuluh. Dia mengkonfirmasikan pernyataan yang pernah dibuat oleh Andrew Carnagie, “Kapitalisme merubah kemewahan menjadi kebutuhan.” … Penelitian lain yang dilakukan Michael Cox, ekonom dari Bank Sentral Dallas, dan Richard Alm, penulis laporan bisnis dari Dallas Morning News, menyimpulkan bahwa harga real dari perumahan, makanan, bensin, listrik, layanan telepon, perlengkapan rumah, pakaian dan kebutuhan sehari-hari lainnya, turun secara signifikan selama abad keduapuluh. Peneliti juga menunjukan bahwa yang miskin di Amerika juga menunjukan perkembangan gradual dari kehidupan ekonomi mereka. Lebih banyak orang memiliki rumah, mobil, dan produk consumer lainnya lebih dari zaman sebelumnya, dan televisi bahkan ditemukan dirumah termiskin.”



Banyak dari pengkritik pasar bebas menganggap bahwa system pasar bebas adalah system hukum rimba dimana yang punya modal yang paling kuat. Padahal dalam kenyataannya system pasar bebas hanya akan berhasil ketika ada peraturan yang mencegah seseorang melukai yang lain. System pasar bebas atau liberalisme, atau kapitalisme, apapun anda menyebutnya adalah system yang paling demokratis dan damai. Walaupun seseorang, contohnya Bill Gates, menjadi kaya, bukankah itu karena orang lain menghargai kerja kerasnya dan mau membayarnya untuk itu? Dia tidak pernah memalaki orang untuk tersebut. Semuanya dihasilkan dari kerja keras, inovasi dan kreativitas. Tetapi apakah memang modal satu-satunya penentu keberhasilan dalam system pasar bebas? Tentu saja ini hanya sekedar mitos belaka. Kalau seandainya modal satu-satunya variable penentu keberhasilan, kita tidak akan pernah melihat Bill Gates, Steve Jobs, Paul Allen, Walt Disney, Ray Kroc, McDonalds Bersaudara,Thomas Alva Edison, Akio Morita, Michael Dell, dan banyak wirausahawan lainnya yang berhasil bukan karena kepemilikan modal, tetapi karena kerja keras, penghematan, kemauan, determinasi. Bukankah ini nilai-nilai yang mulia yang muncul dari pasar bebas, yang saya heran kenapa Cuma keserakahan dan keserakahan saja yang digembar-gemborkan para penentang kebebasan. Bukan hanya para usahawan saja yang diuntungkan oleh pasar bebas. Orang-orang seperti Michael Jordan, Arsene Wenger, Pablo Picasso, Michael Jackson, The Beatles, Rowan Atkinson, Charlie Chaplin, Pele, Albert Einstein, Billy Joel, dan jutaan lainnya yang membuat hidup kita lebih nyaman dan mengembangkan kebudayaan kita, adalah hasil dari pemikiran yang pro kebebasan. Pemikiran anti kebebasan hanya menghasilkan para dictator dan penguasa seperti para Paus abad pertengahan, Jenghis Khan, Lenin, Stalin, Hitler, dll.



Mitos – mitos ini menuntun kita kepada mitos yang paling besar : Indonesia kurang bisa maju karena kekurangan SDM.


Fakta : Ada dua ratus juta penduduk Indonesia. Ada dua ratus juta potensi, ada begitu banyak kreativitas, kemampuan, keahlian, dan tentu saja mimpi dan impian. Seandainya kita bisa lepaskan dua ratus juta manusia ini dengan bebas mengejar kebebasannya, maka tentu saja kesejahteraan Indonesia pasti akan tercapai.

No comments: