Monday, June 17, 2013

Pemerintah (Terjemahan Bebas) Oleh Frederic Bastiat



Saya berharap ada seseorang yang mau memberi hadiah untuk sebuah definisi yang baik, sederhana dan pintar untuk kata “pemerintah”.

Sungguh sebuah sumbangsih yang begitu besar bagi masyarakat.

Pemerintah! Apakah dia? Dimanakah dia? Apa yang dilakukannya? Apa yang seharusnya dia lakukan? Yang kita tahu hanyalah bahwa dia adalah pribadi yang misterius, pribadi yang paling banyak dituntut, yang paling disiksa, yang paling kelabakan, yang paling dipuja, yang paling sering dituduh, pribadi yang paling sering dimintai, lebih dari pribadi manapun di dunia.

Saya tidak berkenan mengenal siapa pembaca saya tetapi saya berani bertaruh sepuluh banding satu, jika dia sedang ingin menciptakan surga, dia pasti berpaling pada pemerintah untuk mewujudkannya.

Dan jika pembaca adalah seorang wanita; saya yakin dia sangat ingin agar semua keburukan kesengsaraan manusia disembuhkan, dan dia berpikir hal ini akan dengan sangat gampang dilakukan, jika pemerintah menanganinya.

Tetapi sayangnya! Pribadi yang sial ini, sebagaimana Figaro, tidak tahu harus mendengar yang mana, atau berpaling kemana. Ratusan ribu mulut pewarta dan suara dari berbagai podium berteriak secara bersamaan-
“Himpunkanlah buruh dan pekerja”
“Lawanlah kesombongan dan sikap tirani para kapitalis”
“Buatlah penelitian tentang kotoran dan telur”
“Sediakanlah rel kereta keseluruh pelosok negeri”
“Airilah seluruh dataran”
“Tanamilah setiap bukit”
“Ciptakanlah kebun percontohan”
“Dirikanlah bengkel umum”
“Didiklah anak-anak”
“Latihlah orang muda”
“Bantulah yang lanjut usia”
“Kirimlah penduduk kota ke pedesaan”
“Samakan pendapatan setiap usaha”
“Pinjamkanlah uang tanpa bunga bagi siapa yang ingin meminjam”
“Angkatlah yang tertindas dimana saja”
“Kembangkan dan sempurnakanlah kuda tunggangan”
“Sokonglah kesenian, dan dukunglah musisi, pelukis dan asitek”
“Lindungilah perdagangan dalam negeri, dan ciptakanlah armada perdagangan”
“Temukanlah kebenaran, dan tanamlah benih akal sehat di kepala kami. Misi pemeirintah adalah mencerahkan, membangun, mengembangkan, melindungi, kesucian jiwa para penduduk.”

“Sedikitlah bersabar, saudara-saudara” kata pemerintah dalam nada yang memelas. “Aku akan melakukan apa saja yang memuaskanmu, tetapi untuk hal itu aku membutuhkan sumber daya. Aku telah menyiapkan perencanaan untuk lima atau enam pajak yang baru, dan tidak semuanya opresif. Engkau akan lihat bagaimana rakyat akan dengan senang hati membayarnya.”

Kemudian munculah seruan itu. “Tentu saja Tidak! Dimana nilai kebaikan dalam melakukan sesuatu dengan sumber daya? Kenapa? Hal tersebut tidak layak mendapat nama “Pemerintah”! Karena engkau membuat pajak baru, kami memberhentikan pajak yang lama. Kamu harus menghentikan;
“Pajak tembakau”
“Pajak minuman keras”
“Pajak atas surat”
“Bea dan Cukai”
“Pajak paten”

Di tengah huru hara ini, sekarang negara ini telah lagi dan lagi berganti pemerintahan, karena tidak mampu memenuhi semua yang diminta darinya, Aku ingin saat ini menunjukan sebuah kontradiksi. Tetapi apalah aku ini, bukankah sebaiknya aku menyimpan hasil pengamatanku ini bagi diriku sendiri!

Aku telah kehilangan karakterku selamanya! Aku telah dilihat sebagai seorang manusia tanpa hati dan tanpa perasaan-seorang filsuf yang kering, seorang individualis, seorang plebian, seorang borjuis, dalam satu kata, seorang ekonom praktis. Tetapi maafkan aku, seorang penulis yang baik, yang tidak akan berhenti mengatakan apapun, bahkan untuk sebuah kontradiksi. Bila aku salah, tanpa keraguan, aku dengan rela untuk menarik kata-kataku. Aku akan senang jika kamu telah menemukan sebuah makhluk yang begitu pengasih dan tak kenal lelah, yang disebut pemerintah, yang punya roti untuk setiap mulut, kerja untuk setiap tangan, modal untuk setiap usaha, dana untuk setiap proyek, minyak untuk setiap luka, obat untuk setiap penderitaan, nasihat untuk setiap kesusahan, solusi untuk setiap kerajuan, kebenaran untuk setiap orang pintar, diversi bagi mereka yang menginginkannya, memuaskan setiap keingin tahuan, koreksi untuk setiap kesalahan, membebaskan kita dari kebutuhan akan pertimbangan, kebijaksanaan, pengalaman, keteraturan, cobaan, pandangan jangka panjang, dan aktivitas.

Bukankah akan luar biasa jika kita menemukan definisi dari makhluk yang luar biasa ini. Oleh karena itu adalah hal yang luar biasa jika seseorang bisa memberi hadiah bagi siapa saja yang bisa memberi pengertian apa itu pemerintah dan apa yang harus mereka lakukan. Tetapi saya yakin sampai saat ini pengertian yang benar itu belum ditemukan karena lagi dan lagi pemerintah digulingkan oleh rakyatnya justru karena dia tidak mampu memenuhi tugasnya, yang dicapai justru sebaliknya.

Aku takut malah sebenarnya dalam hal ini, kita sedang berada dalam ilusi paling aneh yang pernah terjadi dalam pikiran manusia.

Manusia dikutuk untuk selalu menghadapi masalah, untuk memenuhi kebutuhannya. Ada dua cara memenuhi kebutuhan ini. Pertama adalah dengan memuaskan kebutuhannya oleh hasil kerja orang lain. Memenuhi kesenangan pribadi dengan kerja keras orang lain. Inilah asal mula perbudakan, dan penjarahan. Perbudakan telah berakhri, puji Tuhan. Tetapi satu lagi yang masih tetap ada, kecenderungan kita untuk hidup nyaman dan melempar masalah ke orang lain. Hal ini tetap ada dengan sebuah bentuk baru yang menyedihkan yang menunjukan dirinya dalam kehidupan bersama kita. Sang penindas tidak lagi bertindak memaksakan kekuasaannya secara langsung terhadap korbannya. Sang tirani dan sang korban tetap ada, tetapi ada satu pribadi perantara yang muncul diantaranya, yang adalah pemerintah, yang adalah hukum itu sendiri.

Oleh karena itu kita semua menaruh klaim kita dalam satu alasan bohong dan mengaplikasikannya untuk pemerintah. Kita katakan padanya, “Aku tidak puas dengan proporsi antara hasil kerja dan kenyamananku. Oleh karena itu, untuk mencapai keseimbangan ini, aku ingin untuk mengambil milik orang lain. Tetapi ini akan terlalu berbahaya. Bisakah kamu memfasilitasi hal ini? Bisakah kamu mencari bagiku tempat yang baik? Atau mengecilkan industry sainganku? Atau mungkin pinjamkan aku modalh yang kamu bisa ambil dari kompetitorku? Bisakah kamu sekolahkan anakku dengan biaya public? Atau berikan bagiku hadiah? Atau mengamankan bagiku sejumlah uang ketika aku mencapai usia lima puluh tahun? Dengan cara ini aku bisa mencapai tujuanku dengan cara yang mudah, karena hukum telah melakukannya untukku, dan aku akan memiliki keuntungan dari penjarahan, tanpa resiko atau kehinaan!”

Adalah hal yang pasti kit asemua meminta hal yang sama dari pemerintah; anda sebagaimana terbukti, pemerintah tidak bisa memuaskan satu pihak tanpa menambah kerja pihak yang lain, sampai aku bisa mendapatkan sebuah definisi resmi dari kata pemerintah Aku merasa berhak untuk memberi pengertianku sendiri. Siapa tahu mungkin bisa mendapatkan hadiah: Inilah dia:

Pemerintah adalah suatu kebohogan besar dimana setiap orang berusaha hidup dari kerugian orang lain.

Tentu saja banyak dari kita tidak setuju akan sentiment negative ini. Tetapi ilusi yang begitu besar dari masyarakat berusaha membenarkan dirinya. Tetapi apakah kita ini jika kita berpikir bahwa penjarahan untuk memberi menjadi kurang derajat penjarahannya karena untuk memberi; kejahatan tidak menjadi kurang jahat walaupun itu dilakukan secara legal dan dalam kerangka aturan; itu tidak menambahkan kebaikan umum, malah menghilangkannya, karena kita menggunakan sebuah alat yang mahal bernama pemerintah. Sebuah alat penjarahan: pemerintah, dan setiap kelas masyarakat datang padanya dan berkata; “hai engkau yang mampu mengambil secara adil dan jujur, ambilah dari masyarakat, dan kami akan mengambil bagian.” Sayangnya pemerintah begitu tergodanya akan godaan setan ini, karena dia terdiri atas para PNS dan Pejabat- para manusia, yang  sebagaimana manusia lainnya, menginginkan dalam hatinya untuk selalu mencari kesempatan untuk memperbanyak kekayaan dan pengaruhnya. Pemerintah tak pernah pelan dalam mengambil keuntungan yang didapatkan dari bagian yang dipercayakan masyarakat baginya, karena bagian yang begitu besar akan diambil untuk dirinya sendiri; dia akan melipat gandakan agen-agennya; memperbesar lingkaran kekuasaannya; dan akan berakhir dalam proporsi yang menghancurkan masyarakat. Demikianlah hasrat jahat kita semua, menciptakan alat jahat ini bagi diri kita sendiri. Saya yakin pembentukan pribadi pemerintah seperti ini telah, sebagaimana pada masa lalu, dan akan menjadi lahan yang subur untuk kekacauan dan revolusi. Ada rakyat di satu sisi dan pemerintah disisi yang lain. Yang satu punya hak untuk mengambil dari yang lain. Apa yang menjadi konsekuensinya? Pemerintah punya dua tangan, tangan untuk mengambil dan tangan untuk memberi, tangan yang kasar dan tangan yang halus. Pekerjaan tangan yang halus, tidak bisa dilakukan sebelum tangan yang kasar. Tangan yang mengambil harus bekerja sebelum tangan yang memberi. Tetapi sialnya, pemerintah bisa mengambil tetapi belum tentu bisa memberi. Ini terbukti dan bisa dijelaskan dalam sejarah bagaimana tangan mereka yang begitu punya daya menyerap, yang selalu menahan sebagian, dan sering kali seluruhnya, dari apa yang mereka sentuh. Tetapi satu hal yang pasti, yang akna selalu terjadi, pemerintah tidak pernah bisa memberi bagi masyarakat lebih banyak dari pada yang bisa dia ambil. Oleh karena itu, adalah hal yang begitu bodoh bagi kita untuk datang padanya dengan sikap seorang pengemis. Adalah hal yang  sangat tidak mungkin baginya untuk memberi kebaikan bagi seseorang yang adalah bagian dari masyarakat, tanpa melukai masyarakat secara keseluruhan.

Sehingga, masyarakat punya dua harapan, dan pemernitah punya dua janji: kesejahteraan yang berlimpah dan tanpa pajak. Janji dan harapan yang saling bertentangan, tidak akan pernah terwujud.
Nah, bukankah ini penyebab semua revolusi? Karena antara pemerintah dengan segala janji yang tidak mungkin dia laksanakan, dan rakyat dengan segala harapan yang tidak mungkin tercapai, dua kelas yang kemudian saling berhadapan.

Sempatkan diri untuk membaca janji para politisi: Beras murah, minyak murah, sekolah gratis, ini gratis, itu gratis, sembako murah, dll, seakan-akan segala hal bisa jatuh dari langit. Visi dan misi yang begitu panjang, seakan-akan membebaskan mereka dari sebuah kenyataan dasar hidup; kamu harus mengerjakan segala hal yang kamu inginkan.

Well, saya ingin bertanya bagi para pembaca, bukankah ini sebuah kekanak-kanakan, dan lebih dari itu, kekanak-kanakan yang berbahaya? Jika ini yang terjadi, kita akan selalu ada dalam revolusi yang tidak akan ada habisnya, jika kita tidak punya keinginan untuk terbangun dari mimpi dan sadar akan kontradiksi ini dan menghadapi kenyataan; “tidak mau memberi bagi pemerintah dan berharap banyak dari padanya”.

Saudara-saudara, sampai kapan kita akan berada dalam ilusi ini dan hidup dalam system. Orang yang hidup dalam sistem ini adalah orang-orang yang menipu diri mereka sendiri, karena mereka hidup dalam kontradiksi dan kekanak-kanakan. Kali ini saya ingin menawarkan sebuah sistem politik baru, dimana setiap warga negara bertanggung jawab atas dirinya, dan dihargai berdasarkan apa yang dia kerjakan. Yang pemerintahnya adalah pemerintah yang menyatukan warganya, bukan menjadi alat untuk menjarah satu dengan yang lain. Tetapi pemerintah yang mengamankan masing-masing atas miliknya, dan yang menegakan keadilan dan ketentaraman.


Saya ingin mengutip dari kata-kata president Amerika Serikat, Ronald Reagan dalam pidato pelantikannya: Pemerintah bukanlah solusi masalah kita, pemerintah adalah masalahnya. Bukan maksudku untuk menghilankan pemerintah, tetapi membuatnya bekerja, bekerja dengan kita, bukan diatas kita. Bekerja disamping kita bukan menggiring dari belakang.

Catatan: 2 paragraf terakhir bukanlah terjemahan langsung dari Frederic Bastiat, tetapi ditulis oleh saya sendiri :D karena harus cepat2 untuk presentasi. Sisanya murni tulisan Bastiat, kalu ingin yang lengkap silahkan baca yang aslinya dalam bahasa Inggris...

Thursday, March 28, 2013

Tentang Perdebatang Mengenai Redenominasi Rupiah



“Di setiap Negara di dunia, saya percaya, ketamakan dan ketidakadilan para penguasa, dengan menyalahgunakan kepercayaan rakyatnya, telah menghancurkan nilai sebenarnya dari logam, yang pada awalnya terkandung dalam kepingan koin uang. Kepingan uang Romawi, As, pada zaman mendekati akhir Republik Romawi, nilainya telah berkurang menjadi se per dua puluh empat dari nilai aslinya, dan bukannya lagi bernilai satu pound, menjadi hanya bernilai setengah ons. Pound dan Penny Inggris saat ini hanya bernilai sepertiganya; Pound Skotlandia hanya seper tiga puluh enam, dan Prancis sekitar se per enam puluh enam dari nilai sebenarnya. Yang menjadi tujuan para penguasa ini adalah agar kelihatannya mereka mampu membayar utang mereka dan membayar pekerjaan mereka lebih sedikit dari jumlah perak yang seharusnya mereka bayar … Kejadian ini, selalu menguntungkan debitor (pengutang); dan merugikan kreditor, dan kadang kala menghasilkan perubahan luar biasa dalam kekayaan pribadi warga Negara, jauh melebihi perubahan yang tercipta lewat kekacauan dalam masyarakat.”

Kutipan panjang di atas adalah peringatan yang diberikan bapak ilmu Ekonomi, Adam Smith, lebih dari dua ratus lima puluh tahun lalu, yang menunjukan bagaimana pemerintah mencuri secara diam-diam dari rakyatnya. Dan yang menurut Smith, pencurian ini telah menghilangkan kekayaan sebenarnya masyarakat yang bahkan jauh dirugikan melebihi ketika terjadi kekacauan. Pencurian diam-diam ini kita sebut sebagai inflasi, yang adalah naiknya harga barang secara umum, atau berkurangnya nilai uang. Perlu saya informasikan bagi anda, mengikuti angka inflasi terendah pemerintah 6%, jika anda punya uang Rp. 1 juta pada tahun 2012, maka uang itu hanya bernilai Rp. 665.000 pada tahun 2005, atau bisa dikatakan, uang anda telah kehilangan sepertiga dari nilainya yang sebenarnya. Lebih gampangnya, jika pada tahun 2005 anda bisa membeli 3 buah permen dengan uang Rp. 1000, tahun 2012, dengan jumlah uang yang sama, anda hanya bisa membeli 2 buah. Tetapi mari kita acuhkan dulu data pemerintah dan lihat dalam kehidupan sehari-hari. Ketika saya dulu kuliah di Unklab, Aermadidi, untuk pulang dari Aermadidi ke Sumompo, Rp. 5.000 bisa membawa saya sampai ke rumah Bibi saya di Sumompo. Saat ini, Rp. 5.000 hanya mampu membawa saya dari Aermadidi sampai ke Kolongan, Kec. Kalawat. Sisanya, saya harus berjalan kaki. Agar bisa tiba dengan selamat di Sumompo dengan Mikrolet, hari ini saya membutuhkan Rp. 11.000. Jadi Rp. 11.000 saya pada hari ini, sama dengan harga Rp. 5.000 saya pada tahun 2005. Lalu siapa yang mencuri Rp. 6000 saya? Inflasi. Hal itu hanya jika kita ambil satu contoh komoditas biaya; biaya angkot. Coba anda cek ke pasar hari ini, dan ingat lagi berapa uang yang anda butuhkan untuk pergi ke pasar pada lima atau tujuh tahun lalu. Anda akan terkejut betapa banyaknya nilai yang sudah hilang dari uang anda. Menonton Bioskop tahun 2003, anda bisa Nonton hemat seharga Rp. 7.500. Saat ini, anda perlu paling kurang Rp. 35.000.

Melihat trend tersebut, tentu saja pemerintah perlu melakukan redenominasi mata uang kita karena ketika nilai uang menjadi lebih tidak berharga maka kita membutuhkan lebih banyak nol dalam mencatat transaksi keuangan kita. Dalih pemerintah adalah agar kita bisa menghemat tempat dan tinta. Saya hargai itu, dan itu alasan yang sangat ekonomis. Tetapi yang saya ingin sampaikan pada kita semua yang membaca tulisan saya ini adalah bahwa itu bukan semua alasannya. Alasan sebenarnya adalah berkurangnnya nilai uang yang kita pakai.

Perlu diketahui bahwa sebelumnya, nilai uang diikatkan pada nilai emas, sehingga nilai uang stabil mengikuti harga emas. Tetapi pada saat ini di Negara kita, nilai uang ditentukan oleh pemerintah, dan uang itu bernilai karena kita percaya akan apa yang dilakukan oleh pemerintah. Nilai uang tersebut terikat pada mekanisme pasar. Ketika pemerintah mencetak terlalu banyak uang, ketika pemerintah melakukan hal bodoh (melalui kebijakan ekonomi yang salah), atau ketika pemerintah berhutang terlalu banyak (entah untuk belanja pegawai, subsidi, atau kegiatan pemerintah yang banyak tidak berguna lainnya) sehingga mengurangi kredibilitasnya maka nilai uang ini juga akan turun, karena nilai uang tergantung pada prospek yang menjaminnya dalam hal ini pemerintah. Penurunan harga uang juga sebagaimana dijelaskan oleh Smith, karena agar pemerintah bisa membayar utangnya lebih sedikit dari pada yang seharusnya. Padahal di beberapa kasus juga, justru utang pemerintah juga bisa menyebabkan turunya nilai mata uang.

Redenominasi uang bagi saya bisa dijelaskan lewat analogi ini; seorang guru yang memberikan ujian pada siswa-siswinya. Dalam ujian tersebut, dalam skala 10, semua siswa hanya mendapat nilai dibawah 1. Bahkan yang tertinggi hanya mendapat nilai 0.99. Sang guru tidak kehilangan akal. Agar semua murid kelihatannya berhasil, nilai 0.99 dirubah menjadi 9,9, dan yang sebelumnya hanya mendapat 0.8 sekarang menjadi 8. Nilai kelihatannya menjadi baik, tetapi Murid masih sama bodoh.

Alasan Redenominasi untuk menghemat angka bisa diterima secara logika, tetapi yang tidak dijelaskan adalah bagaimana kita sampai pada posisi sehingga kita perlu melakukan redenominasi. Pemerintah harus menjelaskan ini, dan kita semua pun harus tahu apa alasannya. Kerena kalau tidak, maka inflasi yang terjadi sebelumnya, turunya nilai mata uang kita, dan kebijakan pemerintah yang menciptakannya akan cenderung untuk kita lupakan, dan kita melupakan bahwa ada masalah besar sehingga uang kita berkurang harganya. Jangan sampai kita lupakan masalah itu, dan menganggap penurunan nilai rupiah sudah teratasi, hanya dengan menghilangkan tiga nol.

Saturday, February 2, 2013

Simply Random

I am sitting now at the coffee house and looking at people going here and there when suddenly memory of an embarrassing past passes through my mind. And suddenly those chills and spooky feeling, this embarrassment that seems like sourced from the sudden jolt of electricity, a spontaneous pump of big amount of blood from my heart through the vessels of my body, this experience of should I say like a tickle (not to my physical body but) to my psyche. If the moment is not right, when I remembered the very same event, it seems usual to me, nothing special. But there is this moment that it just like so special. I don’t know if you ever felt that, but this is weird and I can’t found a name for that, but this sudden embarrassment, sometimes it happened to me. Maybe it is a mechanism in our psyche that tries to punish us again and again, I don’t know why. It is probably the result of a defect in our brain, or just a part of brain mechanism.

I experienced it many times before, but what happen this morning worth a note. When I felt it this morning, I then relax and say to myself; “there is no way to undo it, it happened and there is nothing I can do. So why bothered by that.” Then suddenly it goes away. I can’t feel it anymore. It is just gone. Then I try to retrieve the same memory that caused this jolt. But nothing happened, I felt just fine. Then I realize that sometimes the past is just the past. One thing certain about the past is it will never coming back. Torturing yourself with the past is just like staring at the waves hoping it will stop coming. It can’t. So why bothered by that?

Sometimes the past robed too much of my present. It chained me, and I was disturbed by it so much, just like I was keep looking back get suspicious that I was being followed by an invisible stalker. Well, isn’t it a symptom of a mental disease? So why should we keep terrorizing ourselves with this invisible stalker? Just go on with your life. If you make a mistake, ask forgiveness and try to repair the damage and improve yourself so you will not commit the same mistake. Then, go along with your life. Enjoy what is now. Ups, my coffee is getting colder…

P.S. I remember my friend Jerome, whenever is say “sh*t happened”, he will reply “but only a stupid will stop and keeps on smelling it”.

Sunday, January 6, 2013

Sebuah Desa Bernama Indonesia



Adalah sebuah desa yang dipenuhi oleh peternak domba. Di desa tersebut terletaklah bukit hijau yang indah tempat para petani biasa memberi makan domba-domba mereka. Bukit ini dimiliki oleh seorang Wali Kota yang bijak yang tinggal di kota dekat desa tersebut dan Wali Kota yang bijak ini memutuskan agar setiap petani yang mampu membayar sejumlah uang untuk bisa memiliki sebidang tanah pada bukit yang indah ini. Demikianlah setiap peternak yang memiliki uang membeli tanah ini. Yang tidak memiliki uang menjual sebagian domba mereka hingga mereka memiliki cukup uang untuk membeli sebidang tanah di bukit ini agar mampu memberi makan domba mereka. Para peternak yang rajin memelihara dan menjaga dombanya menghasilkan lebih banyak domba dan mampu membeli tanah yang lebih luas. Ada peternak yang pada awalnya membeli tanah tetapi lama-kelamaan mereka menyadari bahwa mereka lebih baik menjadi penenun wol dari pada peternak domba, dan merupakan keputusan yang lebih bijak jika menjual tanah mereka pada peternak yang berbakat dan berkonsentrasi menjadi penenun wol. Demikianlah masing-masing orang memiliki apa yang sepantasnya mereka miliki, dan masing-masing menjaga keindahan dan kesuburan rumput di bukit tersebut, dan bukit itu menjadi lebih hijau, hidup, dan asri dari hari ke hari.

Sebelum kematiannya sang wali kota mengunjungi desa tersebut dan puas dengan apa yang dia lihat. Dia memutuskan agar para penduduk desa bisa membentuk pemerintahan dan hukumnya sendiri. Para penduduk desa tersebutpun duduk bersama dan mulai membicarakan nasib dari sumber daya mereka yang utama; bukit yang subur nan hijau. Beberapa pemikir di desa tersebut mulai mengemukakan pendapat seperti ini: bahwasanya bukit tersebut dulunya adalah milik bersama semua penduduk desa. Dan betapa indahnya saat itu ketika petani siapapun berhak untuk datang dan memberi makan ternaknya secara cuma-cuma di bukit tersebut. Betapa eratnya persatuan para penduduk desa tersebut karena mereka tidak perlu membeli dan menjual bidang tanah di bukit itu, dan demi menjaga persatuan setiap penduduk desa, demi kebaikan yang lebih besar bagi semua penduduk, demi keadilan dan mencegahnya eksploitas bersifat egoistis dari pemilik bidang tanah, demi kesejahteraan bersama semua penduduk, maka lebih baik jika bukit ini dimiliki oleh seluruh penduduk desa.

Demikianlah setiap orang menjadi pemilik bukit ini dan siapa saja berhak memberi makan ternak di bukit tersebut. Para petani yang dulunya adalah penenun melihat kesempatan yang lebih baik untuk menjadi peternak dan setiap orang di desa tersebut merasa bahwa adalah hal yang baik jika mereka memanfaatkan sebesar-besarnya kesempatan tersebut. Tiba-tiba saja setiap orang berebutan memberi makan ternak mereka, tetapi tidak ada satu pun yang terpikir bahwa suatu saat bukit tersebut bisa gundul. Beberapa orang yang dulunya memiliki bukit tersebut merasa bertanggung jawab untuk menanam kembali rumput dan mengendalikan jumlah penggunaan rumput di bukit tersebut, tetapi ketika mereka melihat peternak lain dengan lebih sigap memanfaatkan rumput gratis, mereka merasa bahwa usaha mereka hanya mendatangkan kesenangan bagi orang lain dan merugikan mereka. Mereka melihatnya sebagai ketidakadilan dan memutuskan berhenti untuk memelihara bukit tersebut, karena bagi keuntungan pribadi mereka adalah lebih baik untuk memberi makan sebanyak-banyaknya hewan ternak mereka sebelum seluruh bukit tersebut menggundul.

Satu angkatan berlalu dan bukit yang dulunya asri sekarang mulai hilang kehijauannya. Hal ini mengkhawatirkan para penduduk desa dan sekali lagi mereka memutuskan untuk bertemu dan membahas masa depan bukit mereka. Sayangnya, pada saat itu tidak ada diantara mereka yang hidup dan melihat betapa indah dan hijaunya bukit tersebut ketika masa pemerintahan sang Wali Kota yang bijak, dan mereka lupa bahwa pada zaman itu kehijauan bukit tersebut dihasilkan oleh orang-orang yang secara sah berhak memiliki dan dengan demikian, merawat bukit tersebut. Sehingga pada akhir pertemuan mereka datang dengan satu solusi; setiap penduduk akan dibatasi jumlah ternaknya yang bisa diberi makan di bukit tersebut. Untuk menjaga agar tidak ada yang memberi makan melebihi jumlah tersebut mereka akan membentuk Polisi desa yang dipimpin oleh kepala desa, yang tugasnya adalah menangkap dan menghukum siapa saja yang melanggar ketentuan itu. Pada awalnya semua merasa senang, tetapi yang lebih senang adalah keluarga kepala desa, karena sekarang dia menjadi orang yang lebih berkuasa, bukan sekedar menjadi penjaga keamanan desa, tetapi sebagai pengendali sumber daya alam utama di desa tersebut: bukit penuh rumput. Yang sangat merasa tidak senang dengan keputusan ini adalah mereka para pekerja keras, yang dengan kerja keras memiliki lebih banyak domba dibandingkan peternak lain. Mereka merasa ini ketidak adilan karena secara tidak langsung keputusan ini memaksa mereka untuk mengurangi kerja keras mereka dan membatasi potensi kemampuan mereka. Tetapi mereka punya rencana lain.

Waktu berjalan dan pada awalnya hukum baru ini dituruti. Tetapi para pengambil kesempatan, apalagi yang mau menghalalkan segala cara untuk melancarkan kepentingannya, melihat celah dalam kecurangan hati manusia. Orang kaya dari kota melihat kesempatan. Mereka tahu bahwa dengan harga yang tepat, siapa saja bisa dibeli dan dengan demikian mereka mulai mendekati si kepala desa. Mereka memberi ide bagi kepala desa bahwa mereka akan membeli bagian dari ternak orang lain untuk ditempatkan disana. Kepala Desa tahu bahwa itu adalah kecurangan, tetapi dengan penawaran yang tepat hati nuraninya bisa dilencengkan. Uang diberikan kepadanya dan para polisi yang menjaga bukit. Uang itu bukan hanya mampu membeli kepala desa tetapi semua petugas polisi yang ada disana, dan hati nurani mereka sekarang tidak mampu lagi membedakan mana yang baik dan buruk. Uang yang mudah didapat sekarang menjadi segalanya. Kepala Desa sekarang menjadi orang yang kuat, dengan semua polisi dibawahnya. Beberapa penduduk melihat praktek kotor ini dan menyatakan ketidaksetujuannya. Tetapi kepala desa sekarang terlalu kuat. Digunakannya kekuatannya untuk mengasingkan dan mengintimidasi orang-orang yang berani menentangnya. Karena mereka tidak punya kekuatan, mereka disingkirkan dan yang lain hanya bisa berdiam diri, takut untuk melawan dan mereka berpikir bahwa hal yang paling baik untuk dilakukan sekarang adalah diam dan ikut ambil bagian dalam permainan kotor ini.

Tetapi kepala desa menjadi lebih rakus dan rakus. Sekarang dia pun ingin mengambil bagian lebih dari permainan ini. Sebagaimana sejarah telah membuktikan lagi dan lagi, bahwa bahkan orang terkuat sekalipun tidak mampu mengalahkan dirinya sendiri, kepala desa pun demikian. Kebijaksanaannya sekarang telah pupus karena tidak ada yang mengendalikan kekuasanaannya. Menyadari bahwa Dia akan mati dan bahwa dia mungkin saja tidak bisa menikmati atau mewariskan kekuasaannya atas bukit itu, dia gunakan sebisa mungkin bukit yang dari hari ke hari makin hilang kesuburannya ini, yang makin tidak tertata dan buruk rupa. Pada saat itu, lebih banyak penduduk desa yang melihat kejahatan ini dan ketika mereka punya cukup banyak penduduk, mereka menyerang rumah kepala desa dan memintanya diganti. Polisi yang selama ini setia kepada kepala desa merasa bahwa mereka tidak akan mampu membendung jumlah penduduk yang terlalu banyak dan memutuskan berpihak kepada penduduk (walaupun selama ini mereka telah mengambil bagian dalam permainan korup dan kotor kepala desa dan kroninya, dan telah menjadi kaya oleh itu).

Kepala desa berhasil melarikan diri dan digulingkan kekuasaanya dan sekarang penduduk secara keseluruhan telah berkuasa. Mereka memutuskan untuk membentuk lagi sistem pemerintahan yang baru yang kali ini mereka harapkan bisa lebih bersih dan bertanggung jawab pada rakyatnya. Mereka merancang agar seorang kepala desa dipilih oleh penduduk dan hanya boleh berkuasa tidak lebih dari lima tahun, dan disamping kepala desa, kekuasaan untuk membuat peraturan diberikan pada sekelompok dewan desa yang dipilih oleh penduduk.  Tetapi masalahnya, bukit tersebut tetap menjadi milik semua orang. Tidak lama setelah kepala desa dan dewan desa serta ketua dewan desa yang baru terpilih, godaan untuk memanfaatkan kekuasaan atas bukit tidak tertahankan, akan tetapi kali ini mereka masing-masing menyadari kekuasaan mereka terbagi dan masing-masing bisa mencegah satu sama lain untuk berkuasa. Tetapi bukit itu terlalu berharga untuk dilewatkan godaannya dan sebagaimana sebelumnya, selama manusia mengelilingi dirinya dengan godaan, tidak akan perlu waktu lama baginya untuk jatuh. Dan kepala desa baru mengatur agar semua orang bisa disuap. Pendekatan yang penuh tipu daya dan bujuk rayu dia lancarkan. Tetapi dalam hal ini, cerita saya kurang jelas, karena kita tidak pernah tahu, siapa yang memulai ide untuk saling menyuap ini. Ada yang berkata, ketua dewan desa, ada yang berkata bahwa sang kepala desa, yang mulai mendekati satu sama lain, tetapi yang jelas persekongkolan itu pun terjadi. Kepala Desa memastikan bahwa siapa saja yang mau membayar, mereka bisa memiliki akses untuk memanfaatkan bukit ini sepuas-puasnya. Uang (dan segala bentuk penyuapan lain; rumah, domba, wanita) yang didapatkan dibahagikan kepada anggota dewan desa untuk memastikan agar mereka menurut dan tidak membuat hukum baru yang menyulitkan semua orang yang menjalankan skema korup ini. Anggota dewan desa akan kemudian menggunakan sebagian uang tersebut untuk membayar penduduk pada waktu pemilihan sehingga memastikan mereka terpilih kembali untuk menjabat sebagai anggota dewan desa.

Pada awalnya ada beberapa anggota dewan yang menolak godaan ini, tetapi satu persatu mereka jatuh, karena godaan yang berlebihan. Dan perlahan tapi pasti, ketika lebih banyak orang menjadi gila, maka kewarasan akan dianggap sebagai kegilaan. Kejujuran dianggap sebagai kemunafikan dan usaha mencari muka. Orang yang mau jujur dianggap sebagai pembuat onar dan pencari masalah. Ketulusan dalam melayani penduduk dianggap sebagai ketidak warasan dan ketidak jujuran. Orang-orang ini disingkirkan atau diacuhkan. Ada yang mencoba tetap bertahan tetapi ketika mereka melihat kesenangan yang didapatkan sejawat mereka, hati nurani mereka tidak mampu bertahan dan akhirnya mereka terhisap oleh lingkaran setan ini.

Tetapi ada satu perubahan yang lebih mengerikan. Masing-masing pejabat desa merasa bahwa pembatasan masa jabatan mereka berarti masa mereka memanfaatkan rumput dan bukit tersebut juga terbatas, sehingga dalam masa waktu yang terbatas tersebut mereka harus bisa memanfaatkannya sebisa mungkin. Para penyuap pejabat desa juga berpikiran yang sama. Mereka khawatir jika suatu hari pejabat yang terpilih sudah tidak mau disuap lagi, atau tidak bersahabat dengan mereka sehingga memilih menerima suap dari peternak besar yang lain. Mereka juga berpikir bahwa dalam masa waktu yang terbatas tersebut mereka harus bisa memanfaatkan bukit tersebut semaksimal mungkin, karena apapun yang mereka lakukan bukit tersebut bukanlah milik mereka selamanya. Jadi masing-masing dengan keserakahannya menjarah segala yang mereka bisa jarah dari bukit tersebut secepat dan semampu mereka. Tahun berganti, pejabat menjadi kaya, rakyat biasa menjadi lebih miskin. Bukit yang dulunya indah dan asri, yang dijaga oleh pemiliknya, sekarang mulai hancur lebur. Demikianlah tahun berganti, penguasa desa berganti, tetapi selama bukit tersebut adalah “milik bersama” maka berarti “tidak ada pemilik”. Yang memiliki adalah yang berkuasa, dan setiap penguasa yang berganti, tidak ada yang mampu untuk merubah budaya kotor setiap orang yang berdasarkan instinct-nya harus serakah. Sampai suatu hari rumput di bukit itu habis, dan yang tersisa adalah beberapa buah pohon besar, tempat dulu para peternak biasa beristirahat. Pohon ini pun dipotong oleh penyuap yang berdalih bahwa pohon tersebut mengandung kandungan yang berbahaya bagi domba-domba yang hidup disekitar bukit. Kayunya dijual, dan uangnya dibagi-bagikan untuk kesenangan penyuap dan pejabat.

Suatu hari hujan lebat melanda desa tersebut. Tanaman yang selama ini menopang tanah di bukit sekarang sudah hilang, dan yang terburuk pun terjadi. Banjir dan longsor dari bukit menutupi seluruh desa, ratusan orang kehilangan nyawa. Sebulan dari situ rakyat berkumpul sekali lagi untuk membahas apa yang sebenarnya terjadi. Mereka mulai berdebat apa yang sebenarnya menjadi penyebab semua ini. Mereka mulai menyalahkan kejahatan dan keburukan manusia. Ada yang menyalahkan desa sebelah, ada yang menyalahkan kota tetangga, karena dari situlah para pengusaha yang menyuap pejabat desa kebanyakan datang. Mereka mengatakan bahwa ini adalah program terencana masyarakat kota tersebut untuk menghancurkan desa mereka. Alasannya bermacam-macam; karena kota merasa iri dengan domba mereka, karena orang-orang kota tahu ada harta karun tersimpan diatas bukit tersebut, karena orang kota punya cara berpakaian berbeda dengan desa tersebut, karena desa tersebut dulunya adalah bagian dari kota tersebut sehingga sekarang mereka ingin menguasainnya kembali. Berbagai macam omong-kosong ini terus dicekoki ke otak para penduduk desa yang sekarang sudah setengah gila dan telah menggantung sampai mati semua anggota dewan desanya. Dan sekarang mereka bersiap untuk aksi yang lebih gila. Petani dan peternak miskin ini mengambil apa saja yang bisa membunuh di rumah mereka dan berbaris menuju kota untuk menyerang kota tersebut, sampai akhrinya mereka di hentikan oleh tentara penjaga kota. Mereka ditawan dan dibawa didepan pengadilan kota.

Mereka mulai mengangkat sejarah keindahan desa mereka, dan bagaimana desa mereka yang begitu indah dan begitu makmur sampai akhirnya mereka memutuskan untuk memisahkan diri dari kota tersebut, dan bagaimana kelompok orang kaya dari kota melaksanakan rencana jahat mereka sehingga desa itu sekarang hancur dan bertekuk lutut. Hakim kota mendengar keluh kesah mereka dengan tenang. Dia adalah orang terpelajar yang tau sejarah yang benar dari kota tersebut. Setelah penduduk desa selesai berbicara, sekarang saatnya untuk dia menjelaskan duduk persoalan sebenarnya.

“Wahai penduduk desa” serunya. “Tahukah kalian sejarah sebenarnya bukit yang kalian miliki itu? Yang dulunya begitu indah dan terawat, yang adalah bagi kalian, dan memang benar, sumber kecemburuan desa lain. Yang adalah sumber kehidupan dan kesejahteraan, keindahan dan kesuburan. Bukit itu dulunya adalah milik dari walikota kami. Dengan kebaikannya dia berikan bukit itu untuk siapa saja yang mau mengurus bukit tersebut. Tetapi suatu saat, entah karena kebijaksanaan dari iblis mana, kalian menjadikannya milik bersama. Hal itu membuat yang rajin memelihara keindahan bukit tersebut, yang secara alamiah merasa terpanggil untuk memelihara bukit tersebut karena itu adalah miliknya dan dia serta keturunannya akan diuntungkan jika mereka merawat bagian dari bukit tersebut yang mereka miliki, mereka itu yang adalah penyelamat bukit tersebut, berhenti untuk menjaga lagi bukit itu. Apa yang terjadi, kalian membiarkan para penjahat memelihara bukit tersebut. Mereka menjadi penjahat bukan karena mereka pada dasarnya jahat. Tetapi karena bukit tersebut kalian jadikan godaan yang begitu besar untuk orang menjadi pendosa. Tidak terpikirkah kalian, kenapa desa tetangga kalian yang begitu indah dan asrinya, yang tidak dianugerahi oleh pencipta dengan bukit seindah bukit kalian, tetapi bisa lebih kaya dan bahagia dari kalian? Mereka menjadi bahagia bukan karena kami tidak membenci mereka. Desa tersebut juga berpakaian berbeda dengan kami, juga dulunya adalah bagian dari kota ini, tetapi mereka sejahtera, dan kami tidak membenci mereka. Tidakah kalian sadar bahwa kalian sendirilah sumber penderitaan itu, dan dalam penderitaan tersebut kalian begitu bodoh dan tak mampu melihat sumber penderitaan itu mulai mencari alasan-alasan yang tidak karuan.”

“Kalian lihat sungai yang mengalir yang membelah kota ini? Yang menjadi sumber kemegahan kota ini? Dulunya sungai ini hampir menjadi sumber kehancuran kami sebagaimana bukit kalian itu. Leluhur kami merasa bahwa sungai ini adalah anugerah Tuhan, dan seharusnya tidak boleh satu orang pun memilikinya. Jadi kami putuskan agar tanah sekitar sungai tidak boleh dimiliki oleh satu orangpun tetapi menjadi milik bersama dengan walikotanya sebagai penyelia. Tetapi bukannya sungai ini menjadi indah, kami malah menghancurkannya. Karena tidak ada yang memiliki tanah ini, orang mulai membuang sampah disekitarnya. Tidak ada lagi yang menjaga dan merawat tepian sungai. Pemukim liar entah dari mana mulai berdatangan. Walikota mulai mengusir, tetapi mereka datang lagi. Dan kami harus mengeluarkan biaya yang begitu besar untuk mengusir dan menjaga tepian sungai yang dulunya begitu indah ini. Orang-orang tidak memperdulikan apa  yang dibuang kedalam sunga-sungai itu, karena tidak ada yang dipengaruhi oleh kehidupan ditepian sungai. Tetapi kerusakan yang paling utama adalah pada hati nurani kami. Penguasa yang seharusnya menjadi pengayom, kami rubah menjadi penadah kesempatan, kesempatan untuk merusak sungai kami. Sampai akhirnya kami putuskan; bukan setiap orang bisa memiliki sungai ini, tetapi setiap orang yang mau berkorban harus bisa memiliki sungai ini, dan dengan demikian mereka akan menjaganya. Kami bersyukur bahwa leluhur kami cukup bijak untuk melakukan ini.”

“Nah, sekarang aku ingin kalian kembali ke desa kalian dan mulai merawat apa yang tersisa dari kalian. Kalian telah diberikan kesempatan untuk belajar kali ini, dan jangan pernah sekali lagi mengulangi kesalahan itu. Aku hanya bisa berdoa bagi jiwa yang hilang, dan meratap dengan kalian.” Demikianlah hakim tersebut mengakhiri pidatonya dan seluruh penduduk desa pulang dengan kepala tertunduk.

Pembaca yang terhormat, cerita diatas adalah tentang bangsa kita; Indonesia. Ketika mendirikan bangsa ini, pendiri bangsa kita berharap bahwa bangsa ini akan menjadi lebih berkeadilan dan berkesejahteraan jika sumber daya dikuasai Negara untuk kesejahteraan bersama. Ini mereka tuangkan dalam Undang-undang dasar Negara kita dalam pasal 33 ayat 3; “Bumi dan Air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Tetapi dengan semua itu, bukanlah kecelakaan jika bangsa kita adalah salah satu yang terkorup didunia. Bukanlah takdir jika begitu banyak saudara-saudara sebangsa kita hidup dibawah garis kemiskinan. Bukanlah takdir jika begitu banyak pelanggaran hak asasi manusia terjadi di negeri ini. Kasus perselisihan tanah antara penduduk dengan perusahaan tambang (Bima, Picuan, Papua – Freeport), kasus penebangan hutan liar yang disponsori oleh pejabat, kasus korupsi di BUMN, tidak terjadi karena kesialan bangsa ini. Semua terjadi karena kepimilikan bersama, dimana pejabat sebagai penyelia milik bersama ini, dan mereka hidup ditengah godaan ini terus menerus.

Bukanlah karena kesialan jika bangsa lain punya De’beers, Freeport, Newmont, Exon, BP, Total, Shell, dan kita tidak punya satupun perusahaan yang mampu menyamai mereka.  Mari kita kembali ke fitrah segala hal: sumber daya adalah milik yang paling layak memilikinya, yaitu orang yang mau berusaha untuk memilikinya. Negara ini adalah milik rakyat Indonesia, sekali lagi milik rakyat Indonesia, bukan milik seluruh rakyat Indonesia. Apa yang anda rasakan jika Istri anda dinyatakan sebagai milik bersama? Demikian juga halnya jika ada yang menyatakan isi tanah anda adalah milik bersama. Itu adalah tidak adil, tidak bermoral, dan menciptakan kekacauan, kebiadaban, dan kemiskinan.

Sumber kemiskinan dan kesialan bangsa ini adalah satu kalimat dalam hukum kita: “bumi dan air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Friday, December 14, 2012

“Brenti Jo Bagate” dan “Prohibition of Alcohol by 18th Amendment of US Constitution”


Kebanyakan dari kita sudah mendengar tentang program POLDA Sulawesi Utara “Brenti Jo Bagate”, yang dalam hal ini, sampai dengan perkembangannya terakhir sangat saya dukung karena menurut saya masih sebatas ajakan moral. Tetapi banyak yang mungkin belum pernah mendengar tentang “Prohibition of Alcohol by 18th Amendment of US Constitution” (Pelarangan Alkohol oleh Amendemen ke-18 Undang-undang Dasar  Amerika Serikat) atau yang dalam sejarah sering hanya disebut sebagai “Prohibition” (Pelarangan). Ini adalah keadaan yang berlaku di Amerika Serikat pada tahun 1920 sampai 1933 ketika segala bentuk penjualan alkohol dilarang, dan dapat dituntut secara hukum. Pada waktu itu, hukum ini tidak main-main karena ditulis dalam Amendment (perubahan atau tambahan) ke-18 Undang-undang Dasar Amerika Serikat.

Prohibition dimulai dengan niat mulia sekelompok penduduk AS yang ingin agar minuman konsumsi minuman keras berhenti di Amerika Serikat, tetapi kalangan pendukung hak asasi manusia memprediksi bahwa sebuah peraturan yang melanggar hak-hak dasar individu hanya akan menghasilkan lebih banyak mudarat dari pada manfaat. Dan setelah perdebatan panjang, akhirnya pelarangan penjualan minuman keras menjadi bagian dari Undang-Undang Dasar Amerika Serikat setelah diratifikasi oleh 46 negara bagian pada 16 Januari 1919, dan sah dijalankan secara hukum pada 17 Januari 1920. 13 tahun setelah diberlakukan, Prohibition akhirnya diberhentikan pada 20 Februari 1933. Tetapi pelarangan alkohol ini tidak bisa dihentikan secara sembarangan karena menjadi bagian dari sumber dari segala sumber hukum di Amerika; Konstitusi. Sehingga pada tahun 1933, Kongres Negara-negara bagian Amerika Serikat berkonvensi dan memutuskan untuk melakukan perubahan lagi pada Undang-Undang Dasar mereka, kali ini Perubahan ke-21, yang isinya menganulir atau mencabut segala isi perubahan Undang-Undang Dasar ke-18 diatas. Inilah satu-satunya cara untuk menganulir sebuah isi Undang-Undang Dasar dan Perubahan ke-18 menjadi satu-satunya bagian dari Undang-Undang Dasar Amerika Serikat yang masih tertulis, tetapi dinyatakan tidak berlaku oleh bagian Undang-Undang Dasar yang lain. Sejarah yang unik bukan?

Lalu kenapa sehingga segala kekacauan ini terjadi? Kenapa suatu larangan yang baik agar warga Negara AS berhenti mengkonsumsi alkohol harus dicabut (atau dibatalkan) dan menjadi bahan perdebatan yang menyita begitu banyak waktu dan tenaga selama   13 tahun pemberlakuannya? Jawabannya karena hukum yang datang dari niat baik, tidak selamanya menghasilkan hasil yang baik. Selama 13 tahun pemberlakuannya, Prohibition tidak mampu menciptakan satupun tujuan aslinya. Sebelum Prohibition, pendukungnya beranggapan bahwa dengan membuat penjualan alkohol illegal maka akan menurunkan angka kriminalitas dan menurunkan pengeluaran pemerintah. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Angka kriminalitas meningkat tajam dan pengeluaran pemerintah juga yang harus dikeluarkan untuk mengontrol penjualan yang pada waktu itu mencapai 1.520 anggota agen federal untuk membantu kepolisian mengatasi penjualan alkohol. Bukan hanya masalah kriminalitas dan pengeluaran pemerintah, selama masa Prohibition Amerika menghadapi salah satu kegelapan moral terburuk dalam sejarahnya. Anak-anak muda menjadi anggota geng pengedar minuman keras, dan pembunuhan dan kekerasan antar geng menjadi lumrah di kota-kota. Karena minuman keras sekarang illegal, hanya para kriminil yang berani menjualnya dan para pengusaha kotor ini menguasai kota-kota besar. Bisnis mereka diberi suntikan dana besar dari hasil penjualan minuman illegal, dan tidak lama kemudian mereka melebarkan usaha mereka ke bidang yang jauh lebih maksiat seperti pelacuran dan perjudian illegal.

Keluarga dan anak muda menjadi terbiasa melanggar hukum karena mereka melihat setiap hari bagaimana hukum itu dilanggar (dengan sekedar menegak minuman keras), dan sekali mereka belajar itu, mereka akan tergoda untuk melanggar lebih banyak hukum lainnya. Bukan hanya anak muda yang dirusak moralnya dengan impian menjadi anggota gangster, bahkan para penegak hukum juga. Pada saat itu hanya sedikit polisi yang memang jujur dalam menjalankan tugasnya. Diantara bos gangster yang terkenal pada saat itu (anda mungkin pernah dengar namanya) adalah Al Capone. Al Capone bahkan mampu membuat pengacaranya menjadi anggota Kongres, dan dia melakukan banyak pembunuhan terselubung tanpa pernah ditangkap. Salah satu alasanya karena dia adalah pemilik hampir semua hakim dan penegak hukum di kotanya; Chicago. Pembunuhan dan perang antar para “bootlegger” adalah hal biasa di jalanan. Dan dalam 13 tahun ini Amerika Serikat menjadi saksi bertumbuhnya sebuah organisasi kriminal yang sangat terorganisir dan menggurita yang disebut “Mafia”.

Karena segala kekacauan ini akhirnya bahkan para pendukung Prohibition mulai mempertanyakan apakah mereka sudah melakukan sesuatu yang lebih baik bagi masyarakat atau lebih buruk. Salah satu penggagas awal Prohibition adalah John D. Rockefeller Jr. (anak Jutawan terkenal John D. Rockefeller), yang anti-alkohol sepanjang hidupnya, tetapi beralih menjadi pendukung gerakan untuk menentang Amandement 18. Dan dengan segala keluhan yang ada, akhirnya terciptalah Amendment 21, yang mengakhiri pelarangan penjualan alkohol setelah 13 tahun masa berlakunya.

Lalu apa maksud saya menjelaskan segala fakta sejarah ini? Filsuf Spanyol George Santayana pernah berkata bahwa “barang siapa yang gagal belajar dari sejarah akan celaka dengan mengulanginya”. Dan itulah yang harus kita cegah, agar jangan sampai kita gagal melihat sejarah bangsa lain dan mengulangi kesalahan yang mereka lakukan. Pelarangan (Prohibition) bagi banyak sejarawan disebut sebagai eksperimen Amerika, dan dari hasil eksperimen tersebut kita ketahui bahwa mereka gagal dan telah salah. Marilah kita manfaatkan hasil eksperimen tersebut dan jangan berbuat hal yang salah. Belajar dari sejarah kita melihat bahwa melarang peredaran alkohol bukanlah solusi masalah kriminalitas. Kriminalitas akan terlalu sederhana jika disimpulkan bahwa penyebabnya hanya karena alkohol. Tanya sosiolog yang pintar, kriminalitas adalah hal yang sangat rumit yang menyangkut kesejahteraan, budaya, kelas sosial, dan banyak variabel lainnya.

Yang paling baik kita lakukan adalah dengan mengajak, mengajak secara persuasive, karena kita lihat sendiri secara sejarah. Melanggar hak asasi seorang manusia adalah seperti melarang mereka melatih kemampuan moral mereka dan itu malah akan menghasilkan hasil yang lebih buruk. Oleh karena itu ajakan saya bagi para pembaca sekalian agar mari kita dukung program polisi “Brenti Jo Bagate” karena itu adalah ajakan moral, yang dijalankan lewat cara yang tepat yaitu melalui rumah-rumah ibadah.

Dan cara yang paling utama adalah mengajak orang untuk menghormati hukum. Ketika masyarakat menghormati hak seorang pemabuk untuk meminum minumannya sampai mati, maka para pemabuk pun harus menghormati hak masyarakat. Polisi harus sigap bertindak secepat mungkin ketika kumpulan pemabuk mulai mengganggu ketentraman umum dengan berteriak dijalanan atau mulai memasang sound-system yang mengganggu masyarakat sekampung. Ini yang saya alami ketika saya mengunjungi kota Munich pada Oktoberfest barusan. Oktoberfest adalah pesta bir masyarakat Bavaria di Jerman dan pada saat itu anda bisa melihat orang mabuk hampir di setiap sudut jalan. Tetapi tidak ada satupun para pengendara yang mabuk, karena polisi langsung menindak para pengendara yang mabuk, atau orang yang berani berbuat onar pada orang lain. Siapa saja yang tertangkap mengendarai mobil dengan keadaan mabuk akan dicabut izin mengemudinya selama bertahun-tahun, dan khusus untuk supir taksi, dicabut haknya untuk mengemudi dan menjadi supir taksi seumur hidup. Hal ini diberlakukan karena anda memang berhak untuk mabuk, tetapi ketika anda mengendarai kendaraan, anda bukan hanya membahayakan diri anda, tetapi juga jiwa orang lain. Inilah  yang kita butuhkan untuk mengatasi kriminalitas; hukum yang bisa dipertanggungjawabkan secara moral, bukan dengan asumsi dangkal bahwa alkohol adalah satu-satunya penyebab kriminalitas. Hukum yang bisa dipertanggungjawabkan secara moral akan menciptakan masyarakat yang juga bertanggung jawab, bagi dirinya dan bagi orang lain.

Catatan kaki: Jika anda tertarik untuk mengetahui lebih dalam dan pada saat yang sama ingin menikmati hiburan, kisah masa “Prohibition” ini menjadi latar dalam miniseri di siaran HBO “Boardwalk Empire” musim ke-3, yang ditayangkan semenjak Oktober dan berakhir Desember 2012 ini. 

Thursday, December 13, 2012

Lembaga Terkorup di Negeri Ini: Rakyat



“Setiap bangsa memiliki pemerintah yang pantas untuk mereka miliki” –Joseph De Maistre- 
"Allah tidak akan mengubah keadaan suatu bangsa sebelum mereka mengubah dirinya sendiri." - Al Quran

Ketika para pendiri negara Amerika Serikat berkumpul untuk mendirikan Negara baru mereka, mereka harus memilih jenis pemerintahan apa yang harus mereka bangun. Mereka memutuskan untuk menjadikannya sebagai demokrasi republik, dimana kekuasaan ada pada rakyat dan bukan seseorang dan sekelompok orang. Ini adalah pencapaian besar dalam kebudayaan umat manusia, karena selama ribuan tahun kita menganggap bahwa pemerintahan oleh satu atau sekelompok orang adalah lebih baik dari pada pemerintahan oleh rakyat. Ketika mereka akhirnya bubar, salah seorang dari mereka dicegat oleh seorang wanita tua yang sedang menunggu hasil konvensi tersebut. Orang tersebut adalah Benjamin Franklin, yang wajahnya dapat anda lihat di lembaran uang US$ 100. Wanita tersebut bertanya; “Tuan Franklin, pemerintahan jenis apa yang kalian berikan bagi kami?” Jawab Franklin, “Sebuah Republik Nyonya, jika kalian bisa mempertahankannya.”

Apa maksud pernyataan Franklin ini? Franklin ingin menegaskan bahwa republik yang demokratis hanya bisa ada jika rakyatnya mampu memepertahankannya. Demokrasi ini hanya bisa bertahan jika rakyatnya mau memilih perwakilan dan pemimpin pemerintahannya, dan yang utama, memilih karena mereka tahu dan mendidik diri mereka sendiri tentang apa yang terbaik bagi masyarakatnya, aktif dalam politik, mengetahui apa alasan berdemokrasi dan kenapa kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat itu penting bagi berlangsungnya masyarakat yang beradab, berkeadilan, dan berkembang. Jika rakyat tidak mampu melakukannya, maka rakyat tersebut, sebagaimana kata filsuf Perancis De Maistre, akan mendapatkan pemerintah yang mereka pantas dapatkan.

Sekarang, mari kita lihat kekacauan yang melanda bangsa kita ini. Lembaga yang menjadi dasar demokrasi kita -  Parpol dan DPR – dan lembaga yang menjadi dasar penegakan keadilan –Kepolisian dan Kehakiman, adalah diantara lembaga yang paling korup. Hal ini bukan saja menghancurkan sendi-sendi demokrasi tetapi menjadi pembuka jalan pada lebih banyak dosa seperti ketidakadilan, pelanggaran hak, dan kemiskinan yang meraja lela. Dan dalam hal ini kita mulai mencari-cari kambing hitam, siapa yang paling dipersalahkan. Beberapa menyalahkan sistem ekonomi kapitalisme, yang lain menyalahkan bangsa asing. Ada yang menyalahkan sistem demokrasi itu sendiri yang melahirkan para pejabat busuk, bahkan ada yang dalam kondisi ekstrim mulai berpikir bahwa Dewan Perwakilan Rakyat dibubarkan saja dan kita kembali menjadi tirani. Bahkan yang lebih ekstrim, kita menerima bahwa sudah takdir kita menjadi bangsa korup, dan korupsi adalah (bayangkan) BUDAYA yang sudah ada di DNA setiap orang Indonesia.

Tentu saja, jika kita lihat kembali pernyataan Franklin dan Maistre, maka yang paling bisa benar yang harus kita persalahkan adalah rakyat kita sendiri. Meminjam kata-kata komedian George Carlin, para politisi dilahirkan dari bangsa itu sendiri, dibesarkan oleh orang tua sebangsanya, dididik oleh sistem pendidikan bangsa itu sendiri, dan dipilih oleh rakyat bangsa itu sendiri, demokrasi bekerja seperti komputer; GIGO, Gold in, Gold out (emas anda berikan, emas anda dapatkan), Garbage in, Garbage out (anda berikan sampah, hasilnya sampah). Sehingga mungkin saja bukan pemerintahnya yang memang korup, mungkin yang paling korup dari semuanya adalah rakyat yang memilihnya.

Jika anda memilih seorang bupati atau anggota DPR karena uang sebesar Rp. 100,000 atau 1 juta dan paket sembako, maka serendah itu lah kualitas pemimpin anda. Jika anda adalah orang yang tidak mau tahu, egois, dan tanpa pandangan jangka panjang, maka anda akan memilih pemimpin yang tidak mau tahu, egois dan tanpa program jangka panjang. Jika anda adalah pemilih yang tidak peduli siapa yang akan anda pilih sebagai pemimpin asalakan calon memberi anda sedikit uang, sebongkah janji kosong dan sepaket sembako, maka anda akan mendapatkan pemilih yang tidak peduli apakah anda menjadi melarat asalkan dia sudah menyumpal akal sehat anda dengan sebongkah janji kosong dan iming-iming murahan. Jika anda memilih hanya karena pesan singkat yang beredar tanpa anda menyelidiki lebih lanjut kebenarannya, maka anda akan mendapatkan pemimpin penipu yang dengan mudah membohongi anda dengan senyuman dan kepedulian palsu. Jika anda merasa bahwa uang adalah segalanya, maka anda akan mendapatkan pemimpin yang akan merasa uang adalah segalanya.

Jadi, mungkin saja bukan wakil rakyat yang korup, mungkin saja rakyatnya yang lebih korup. Sehingga jika suatu saat anda melihat kemiskinan dimana-mana dan pada saat yang sama pemimpin anda diberitakan dicurigai menggelapkan uang, jangan langsung angkat suara dan memaki. Carilah sebuah cermin dan lihat, mungkin saja bayangan di cermin itu adalah yang paling layak dipersalahkan karena telah memilih secara asal-asalan, asalkan ada kebagian serangan fajar. Ingat, memilih pemerintah adalah seperti memilih teman, atau pacar, atau sekolah, anda mendapatkan apa yang anda layak dapatkan.

Pesan saya, memilihlah dengan bijak. Setiap uang yang diberi politikus, ambil itu, tetapi jangan memilih karena uang. Karena ketika anda memilih karena uang, berarti anda adalah koruptor secara tidak langsung. Ingat, pemerintah adalah wakil Tuhan di dunia, dan jika pemerintah yang anda pilih itu jahat, anda bukan saja mengorbankan anak cucu anda, anda juga akan mempertanggungjawabkannya di depan Tuhan.