Friday, December 14, 2012

“Brenti Jo Bagate” dan “Prohibition of Alcohol by 18th Amendment of US Constitution”


Kebanyakan dari kita sudah mendengar tentang program POLDA Sulawesi Utara “Brenti Jo Bagate”, yang dalam hal ini, sampai dengan perkembangannya terakhir sangat saya dukung karena menurut saya masih sebatas ajakan moral. Tetapi banyak yang mungkin belum pernah mendengar tentang “Prohibition of Alcohol by 18th Amendment of US Constitution” (Pelarangan Alkohol oleh Amendemen ke-18 Undang-undang Dasar  Amerika Serikat) atau yang dalam sejarah sering hanya disebut sebagai “Prohibition” (Pelarangan). Ini adalah keadaan yang berlaku di Amerika Serikat pada tahun 1920 sampai 1933 ketika segala bentuk penjualan alkohol dilarang, dan dapat dituntut secara hukum. Pada waktu itu, hukum ini tidak main-main karena ditulis dalam Amendment (perubahan atau tambahan) ke-18 Undang-undang Dasar Amerika Serikat.

Prohibition dimulai dengan niat mulia sekelompok penduduk AS yang ingin agar minuman konsumsi minuman keras berhenti di Amerika Serikat, tetapi kalangan pendukung hak asasi manusia memprediksi bahwa sebuah peraturan yang melanggar hak-hak dasar individu hanya akan menghasilkan lebih banyak mudarat dari pada manfaat. Dan setelah perdebatan panjang, akhirnya pelarangan penjualan minuman keras menjadi bagian dari Undang-Undang Dasar Amerika Serikat setelah diratifikasi oleh 46 negara bagian pada 16 Januari 1919, dan sah dijalankan secara hukum pada 17 Januari 1920. 13 tahun setelah diberlakukan, Prohibition akhirnya diberhentikan pada 20 Februari 1933. Tetapi pelarangan alkohol ini tidak bisa dihentikan secara sembarangan karena menjadi bagian dari sumber dari segala sumber hukum di Amerika; Konstitusi. Sehingga pada tahun 1933, Kongres Negara-negara bagian Amerika Serikat berkonvensi dan memutuskan untuk melakukan perubahan lagi pada Undang-Undang Dasar mereka, kali ini Perubahan ke-21, yang isinya menganulir atau mencabut segala isi perubahan Undang-Undang Dasar ke-18 diatas. Inilah satu-satunya cara untuk menganulir sebuah isi Undang-Undang Dasar dan Perubahan ke-18 menjadi satu-satunya bagian dari Undang-Undang Dasar Amerika Serikat yang masih tertulis, tetapi dinyatakan tidak berlaku oleh bagian Undang-Undang Dasar yang lain. Sejarah yang unik bukan?

Lalu kenapa sehingga segala kekacauan ini terjadi? Kenapa suatu larangan yang baik agar warga Negara AS berhenti mengkonsumsi alkohol harus dicabut (atau dibatalkan) dan menjadi bahan perdebatan yang menyita begitu banyak waktu dan tenaga selama   13 tahun pemberlakuannya? Jawabannya karena hukum yang datang dari niat baik, tidak selamanya menghasilkan hasil yang baik. Selama 13 tahun pemberlakuannya, Prohibition tidak mampu menciptakan satupun tujuan aslinya. Sebelum Prohibition, pendukungnya beranggapan bahwa dengan membuat penjualan alkohol illegal maka akan menurunkan angka kriminalitas dan menurunkan pengeluaran pemerintah. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Angka kriminalitas meningkat tajam dan pengeluaran pemerintah juga yang harus dikeluarkan untuk mengontrol penjualan yang pada waktu itu mencapai 1.520 anggota agen federal untuk membantu kepolisian mengatasi penjualan alkohol. Bukan hanya masalah kriminalitas dan pengeluaran pemerintah, selama masa Prohibition Amerika menghadapi salah satu kegelapan moral terburuk dalam sejarahnya. Anak-anak muda menjadi anggota geng pengedar minuman keras, dan pembunuhan dan kekerasan antar geng menjadi lumrah di kota-kota. Karena minuman keras sekarang illegal, hanya para kriminil yang berani menjualnya dan para pengusaha kotor ini menguasai kota-kota besar. Bisnis mereka diberi suntikan dana besar dari hasil penjualan minuman illegal, dan tidak lama kemudian mereka melebarkan usaha mereka ke bidang yang jauh lebih maksiat seperti pelacuran dan perjudian illegal.

Keluarga dan anak muda menjadi terbiasa melanggar hukum karena mereka melihat setiap hari bagaimana hukum itu dilanggar (dengan sekedar menegak minuman keras), dan sekali mereka belajar itu, mereka akan tergoda untuk melanggar lebih banyak hukum lainnya. Bukan hanya anak muda yang dirusak moralnya dengan impian menjadi anggota gangster, bahkan para penegak hukum juga. Pada saat itu hanya sedikit polisi yang memang jujur dalam menjalankan tugasnya. Diantara bos gangster yang terkenal pada saat itu (anda mungkin pernah dengar namanya) adalah Al Capone. Al Capone bahkan mampu membuat pengacaranya menjadi anggota Kongres, dan dia melakukan banyak pembunuhan terselubung tanpa pernah ditangkap. Salah satu alasanya karena dia adalah pemilik hampir semua hakim dan penegak hukum di kotanya; Chicago. Pembunuhan dan perang antar para “bootlegger” adalah hal biasa di jalanan. Dan dalam 13 tahun ini Amerika Serikat menjadi saksi bertumbuhnya sebuah organisasi kriminal yang sangat terorganisir dan menggurita yang disebut “Mafia”.

Karena segala kekacauan ini akhirnya bahkan para pendukung Prohibition mulai mempertanyakan apakah mereka sudah melakukan sesuatu yang lebih baik bagi masyarakat atau lebih buruk. Salah satu penggagas awal Prohibition adalah John D. Rockefeller Jr. (anak Jutawan terkenal John D. Rockefeller), yang anti-alkohol sepanjang hidupnya, tetapi beralih menjadi pendukung gerakan untuk menentang Amandement 18. Dan dengan segala keluhan yang ada, akhirnya terciptalah Amendment 21, yang mengakhiri pelarangan penjualan alkohol setelah 13 tahun masa berlakunya.

Lalu apa maksud saya menjelaskan segala fakta sejarah ini? Filsuf Spanyol George Santayana pernah berkata bahwa “barang siapa yang gagal belajar dari sejarah akan celaka dengan mengulanginya”. Dan itulah yang harus kita cegah, agar jangan sampai kita gagal melihat sejarah bangsa lain dan mengulangi kesalahan yang mereka lakukan. Pelarangan (Prohibition) bagi banyak sejarawan disebut sebagai eksperimen Amerika, dan dari hasil eksperimen tersebut kita ketahui bahwa mereka gagal dan telah salah. Marilah kita manfaatkan hasil eksperimen tersebut dan jangan berbuat hal yang salah. Belajar dari sejarah kita melihat bahwa melarang peredaran alkohol bukanlah solusi masalah kriminalitas. Kriminalitas akan terlalu sederhana jika disimpulkan bahwa penyebabnya hanya karena alkohol. Tanya sosiolog yang pintar, kriminalitas adalah hal yang sangat rumit yang menyangkut kesejahteraan, budaya, kelas sosial, dan banyak variabel lainnya.

Yang paling baik kita lakukan adalah dengan mengajak, mengajak secara persuasive, karena kita lihat sendiri secara sejarah. Melanggar hak asasi seorang manusia adalah seperti melarang mereka melatih kemampuan moral mereka dan itu malah akan menghasilkan hasil yang lebih buruk. Oleh karena itu ajakan saya bagi para pembaca sekalian agar mari kita dukung program polisi “Brenti Jo Bagate” karena itu adalah ajakan moral, yang dijalankan lewat cara yang tepat yaitu melalui rumah-rumah ibadah.

Dan cara yang paling utama adalah mengajak orang untuk menghormati hukum. Ketika masyarakat menghormati hak seorang pemabuk untuk meminum minumannya sampai mati, maka para pemabuk pun harus menghormati hak masyarakat. Polisi harus sigap bertindak secepat mungkin ketika kumpulan pemabuk mulai mengganggu ketentraman umum dengan berteriak dijalanan atau mulai memasang sound-system yang mengganggu masyarakat sekampung. Ini yang saya alami ketika saya mengunjungi kota Munich pada Oktoberfest barusan. Oktoberfest adalah pesta bir masyarakat Bavaria di Jerman dan pada saat itu anda bisa melihat orang mabuk hampir di setiap sudut jalan. Tetapi tidak ada satupun para pengendara yang mabuk, karena polisi langsung menindak para pengendara yang mabuk, atau orang yang berani berbuat onar pada orang lain. Siapa saja yang tertangkap mengendarai mobil dengan keadaan mabuk akan dicabut izin mengemudinya selama bertahun-tahun, dan khusus untuk supir taksi, dicabut haknya untuk mengemudi dan menjadi supir taksi seumur hidup. Hal ini diberlakukan karena anda memang berhak untuk mabuk, tetapi ketika anda mengendarai kendaraan, anda bukan hanya membahayakan diri anda, tetapi juga jiwa orang lain. Inilah  yang kita butuhkan untuk mengatasi kriminalitas; hukum yang bisa dipertanggungjawabkan secara moral, bukan dengan asumsi dangkal bahwa alkohol adalah satu-satunya penyebab kriminalitas. Hukum yang bisa dipertanggungjawabkan secara moral akan menciptakan masyarakat yang juga bertanggung jawab, bagi dirinya dan bagi orang lain.

Catatan kaki: Jika anda tertarik untuk mengetahui lebih dalam dan pada saat yang sama ingin menikmati hiburan, kisah masa “Prohibition” ini menjadi latar dalam miniseri di siaran HBO “Boardwalk Empire” musim ke-3, yang ditayangkan semenjak Oktober dan berakhir Desember 2012 ini. 

Thursday, December 13, 2012

Lembaga Terkorup di Negeri Ini: Rakyat



“Setiap bangsa memiliki pemerintah yang pantas untuk mereka miliki” –Joseph De Maistre- 
"Allah tidak akan mengubah keadaan suatu bangsa sebelum mereka mengubah dirinya sendiri." - Al Quran

Ketika para pendiri negara Amerika Serikat berkumpul untuk mendirikan Negara baru mereka, mereka harus memilih jenis pemerintahan apa yang harus mereka bangun. Mereka memutuskan untuk menjadikannya sebagai demokrasi republik, dimana kekuasaan ada pada rakyat dan bukan seseorang dan sekelompok orang. Ini adalah pencapaian besar dalam kebudayaan umat manusia, karena selama ribuan tahun kita menganggap bahwa pemerintahan oleh satu atau sekelompok orang adalah lebih baik dari pada pemerintahan oleh rakyat. Ketika mereka akhirnya bubar, salah seorang dari mereka dicegat oleh seorang wanita tua yang sedang menunggu hasil konvensi tersebut. Orang tersebut adalah Benjamin Franklin, yang wajahnya dapat anda lihat di lembaran uang US$ 100. Wanita tersebut bertanya; “Tuan Franklin, pemerintahan jenis apa yang kalian berikan bagi kami?” Jawab Franklin, “Sebuah Republik Nyonya, jika kalian bisa mempertahankannya.”

Apa maksud pernyataan Franklin ini? Franklin ingin menegaskan bahwa republik yang demokratis hanya bisa ada jika rakyatnya mampu memepertahankannya. Demokrasi ini hanya bisa bertahan jika rakyatnya mau memilih perwakilan dan pemimpin pemerintahannya, dan yang utama, memilih karena mereka tahu dan mendidik diri mereka sendiri tentang apa yang terbaik bagi masyarakatnya, aktif dalam politik, mengetahui apa alasan berdemokrasi dan kenapa kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat itu penting bagi berlangsungnya masyarakat yang beradab, berkeadilan, dan berkembang. Jika rakyat tidak mampu melakukannya, maka rakyat tersebut, sebagaimana kata filsuf Perancis De Maistre, akan mendapatkan pemerintah yang mereka pantas dapatkan.

Sekarang, mari kita lihat kekacauan yang melanda bangsa kita ini. Lembaga yang menjadi dasar demokrasi kita -  Parpol dan DPR – dan lembaga yang menjadi dasar penegakan keadilan –Kepolisian dan Kehakiman, adalah diantara lembaga yang paling korup. Hal ini bukan saja menghancurkan sendi-sendi demokrasi tetapi menjadi pembuka jalan pada lebih banyak dosa seperti ketidakadilan, pelanggaran hak, dan kemiskinan yang meraja lela. Dan dalam hal ini kita mulai mencari-cari kambing hitam, siapa yang paling dipersalahkan. Beberapa menyalahkan sistem ekonomi kapitalisme, yang lain menyalahkan bangsa asing. Ada yang menyalahkan sistem demokrasi itu sendiri yang melahirkan para pejabat busuk, bahkan ada yang dalam kondisi ekstrim mulai berpikir bahwa Dewan Perwakilan Rakyat dibubarkan saja dan kita kembali menjadi tirani. Bahkan yang lebih ekstrim, kita menerima bahwa sudah takdir kita menjadi bangsa korup, dan korupsi adalah (bayangkan) BUDAYA yang sudah ada di DNA setiap orang Indonesia.

Tentu saja, jika kita lihat kembali pernyataan Franklin dan Maistre, maka yang paling bisa benar yang harus kita persalahkan adalah rakyat kita sendiri. Meminjam kata-kata komedian George Carlin, para politisi dilahirkan dari bangsa itu sendiri, dibesarkan oleh orang tua sebangsanya, dididik oleh sistem pendidikan bangsa itu sendiri, dan dipilih oleh rakyat bangsa itu sendiri, demokrasi bekerja seperti komputer; GIGO, Gold in, Gold out (emas anda berikan, emas anda dapatkan), Garbage in, Garbage out (anda berikan sampah, hasilnya sampah). Sehingga mungkin saja bukan pemerintahnya yang memang korup, mungkin yang paling korup dari semuanya adalah rakyat yang memilihnya.

Jika anda memilih seorang bupati atau anggota DPR karena uang sebesar Rp. 100,000 atau 1 juta dan paket sembako, maka serendah itu lah kualitas pemimpin anda. Jika anda adalah orang yang tidak mau tahu, egois, dan tanpa pandangan jangka panjang, maka anda akan memilih pemimpin yang tidak mau tahu, egois dan tanpa program jangka panjang. Jika anda adalah pemilih yang tidak peduli siapa yang akan anda pilih sebagai pemimpin asalakan calon memberi anda sedikit uang, sebongkah janji kosong dan sepaket sembako, maka anda akan mendapatkan pemilih yang tidak peduli apakah anda menjadi melarat asalkan dia sudah menyumpal akal sehat anda dengan sebongkah janji kosong dan iming-iming murahan. Jika anda memilih hanya karena pesan singkat yang beredar tanpa anda menyelidiki lebih lanjut kebenarannya, maka anda akan mendapatkan pemimpin penipu yang dengan mudah membohongi anda dengan senyuman dan kepedulian palsu. Jika anda merasa bahwa uang adalah segalanya, maka anda akan mendapatkan pemimpin yang akan merasa uang adalah segalanya.

Jadi, mungkin saja bukan wakil rakyat yang korup, mungkin saja rakyatnya yang lebih korup. Sehingga jika suatu saat anda melihat kemiskinan dimana-mana dan pada saat yang sama pemimpin anda diberitakan dicurigai menggelapkan uang, jangan langsung angkat suara dan memaki. Carilah sebuah cermin dan lihat, mungkin saja bayangan di cermin itu adalah yang paling layak dipersalahkan karena telah memilih secara asal-asalan, asalkan ada kebagian serangan fajar. Ingat, memilih pemerintah adalah seperti memilih teman, atau pacar, atau sekolah, anda mendapatkan apa yang anda layak dapatkan.

Pesan saya, memilihlah dengan bijak. Setiap uang yang diberi politikus, ambil itu, tetapi jangan memilih karena uang. Karena ketika anda memilih karena uang, berarti anda adalah koruptor secara tidak langsung. Ingat, pemerintah adalah wakil Tuhan di dunia, dan jika pemerintah yang anda pilih itu jahat, anda bukan saja mengorbankan anak cucu anda, anda juga akan mempertanggungjawabkannya di depan Tuhan.

Wednesday, December 12, 2012

Aku Cinta Indonesia Vs. Aku Cinta Produk Indonesia



“Aku Cinta Produk Indonesia”. Anda mendengar slogan ini di mana-mana. Pengusaha, perusahaan nasional, BUMN, pejabat pemerintah, semuanya mendengung-dengungkan hal ini. Tetapi disadari atau tidak, “Aku Cinta Produk Indonesia” (selanjutnya disebut ACPI) adalah sebuah wujud kesalahan berpikir ekonomi yang jika kita biarkan terus-menerus malah akan memperburuk ekonomi nasional dan bukannya memberikan keuntungan bagi bangsa ini malah kerugian. Sentimen ACPI tercipta dari empat kesalahan berpikir. Pertama, bahwa uang adalah kekayaan, atau seluruh kekayaan hanya diukur dari uang. Artinya, kita berpikir bahwa jika Indonesia mengimpor sepuluh ribu unit sepeda motor dari Jepang seharga sepuluh juta dollar artinya Indonesia baru saja kehilangan sepuluh juta dollar. Yang kita tidak perhitungkan adalah sepeda motor yang baru saja menjadi kekayaan baru bangsa Indonesia. Keuntungan perdagangan ini ditambah juga dengan selisih biaya yang bisa dihemat karena kita membeli sepeda motor ini dari jepang dan bukannya memproduksi sendiri. Bapak ilmu ekonomi modern, Adam Smith dengan jelas menunjukan kesalahan ini dengan menjelaskan bahwa “kekayaan sebuah bangsa” bukanlah uang tetapi “hasil produksi bangsa tersebut, ditambah dengan apa yang bisa mereka bisa beli dengan hasil produksi tersebut.” Uang hanyalah perantara, yang utama adalah apa yang bisa diproduksi oleh bangsa Indonesia dengan baik (tekstil, bahan baku, dll) ditambah dengan apa yang bisa mereka tukar dengan hasil produksi mereka (sepeda motor, elektronik, dll). Orang bisa menganggap bahwa jika kita membeli produk bangsa sendiri, uang itu bisa tinggal disini dan membuat bangsa sendiri kaya. Yang kita tidak perhitungkan adalah jika kita membeli di sini, maka barang yang dari luar yang bisa mengembangkan hidup kita tidak bisa masuk. Barang yang kita beli dari “dalam” harganya jauh lebih mahal, sehingga kita juga yang dirugikan. Apel malang harganya Rp. 10.000 dan apel Cina harganya Rp. 5000 dengan nutrisi yang jauh lebih tinggi. Ketika kita larang impor apel cina, maka kita telah kehilangan kualitas lebih yang ditawarkan oleh apel cina dan Rp. 5000 selisih harga yang harus kita bayarkan untuk apel malang. Rp. 5000 ini sebenarnya bisa kita gunakan untuk hal lain yang memperkaya hidup kita. Jadi secara garis besarnya, bangsa Indonesia menjadi lebih miskin Rp. 5000 ditambah kehilangan nutrisi lebih yang ditawarkan apel cina.

Kesalahan kedua adalah bahwa perdagangan antar negara adalah “zero-sum game” atau “permainan yang jika yang satu untung, maka yang satu pasti rugi”. Contoh zero-sum game adalah berjudi. Jika pemain menang seratus rupiah, maka Bandar pasti rugi seratus rupiah, dan sebaliknya. Menyamakan perdagangan dengan zero-sum game adalah sebuah ketololan ekonomi. Perdagangan tercipta bukan karena hanya salah satu pihak dalam perdagangan diuntungkan, justru sebaliknya, kedua belah pihak harus merasa diuntungkan sehingga terciptalah perdagangan. Keputusan untuk berdagang dengan bangsa lain juga demikian, kita mengimport justru karena kita merasa bahwa kita akan diuntungkan dari transaksi ini, karena kalau tidak, kita tidak akan mengimport.

Kesalahan ekonomi ketiga yang membuat ACPI begitu diterima adalah bahwa Bangsa Indonesia bisa melakukan segalanya dan jika dikembangkan, maka dua ratus lima puluh juta orang Indonesia bisa menciptakan segala hal yang kita perlukan mulai dari hasil pertanian, mobil, elektronik, sampai benang dan jarum. Padahal perkembangan ekonomi tercipta karena pembagian kerja antar individu, dan pembagian kerja antar bangsa. Hal ini ditunjukan dengan jelas di mata pelajaran ekonomi kelas 2 SMA, tentang teori keunggulan komparatif-nya David Ricardo. Secara sederhana Ricardo menjelaskan tentang dua orang yang akan lebih diuntungkan jika mereka tidak mengerjakan segala hal, tetapi mengkhusukan pada bidang yang paling mereka kuasai, dan nantinya menukarkan hasil kerja mereka, dan keduanya akan lebih diuntungkan. Seorang nelayan bisa memproduksi 3 ekor ikan dan 2 kilogram beras perhari. Seorang petani bisa memproduksi 2 ekor ikan dan 5 kilogram beras perhari. Jika sang nelayan hanya memancing seharian, dia bisa memproduksi 7 ikan, dan jika sang petani jika memproduksi beras saja, tanpa memancing, bisa memproduksi 10 kg beras perhari. Jika mereka hanya mengkhusukan pada bidang yang paling baik mereka kerjakan dan nantinya menukarkan (memperdagangkan) hasil kerja mereka, maka petani dan nelayan akan sama-sama diuntungkan. Tidak perlu IQ 140 untuk memikirkan hal sederhana ini. Dan jika hal ini terjadi pada level individu, hal ini juga yang terjadi pada level antar bangsa. Setiap negara dianugerahi Tuhan dengan kondisi geografis dan sosiologis (sejarah dan budaya) yang berbeda, sebagaimana individu dianugerahi talenta yang berbeda-beda. Ada bangsa yang unggul karena alamnya subur, ada yang tidak. Ada bangsa yang alamnya punya begitu banyak barang tambang, ada yang tidak. Ada bangsa yang berdasarkan sejarahnya unggul dalam teknologi, ada yang unggul dalam kesenian, ada yang unggul dalam etos kerja, dll., dan perbedaan ini yang harus kita syukuri karena itu memungkingkan terciptanya perdagangan antar satu bangsa (atau individu) dengan bangsa yang lainnya, yang pada akhirnya menciptakan keuntungan bagi kita semua. Kenyataan bahwa bumi saat ini mampu menampung 7.000.000.000 umat manusia adalah karena perdagangan yang kita lakukan dan merdekakan. Adalah hal bodoh jika kita anggap perdagangan (antar bangsa maupun individu) ini sebagai ancaman, dengan menggembar-gemborkan sentiment ACPI.

Saya bersyukur tidak semua bangsa punya sentiment “Aku Cinta Produk (negara tertentu)”. Bayangkan jika semua negara hanya mencintai produknya masing-masing, bayangkan jika Indonesia melarang impor dan hanya mendorong ekspor, dan setelah itu Malaysia juga melakukan hal yang sama, lalu China mengikuti, lalu Jepang, lalu AS, lalu Thailand, lalu semua negara didunia merasa bahwa mereka harus hanya mencintai produk negara masing-masing, apa yang terjadi, perdagangan dunia akan kolaps, dan setelah itu peradaban dunia akan kolaps, setelah itu hasil kerja kita tidak akan mampu lagi menopang keberlangsungan hidup 7.000.000.000 miliar umat manusia dan mungkin akan terjadi malapetaka ekonomi luar biasa dan miliaran manusia akan mati. Oh, Terima Kasih Tuhan karena tidak semua orang punya cinta buta terhadap sentiment ekonomi yang salah .

Kesalahan keempat adalah bahwa neraca perdagangan yang negatif itu buruk. Neraca perdagangan pribadi saya dengan Manado Town Square sangat negatif. Saya membelanjakan begitu banyak hal di Manado Town Square, tetapi apa itu berarti bahwa saya lebih miskin? Tidak. Justru neraca pribadi saya yang timpang dengan Manado Town Square menunjukan bahwa saya punya kemampuan membeli. Neraca perdagangan saya dengan tempat saya bekerjaJ sangat positif. Apa itu menunjukan bahwa tempat saya bekerja menjadi lebih miskin? Tentu saja tidak. Sentimen yang ingin menciptakan agar neraca perdagangan Indonesia harus positif dengan bangsa lain adalah hal yang salah, karena setiap bangsa yang membeli karena punya pendapatan.

Aku cinta Indonesia adalah hal yang jauh berbeda dengan Aku Cinta Produk Indonesia. Aku cinta Indonesia oleh karena itu kita ingin agar bangsa ini lebih sejahtera dan kesejahteraan tidak akan tercipta jika aku harus hanya membeli produk dalam negeri. Aku cinta Indonesia, oleh karena itu aku ingin agar orang Indonesia terpenuhi gizinya dengan mampu membeli buah import yang bergizi dengan murah. Aku cinta Indonesia oleh karena itu aku ingin agar petani kita tertantang untuk berinovasi dan menciptakan produk yang memang lebih baik dari pada bangsa lain tanpa harus dilindungi oleh pelarangan impor yang malah merugikan lebih banyak orang. Aku cinta Indonesia, oleh karena itu aku ingin agar rakyat Indonesia bisa menikmati kenaikan taraf hidup dengan harga semurah-murahnya, dan bahkan jika itu berarti harus mengeksport, dan mengimport. Seperti halnya taraf hidup saya naik setelah saya bekerja, dan membeli.

Property Ownership and Human Rights Violation (My Essay for IAF Accademy, Gummersbach)



My country has been experiencing many human rights violation, and the most recent is the tension about some religious group trying to deny the rights of other groups to exercise their constitutional freedom to worship and embrace any religion. But I decide to post this story which is closer to my hometown. In this area ( http://goo.gl/maps/erI6f ) people has operated their "tambang emas rakyat" or people's gold mine for years, but it is hard to get permission to professionally and legally own and exploit the land. So for many years people there has been operating under this quasi-legal system, without full recognition of their legality of ownership by government. This year, government decided to gave permit to a corporation, PT. Sumber Energi Jaya, backed by investors from China (and rumor has it that it was partially owned by one high local official) for exploitation of the gold deposit on that area. People then stood up to demonstrate against this plan and it was turned violent. Police used active bullet to stop the demonstrator. My friend is the leader of the demonstrator and the corporation sponsored crowd orchestrated their own demonstration in support of this “investor” and they burn his picture (http://www.mongabay.co.id/2012/05/27/tolak-tambang-emas-minahasa-dua-tertembak/ )  (second picture, my friend’s name is Iswadi Sual, as you can see his picture is being burned). At the end of May this Year, the minor conflict between people against police took place (again) and police open fire, and one the bullet misfired and hit two on their leg and a peasant; Franky Aringking, who just went back home with his cow, and hit him on his head. He was then rushed to the hospital and police official admitted him to hospital and guarantee for a surgery. His life was saved but now the left part of his body is permanently paralyzed and cannot be moved. I visited him yesterday (August 13, 2012) and shocked with the information that he can’t go home yet since police hasn’t paid his hospital bill, and he is waiting for it. Sadly no media report about it. I attached his picture, and wonder if it is a great idea to do a charity program to raise money to help him. You can still see the scars of the bullet passing through the right part of his head caused his left body can’t be moved.

This kind of event is not the first time in Indonesia, and certainly will not be the last if my country doesn’t change the direction, you can read in this link (http://www.npr.org/2011/11/16/142346962/in-indonesia-anger-against-mining-giant-grows and http://325.nostate.net/?p=3773 you can google to find more terrifying stories ). Sadly many people blame that this is the result of capitalism, and ask everyone to return the holy creed of our constitution article 33, verse 3: “The land, the waters and the natural resources within shall be under the powers of the State and shall be used to the greatest benefit of the people.” My friend, Iswadi, even take more radical  step and join the leftist student movement and turn more radical in his socialistic view. I have been debating him ever since. What they don’t realize that this is actually the direct result of that particular sentence in our constitution, that government should have the right over property of the people. We give them the power to regulate economy so they can look after us, while blindly assume that they have to be for the people. Yet the history has thought us again and again, that when we give government power to overseen something, it will give them more temptation to corrupt. The only solution is we take that power back and return the power to the people by granting them their property right for the land they deserve, for the land they have taken care for years. Without this, Franky Aringking would never be the last victims. I am looking for fund to make a documentary about this to shed the light of this problem to Indonesian public and to show them why my country has been in the wrong direction for so many time and what we can do to change it.

Upah Minimum dan Kesejahteraan



Tergantung dari cara pandang kita tentang apa itu “sejahtera” tetapi jika anda bayangkan sejahtera berarti punya mobil dan rumah yang indah, maka saya tumbuh dari keluarga yang tidak terlalu sejahtera dan memimpikan suatu hari menjadi sejahtera. Sejahtera adalah keinginan kita semua dan Tuhan yang Maha Baik memberikan bagi kita masing-masing talenta untuk mencapainya. Salah satu pejuang kesejahteraan yang manjadi topik hangat akhir-akhir ini adalah demo buruh yang menuntut naiknya UMR dan dihapuskannya outsourcing. Tetapi hari ini saya ingin menantang para pembaca untuk berpikir sejenak dan melihat apakah perjuangan ini adalah usaha menghasilkan kesejahteraan, atau malah menghancurkannya?

Untuk menjawab  pertanyaab ini, mari kita melihat lebih jauh kedepan dan bertanya; apakah kenaikan UMR lebih dari 60% di propinsi ini yang mencapai angka Rp. 2 juta akan menghasilkan kesejahteraan? Dari apa yang saya pelajari; sama sekali tidak. Perlu kita sadari bersama bahwa keahlian yang kita tawarkan sebagai pekerja memiliki sifat yang sama dengan komoditas. Ketika harga keahlian kita naik, maka reaksi yang diambil oleh pembeli keahlian kita (yaitu perusahaan) adalah mengurangi permintaan. Inilah hasil dari hukum alamiah permintaan dan penawaran. UMR adalah harga terendah yang diperbolehkan secara hukum oleh pengusaha untuk membeli keahlian kita. Hal terburuk akan dialami oleh para pekerja yang memiliki keahlian dibawah harga ini, yaitu para pekerja tanpa keahlian cukup, dan para anak muda yang baru lulus dari SMA. Keahlian yang mereka miliki tidak mencukupi untuk dirasionalisasi dibayar dengan harga Rp. 2 juta rupiah. Membayar dengan harga di bawah jumlah tersebut adalah perbuatan melanggar hukum.  Begitu pula dengan pekerja lain yang punya kemampuan di bawah jumlah UMR tersebut. Yang perusahaan bisa lakukan adalah memutuskan hubungan kerja dengan mereka. Hasil akhirnya adalah meningkatnya jumlah pengangguran, dan berkurangnya daya saing perusahaan karena harga yang lebih tinggi dan iklim investasi yang lebih buruk karena biaya investasi awal yang lebih tinggi untuk memenuhi biaya UMR.

Memang kita bisa katakan bahwa pengusaha punya banyak untung yang seharusnya dibagi menjadi lebih merata bagi semua karyawan. Tetapi menjadi pengusaha bukan hanya membutuhkan keahlian lebih, tetapi juga menyita waktu yang lebih banyak untuk bekerja, dan terutama, menanggung resiko besar yang tidak ditanggung oleh pencari kerja, yaitu resiko kebangkrutan dan resiko kehilangan investasi besar yang pertama kali mereka tanamkan untuk memulai usaha. Kalau memang kedengarannya masih tidak adil, bayangkan jika naiknya UMR sebesar ini dan dampaknya terhadap iklim investasi di propinsi ini dan dampaknya pada kemajuan ekonomi secara keseluruhan. Dan dampaknya juga bagi penyerapan tenaga kerja. Hukum sederhana ekonomi: naiknya harga menyebabkan menurunnya permintaan. Demikian juga yang akan terjadi dengan permintaan tenaga kerja ketika naiknya UMR secara tidak wajar; terciptanya lebih banyak pengangguran.

Bagi saya, secara moral UMR seharusnya adalah 0 rupiah. Karena Upah adalah hasil penawaran antara dua belah pihak lewat persetujuan yang damai. Setiap usaha pemaksaan adalah kegiatan tidak bermoral dan melanggar hak masing-masing pihak, walaupun itu didukung oleh suatu peraturan hukum yang tertulis. Mungkin kita menganggap bahwa jika tidak ada UMR maka pekerja akan dieksploitasi secara tidak adil. Tetapi lihatlah beberapa Negara yang tidak pernah memberlakukan UMR seperti Jerman, Singapura, Hong Kong (sampai tahun 20100 dan Italia. Atau, pernahkah anda dengar bahwa Negara-negara Skandinavia adalah tempat dengan penduduk paling bahagia di dunia, tetapi tidak ada satupun Negara Skandinavia (Norwegia, Swedia, Finlandia, dan Denmark) yang memberlakukan UMR. Jadi tampaknya UMR bukanlah alasan kesejahteraan atau kebahagiaan.

Lalu apa yang bisa membuat pekerja lebih bahagia dan sejahtera? Jawabannya adalah perkembangan ekonomi. Ketika ekonomi berkembang, demikian pula dengan penyerapan tenaga kerja. Ketika ekonomi bertumbuh, lebih banyak orang akan membuka usaha, dan pekerja tidak perlu turun ke jalan untuk berunjuk rasa menuntut ini dan itu, karena ketika jumlah perusahaan bertambah, demikian juga jumlah perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja, dan mereka akan bersaing satu dengan yang lain untuk mendapatkan pekerja dengan cara memberikan gaji dan fasilitas yang lebih baik bagi pekerja. Tetapi ini semua tidak bisa terjadi tanpa ada kebebasan ekonomi. Ekonomi tidak mungkin tumbuh ketika perusahaan dan pengusaha dibebankan dengan banyaknya pungli dan peraturan, termasuk peraturan yang mengharuskan perusahaan untuk memenuhi standar minimum untuk membayar pekerjanya. Dan UMR yang tidak masuk akal bukan hanya merugikan pengusaha, tetapi masyarakat secara keseluruhan. Bayangkan seorang anak muda dengan segala kemampuannya dan potensi yang dia miliki. Dia bisa saja menjadi seorang yang sukses di masa depan walaupun dia tidak punya pendidikan yang cukup, tetapi Perusahaan tidak bisa mempekerjakannya karena UMR yang ada tidak memungkinkan perusahaan untuk secara akal sehat maupun hitung-hitungan usaha untuk mempekerjakannya. Sehingga UMR secara tidak langsung mematikan banyak kesempatan.

Tetapi kenapa begitu banyak orang menginginkan dan menyetujui naiknya UMR? Jawabnya karena cara pandang kita yang terlalu pendek dalam melihat masa depan. Bangsa dan rakyat yang bijak adalah yang mampu melihat jauh kedepan, tetapi kita yang kurang bijak hanya mampu melihat hasil sempit dan singkat. Kita terlalu peduli tentang apa yang “saya” dapatkan “bulan ini saja”. Kita tidak memperhatikan apa yang “rakyat” ini bisa capai di “masa depan” jika kita mau berusaha dan bekerja lebih baik dari hari-kehari. Kita terjebak dalam pola pikir salah yang dalam ekonomi disebut sebagai “economic myopia” (rabun jauh ekonomi) yaitu hanya memikirkan jangka pendek tetapi gagal melihat masa depan. Kita seperti anak manja yang mau kesenangan masa sekarang tetapi lupa bahwa kesenangan jangka pendek menimbulkan kesengsaraan jangka panjang, dan kesusahan jangka pendek bisa menimbulkan kesejahteraan jangka panjang. Seperti pemabuk yang lupa bahwa minum-minum bisa menghilangkan stress jangka pendek tetapi menimbulkan penyakit jangka panjang, dan bahwa siswa yang belajar keras selama satu tahun bisa berarti kepastian masa depan yang cerah sampai mati.

Saya berharap bahwa kita semua bisa berpikir jernih tentang masalah UMR dan jangan biarkan kepentingan jangka pendek (entah itu kepentingan rokok bulan ini atau kepentingan politik) menghancurkan kepentingan masa depan yang lebih cerah. Buktinya; ketika saya sedang menulis artikel ini, 6 perusahaan di Jawa sudah menutup pabriknya karena aksi buruh menuntut kenaikan UMR yang berujung anarkis sehingga perusahaan merasa takut berinvestasi lagi dan menutup atau memindahkan pabriknya. Siapa yang dirugikan akibat rabun jauh ekonomi ini? Begitu banyak pekerja yang mau bekerja dengan baik, anggota keluarga mereka, dan rakyat Indonesia secara keseluruhan.