Saturday, October 29, 2011

Miopia Ekonomi: Kesalahan Kebijakan Ketenagakerjaan di Negeri Ini

Kebijakan ekonomi yang baik adalah yang melihat pengaruh jangka panjang bukan jangka pendek. Kalau ada yang masih ingat buku cetak wajib mata kuliah Makroekonomi jaman kita yang ditulis oleh Samuelson dan Nordhaus, bagian terakhir pada bab pertama menjelaskan tentang kesalahan-kesalahan logika dalam ekonomi (ada yang masih ingat gambar pelican atau kelinci? Ketika dari dekat kita tidak bisa membedakan apa itu gambar burung pelican atau kelinci, setelah sudut pandang dijauhkan dari objek, kita bisa dengan jelas membedakan itu kelinci atau pelican). Ada banyak kesalahan logika berpikir terjadi karena kita hanya melihat pengaruh jangka pendek dan dengan sombong mengambil kesimpulan yang begitu mentah, kadang kala hanya berdasarkan logika kita semata tanpa ada pembuktian ilmiah. Beberapa kesalahan logika tersebut antara lain “fallacy of composition” yaitu bahwa apa yang baik bagi individu bukan bearti baik ketika diterapkan pada banyak orang. Contohnya, seorang petani jagung yang menggunakan pupuk terbaru memperoleh hasil panen tiga kali lipat. Melihat hal ini, pemerintah membagikan pupuk ini bagi semua petani. Hasilnya, hasil panen semua petani meningkat dan karena kelebihan penawaran komoditas jagung, hasilnya harga jagung anjlok dan petani tidak mendapat pendapatan lebih. Contoh lainnya adalah ketika anda memutuskan untuk bangun pagi lebih awal untuk menghindari macet pada saat pergi ke kantor. Usaha anda berhasil, dan keberhasilan anda diketahui oleh semua orang dan semua orang bangun lebih awal untuk pergi kerja. Hasilnya? Macet lagi, karena semua orang keluar pada waktu yang lebih awal secara bersamaan. Kesalahan logika lainnya adalah “luddite fallacy”. Luddite fallacy adalah kesalahan berpikir bahwa ketika teknologi berkembang dan mesin-mesin dipergunakan untuk memproduksi barang, maka pekerja akan disingkirkan sehingga menciptakan pengangguran besar-besaran. Tentu saja sejarah membuktikan bahwa luddite fallacy adalah fallacy (kesalahan). Karena kenyataanya, dalam jangka panjang, teknologi membuat harga produksi per satu barang akan turun jauh, sehingga menciptakan kenaikan permintaan secara besar-besaran untuk barang tersebut, sehingga lebih banyak tenaga kerja dibutuhkan. Bahkan lebih banyak tenaga kerja dibutuhkan untuk membuat teknologi untuk membuat barang tersebut. Dan ada begitu banyak kesalahan berpikir lainnya yang sebenarnya tidak menjadi kesalahan kalau para ekonom punya pandangan yang lebih luas.



Salah satu akibat kesalahan berpikir ini terjadi di bidang saya bekerja, dan tentu saja kita tahu apa penyebab kesalahan ini terjadi: karena terlalu sempitnya cara berpikir. Kesalahan ini menyangkut betapa banyaknya peraturan tenaga kerja yang kita punya di negara kita ini. Kita punya lusinan undang-undang dan peraturan menteri menyangkut masalah ketenaga-kerjaan. Kita punya UU No. 13, 2003, kita punya edaran menteri untuk mengartikannya, kita punya UU Jamsostek, kita punya UU 17. Thn 1987, kita punya PP tentang penggunaan tenaga kerja asing , UMR, Penyelesaian masalah Bipartit, dan yang terbaru UU BPJS dan banyak lagi yang pada intinya mengikat para pengusaha dalam bertindak. Tentu saja pemerintah kita punya dalih untuk melakukan ini. Oh, tentu saja ini untuk melindungi hak pekerja agar mereka jangan ditindas oleh pengusaha yang jahat. Ok. Peraturan yang banyak ini memang untuk melindungi pekerja, sebuah itikad yang sangat baik. Tetapi kita harus sadar bahwa melindungi pekerja dengan mengikat pengusaha dengan berbagai peraturan adalah hal yang baik kalau dilihat secara sempit, tetapi ini adalah kesalahan berpikir, karena jika kita lihat konsekwensi-nya secara LEBIH LUAS, peraturan-peraturan ini adalah hal yang sangat JAHAT, dan bahkan ADALAH ANCAMAN bukan hanya bagi pekerja, TETAPI BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA SECARA KESELURUHAN. Mari kita lihat secara satu persatu apa AKIBAT BURUK peraturan ini.



1. Peraturan tentang Upah Minimum Regional (UMR)

UMR tidak bisa disangkal adalah peraturan yang berasal dari niat baik pemerintah untuk mencegah pengusaha membayar upah terlalu rendah bagi pengusaha. Tetapi disadari atau tidak, ada pekerja yang memang layak digaji dibawah UMR dan mereka pun rela digaji dibawah UMR oleh pengusaha. Tetapi transaksi jual beli jasa ini menjadi illegal dengan adanya UMR. Dan ironisnya, para pekerja yang memang sepantasnya dibayar dibawah UMR ini adalah pekerja tidak terdidik, yang datang dari kalangan kebawah, yang seharusnya dilindungi pemerintah, tetapi mereka menjadi pengangguran oleh karena peraturan pemerintah. Dalam transaksi yang ditentukan pasar, harga atas jasa (bukan atas manusia, tolong dibedakan, ini yang sering kali dipakai oleh para penentang argument saya, bahwa saya menganggap manusia barang dagangan. Bukan harkat dan martabat yang diperjual belikan, tetapi jasa anda!) sekali lagi, jasa anda dihargai berdasarkan negosiasi antara anda dan pengusaha dan harga yang ditetapkan dicapai secara demokratis, damai dan tanpa paksaan. Tetapi dengan adanya UMR, harga anda dipatok, sehingga jika seandainya harga anda jatuh di bawah UMR, transaksi tidak bisa dilaksanakan dan pengusaha, dan pengusaha sebagai agen ekonomi yang logis, akan mengambil keputusan untuk tidak mempekerjakan anda. Yang pengusaha akan lakukan adalah membayar lebih satu orang, untuk pekerjaan yang semestinya dilakukan oleh 2 orang.



Anda bisa berargumen bahwa UMR diciptakan untuk mencegah kemiskinan, tetapi usaha terbaik untuk mencegah kemiskinan adalah dengan menciptakan lapangan kerja. Tanpa pekerjaan kemiskinan akan bertambah. Anda tidak bisa mengharapkan pemerintah untuk mengatasi kemiskinan. TIDAK ADA SATU USAHA PEMERINTAH UNTUK MENGATASI KEMISKINAN YANG TERBUKTI BERHASIL. Ini terjadi di semua negara. Lihat saja di negara kita, setiap tahun angka bantuan pemerintah untuk mengatasi kemiskinan terus meningkat, tetapi angka kemiskinan tetap tidak berubah. Karena triliunan uang pemerintah tersebut adalah pemborosan sia-sia yang menyentuh bidang-bidang yang tidak berguna, dijalankan secara tidak efisien, dan menjadi godaan bagi para pejabat untuk diselewengkan. Usaha pemberantasan kemiskinan yang terbaik adalah dengan cara menciptakan lapangan kerja, apalagi bagi mereka yang belum terlatih. Tetapi UMR membuyarkan hal ini, dan yang tidak terlatih, yang tidak berpendidikan akan selamanya menjadi pengangguran.



Ekonom Thomas Sowell berargumen (dan membuktikannya lewat penelitian ilmiah) bahwa Upah Minimum itu seharsnya adalah 0 (NOL), karena jika pekerja gagal menyelesaikan pekerjaannya maka upahnya adalah 0 (nol). Tetapi UMR menciptakan standar yang terlalu tinggi atas harga jasa tenaga kerja sehingga pengusaha akan sangat berhati-hati mencari tenaga kerja melalui seleksi yang sangat ketat dan membatasi jumlah pekerja yang akan dipakai sehingga pada akhirnya akan menciptakan lebih banyak pengangguran dan pengangguran menciptakan kemiskinan.



2. Tentang tata cara Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Tata cara pemutusan hubungan kerja ini diatur dalam UU. No. 13 Thn. 2003. Kalau anda belum pernah membaca Undang-undang ini, saya sarankan anda melihatnya, demi pengetahuan, dan demi perlindungan anda jika seandainya pengusaha berencana memecat anda. Saya pikir ini adalah undang-undang yang gila. Bayangkan, jika anda ingin memecat karyawan dengan alasan yang tidak terlalu parah, dibutuhkan waktu satu tahun! Bayangkan! Anda pertama harus menerima surat peringatan pertama (SP 1), dan dalam jangka waktu enam bulan, lalu anda bisa diberikan SP2, dan setelah enam bulan berikutnya anda bisa mendapatkan SP 3 dan dipecat. Dan ketika dipecat pun, anda akan menerima begitu banyak uang penggantian yang bahkan cara menghitungnya pun akan sama menyiksanya dengan ketika uang itu diberikan pada karyawan yang dipecat. Tentu saja ada itikad baik pemerintah ketika merancang peraturan ini, tetapi coba kita lihat akibat buruk dari itikad baik ini. Coba bayangkan anda membeli sebuah produk, dan setelah anda membeli produk ini, anda diwajibkan untuk tidak menggatinya dengan produk lain. Dibutuhkan waktu satu tahun sebelum anda berkeinginan untuk mengganti produk ini, dan setelah anda diijinkan mengganti dengan produk yang baru, anda diwajibkan untuk membayar produsen produk yang lama sebesar 50% harga produk lama ketika dibeli. Apa yang akan terjadi dengan permintaan produk ini? Hanya orang gila yang mau membelinya, atau orang yang sangat membutuhkan produk ini. Tetapi itulah kenyataannya di pasar tenaga kerja kita. Sehingga jangan heran para pengusaha akan sangat-sangat selektif untuk memilih karyawan karena mereka diperhadapkan pada keputusan yang sulit setiap kali mereka merekrut karyawan yang baru. Ini bukan saja pelanggaran HAM pengusaha (yang juga adalah manusia), tetapi juga adalah penciptaan pengangguran karena harga jasa seorang pekerja menjadi sangat, sangat, bukan kepalang mahalnya.



Implikasi yang paling buruk adalah implikasi moral. Coba saya jelaskan: Bangsa adalah kumpulan manusia. Jika anda menginginkan bangsa yang berkualitas anda harus menciptakan manusia yang berkualitas. Jika anda menginginkan manusia yang berkualitas, anda membutuhkan manusia yang bertanggung jawab, dan jika anda menginginkan bangsa yang berkualitas, anda harus menciptakan manusia-manusia, rakyat-rakyat yang bertangungjawab, beretos kerja, beretika, bermoral. Bangsa kita adalah bangsa yang melalui pengamatan saya pribadi (saya tidak tahu pengamatan pribadi anda, tetapi saya sudah banyak mendengar mengenai kualitas manusia-manusia kita) adalah bangsa yang kurang berkualitas. Kenapa? Coba saja lihat para pekerjanya. Para pekerja kita ada banyak yang tidak berkualitas, yang bahkan tidak mampu menelaah sebuah prinsip dasar alam semesta “kamu akan tuai apa yang kamu tabur.” Anda bisa saja bermalas-malasan, toh dibutuhkan berbulan-bulan agar anda dapat dipecat. Asalkan kita rajin pada tiga bulan pertama, setelah masa percobaan, diangkat menjadi karyawan tetap, sudah masuk jalur aman. Bayangkan akan jadi seperti apa bangsa yang seperti ini? Jika anda tidak bisa mempertimbangkan sebuah prinsip dasar moralitas; anda akan mendapatkan sesuai yang anda kerjakan, bagaimana bisa kita bisa mempertimbangkan prinsip moral yang lebih besar seperti; jangan ambil apa yang bukan kepunyaan saya. Jangan heran jika kita menjadi bangsa pemalas. Saya yakin bahwa pekerja harus dilindungi dari ketidakadilan. Saya juga merasa adalah hak individu untuk mengadu kepengadilan jika dia dipecat tanpa alasan yang sahih dan mengada-ada seperti karena gender, agama, ras atau suku, atau dipecat ditempat tanpa ada penyelidikan lebih lanjut dan pelatihan yang memadai. Tetapi masa pelatihan selama 6 bulan???? Setelah itu diberikan 6 bulan lagi??? Jangan heran kita menjadi bangsa memble. Dan jangan heran pengangguran semakin meningkat. Dan, kalau anda menganggap pasar tenaga kerja swasta sudah segila itu, maka anda akan terheran-heran melihat bagaimana cara mendisiplikan Pegawai Negeri Sipil. Jika di swasta, anda alpa selama lima hari berturut-turut dan sudah dihubungi dua kali oleh yang berwenang diperusahaan tetapi tidak ada kabar maka anda dinyatakan mengundurkan diri secara sukarela dan diputuskan hubungan kerja tanpa kompensasi. Tetapi di kalangan PNS, anda boleh 45 (EMPAT PULUH LIMA, sekali lagi EMPAT PULUH LIMA!!!) hari tidak masuk tanpa kabar selama setahun, lalu dinyatakan boleh dipecat. Mau dibawa kemana mental bangsa kita jika seperti ini kondisinya? Pantas saja kita jadi bangsa bobrok.



3. Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing

Saya bekerja di tempat yang memperkerjakan orang asing dan sebagai info bagi anda yang belum tahu, mempekerjakan orang asing di negeri ini adalah hal yang sangat-sangat sulit. Anda harus punya begitu banyak surat ijin yang diterbitkan oleh berbagai department. Jika anda ingin mempekerjakan seorang guru, anda harus berurusan dengan Kementrian Luar Negeri, Department Hukum dan HAM, Department Tenaga Kerja, dan Department Pendidikan. Dan begitu banyak dokumen yang harus anda lengkapi, mulai dari Visa kerja, IMTA, RPTKA, TA-01, KITAS, dan tetek-bengek lainnya yang kesemuanya harus melewati banyak meja birokrasi yang berbelit-belit, dan belum lagi kewajiban membayar DPKK $100 setiap bulan per tenaga kerja asing, lalu ditambah kewajiban menyediakan pendamping untuk transfer ilmu, laporan ini dan itu, dll. Bahkan melihat skema kerjanya saja saya sudah pusing, untung ada Ma’am Deivy. Itu belum termasuk usaha untuk mencari kandidat potensial untuk mengisi posisi yang dimaksud, menyediakan ini dan itu untuk kedatangan mereka, booking ticket, koordinasi waktu keberangkatan, penyediaan akomodasi, dan, belum lagi jika calon yang bersangkutan harus menghadapi masalah birokrasi di negara asalnya, yang kadang-kadang bikin otak meledak!!! Hal yang paling melelahkan dimuka bumi.



Kesulitan birokrasi negara ini tentu saja datang dari itikad baik pemerintah. Bagi pemerintah (dan banyak orang awam), tenaga kerja asing mengambil jatah pekerjaan yang sebenarnya bisa diisi oleh tenaga kerja Indonesia (lokal). Sehingga pemerintah memutuskan agar penggunaan tenaga kerja asing harus dibuat sesulit dan semahal mungkin (begitulah kira-kira yang saya tangkap dengan nalar saya). Itikad yang baik, tetapi itikad yang baik ini sebenarnya mendatangkan hasil yang buruk. Sebelum memulai saya ingin menyatakan bahwa saya setuju dengan tindakan pemerintah untuk memperketat syarat kualifikasi tenaga kerja asing di Indonesia, tetapi perlu diingat bahwa pengusaha juga berhati-hati dalam memilih kandidat untuk mengisi pekerjaan. Dan pengusaha sebagai agen ekonomi mengenal prinsip caveat emptor (pembeli, berhati-hatilah), karena yang menanggung resiko dalam salah memilih kandidat yang tepat itu adalah pengusaha itu sendiri. Sehingga jika pemerintah juga mengambil bagian yang terlalu dalam, dalam seleksi tenaga kerja adalah menurut saya tidak selayaknya. Tentu pemerintah berhak meneliti seorang calon, karena jangan sampai mereka itu adalah ancaman bagi keamanan nasional atau adalah mantan Narapidana, tetapi kalau dalam hal menentukan ijasah apa yang harus dimiliki sang kandidat adalah sangat-sangat tidak masuk akal. Bahkan kami banyak kali menolak calon dengan ijasah yang tampaknya sah, tetapi setelah diteliti ternyata ijasah ini diterbitkan oleh sebuah “diploma mill” (universitas penjual ijasah yang banyak terdapat di Amerika dan Kanada). Ok. Coba saya jelaskan akibat buruk dari usaha pemerintah yang “baik” ini untuk mempersulit pengusaha untuk mempekerjakan orang asing.



Mempekerjakan TKA (tenaga kerja asing) pada prinsipnya adalah sama dengan mengimpor barang dari luar negeri. Tetapi bukannya barang, tetapi jasa sang individu yang diimpor. Yang mana, hal ini bukanlah dosa sama sekali. Tetapi belakangan ini, muncul sentiment negative tentang arti kata mengimpor. Import dilihat sebagai simbol ketidakmampuan suatu bangsa. Dan import juga diartikan sebagai mencuri dari bangsa sendiri, karena uang yang dibayarkan kepada bangsa asing itu seharusnya bisa diberikan kepada rakyat sebangsa sendiri. Kalau kita menghentikan atau mengurangi import, berarti itu membuktikan bahwa kita mampu untuk mandiri, kita mampu menciptakan sesuatu sendiri dan uang yang alih-alih dikirim keluar negeri itu bisa diberikan kepada pengusaha lokal dengan membeli produk lokal, dan uang itu berputar di dalam negeri dan menciptakan kesejahteraan bagi bangsa sendiri. Ketika kita sudah mandiri, mampu unggul dalam memproduksi produk lokal kita karena sudah maju karena dimajukan oleh perdagangan dalam negeri, maka kita bisa ekspor dan dengan mengekspor kita bisa mendapatkan lebih banyak kesejahteraan, dan negara kita menjadi negara yang MAKMUR! HOREEE!!!



Tetapi ada yang salah dari cara berpikir ini. Masih ingat salah satu kesalahan logika ekonomi yang dibahas diatas, mengenai “fallacy of composition”? Bahwa apa yang baik bagi satu agent ekonomi akan berakibat buruk jika dilaksanakan oleh semua agent ekonomi. Adalah benar, jika Indonesia banyak mengekspor dan sedikit mengimpor maka akan berakibat baik bagi dalam negeri Indonesia, tetapi apa yang terjadi jika semua negara di muka bumi ini memikirkan ide yang sama? Maka semuanya akan melindungi pasar mereka dari import, dan berusaha memajukan ekspor, dan pada akhirnya, tidak ada yang akan mengimpor, dan semuanya hanya mau mengekspor, ujung-ujungnya; semua perdagangan terhenti, dan terjadilah kemelaratan, karena bangsa dengan bangsa sekarang tidak bisa lagi berjual-beli, tidak ada perdagangan, tidak ada keuntungan.



Jika kita melihat kebelakang, sejarah mencatat bahwa kebijakan inilah, yang pada waktu itu disebut merkantilisme, diterapkan oleh bangsa-bangsa Eropa pada Abad ke-16 sampai Akhir abad 18. Bangsa-bangsa Eropa pada waktu itu bahkan menggunakan hukuman mati bagi para penyeludup yang ketahuan menyeludupkan barang-barang dari negeri asing. Dan merekapun berlomba-lomba mencari daerah jajahan untuk diambil sumber daya alamnya sehingga tidak perlu membeli sumber daya alam dari negara tetangga. Pada saat yang sama, yang paling menderita adalah rakyat negara itu sendiri. Pada saat yang sama pula, abad merkantilisme menjadi saksi peperangan antar bangsa-bangsa Eropa dengan dalih melindungi perdagangannya dari import. Kegilaan ini berlangsung sampai datanglah seorang bijak bernama Adam Smith dengan bukunya yang menawarkan perspektif baru mengenai bagaimana cara sebenarnya mensejahterakan sebuah bangsa, dengan judul yang memikat “Sebuah Penyelidikan Mengenai Sifat dan Penyebab Kesejahteraan Bangsa-Bangsa” atau biasa disingkat “Kesejahteraan Bangsa-Bangsa” (sebuah buku klasik yang merubah sejarah dunia yang sampai detik ini belum diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, sayang). Dalam bukunya Smith beragumen bahwa bukannya menciptakan kesejahteraan, merkantilisme malah menciptakan kemelaratan. Merkantilimse bukannya menciptakan keserasian antara dua negara yang bertetangga, malah menciptakan kebencian. Masing-masing negara punya perajin, industrialis, rakyat, dan sumber daya yang bisa dipertukarkan, tetapi terjebak dalam ajaran yang salah. Hasilnya, bukannya perdagangan yang mendamaikan, yang mensejahterakan, kedua negara yang bertetangga malah terlibat kebencian dan peperangan. Merkantilisme mengakibatkan kemelaratan karena terhentinya perdagangan. Dan Smith menunjukan, malah kota-kota yang membuka pelabuhannya bagi perdagangan malah menjadi kota yang maju, dan Smith menunjukan contoh yang sempurna: Koloni Amerika (yang belum merdeka ketika buku itu ditulis). Mereka berdagang dengan siapa saja, mengimpor dan mengekspor apapun yang mereka butuhkan dan bukannya menjadi miskin, dalam jangka panjang rakyat mereka menjadi sejahtera (dan nantinya bahkan memenangkan perang melawan penjajah mereka, Inggris, yang sebenarnya sebangsa tetapi mereka muak dengan Merkantilisme Inggris. Alasan Amerika merdeka adalah merkantilisme Inggris, dan mereka merdeka pada tahun yang sama ketika buku Smith diterbitkan).



Setelah Smith, pemikir lain yang terpengaruh pemikirannya adalah David Ricardo dengan teorinya yang terkenal; “keunggulan komparatif”. Teory ini menunjukan dengan jelas, bahwa ketika kedua negara berdagang, kedua negara akan mengalami keuntungan jika pembatasan usaha itu diangkat. Sebagai contoh (theory ini membuat saya terkagum-kagum semenjak saya duduk di kelas 2 SMA): Jika semua penduduk Jepang dikerahkan, maka mampu memproduksi 50 ton beras, dan 0 mobil. Jika semua penduduk Jepang dikerahkan maka mereka mempu membuat 0 ton beras dan 200 mobil, sedangkan Indonesia jika semua penduduknya dikerahkan mampu memproduksi 100 ton beras dan 0 mobil, tetapi jika penduduknya dikerahkan hanya untuk membuat mobil, maka mereka bisa memproduksi 0 ton beras dan 100 mobil. Di Jepang, harga mobil adalah = 50/200= 0,25 ton beras. Jadi setiap 1 mobil yang diproduksi, Jepang kehilangan 0,25 ton beras. Sebaliknya, harga beras bagi jepang adalah 200/50 = 4 mobil, artinya setiap membuat 1 ton beras yang di diproduksi, jepang kehilangan 4 mobil. Bagaimana di Indonesia? Setiap 1 mobil yang diproduksi, Indonesia kehilangan 1 ton beras (100 mobil/100 ton beras). Ok, jika tidak berdagang, berapa total beras dan mobil yang di produksi? Tarulah Indonesia membuat 50 mobil dan 50 beras, karena rakyatnya mau ada beras dan mobil. Di Jepang mereka memproduksi 100 mobil dan 25 ton beras. Total produksi kedua negara adalah 150 mobil, ditambah 75 ton beras. Lalu orang Jepang punya Ide brilian, “hey Indonesia, gini aja, aku kan jago bikin mobil, saya bikin aja 200 mobil, tapi saya butuh 25 ton beras lagi. Kamu bikin aja beras smua, nanti saya beli dari kamu 25, kamu punya 75 kilo beras, nanti kamu saya kasih mobil 50 okay? Okay. Jadi setelah berdagang, brapa total output? Jepang produksi 200 mobil, 0 beras, dan Indonesia produksi 100 ton beras dan 0 mobil. Berapa total produksi yang baru? 200 mobil dan 100 ton beras, karena perdagangan. Nantinya Jepang akan mengeksport ke Indonesia 50 mobil baru, dan Indonesia akan mengekspor ke Jepang 25 ton beras, yang mana sangat menguntungkan bagi JEpang, karena 1 ton beras ini berharga 2 mobil, yang mana jauh lebih murah dari pada Jepang menanam beras sendiri yang berharga 4 mobil per satu ton beras. Dengan perdagangan, dan Indonesia pun diuntungkan karena Mereka memperoleh 50 mobil baru dan 75 beras. Kedua negara diuntungkan.

Lihat table sebelum perdagangan

Mobil Beras

Jepang 100 25

Indonesia 50 50

Total Output 150 75


Setelah kesepakatan:

Mobil Beras

Jepang 200 0

Indonesia 0 100

Setelah perdagangan:

Mobil Beras

Jepang 150 (50 nya ditukar ama 25 ton beras) 25 (impor dari Indonesia)

Indonesia 50 (impor dari Jepang) 75 (25 Export Ke Jepang)Total Output 200 100


Lihat? Jika kita berdagang, maka akan tercipta lebih banyak nilai dan itu menguntungkan lebih banyak pihak. Jadi jangan percaya Slogan salah satu iklan yang berkata “Kita Untung Bangsa Untung”, itu adalah iklan yang memanfaatkan kebodohan kita!


Lalu apa hubungannya dengan mempekerjakan orang asing? Sederhana: membuka perdagangan. Kepercayaan bahwa orang asing mengambil pekerjaan dari bangsa Indonesia adalah sangat tidak berdasar, karena perdagangan membuka peluang. Kita diuntungkan oleh mengunakan tenaga Asing, karena mereka datang dengan membawa satu nilai: Jasa bagi mereka yang memberi mereka pekerjaan. Dan tidak ada yang salah dengan itu. Menutup diri dari bangsa asing malah mengakibatkan kemunduran, dan kita kehilangan kesempatan untuk memperoleh jasa mereka. Jasa manusia adalah hal yang sacral dan banyak dari kita mengidentifikasi diri kita dengan jasa yang kita tawarkan kepada masyarakat, sebagai wujud pengabdian kita. Guru, dokter, polisi, dll., dan ketika restriksi pemerintah terlalu banyak menghalangi kita dalam mencari panggilan jiwa untuk bekerja, itu adalah pelanggaran, bukan pelanggaran hukum, karena hukum yang kita punya sekarang adalah salah, tetapi pelanggaran hati nurani.

Peraturan yang menciptakan pengangguran