Kalau pada postingan ini saya membahas tentang bagaimana terror diajarkan sebagai kurikulum pada universitas-universitas di Indonesia, bahkan sebagai mata kuliah pertama, maka ada satu ironi yang jauh lebih menyedihkan di Sulawesi Utara, dan itu terjadi tepat didepan mata kita. Banyak orang bilang bahwa bangsa kita adalah bangsa yang bersatu karena terror. Pada masa awal kemerdekaan, kita bersatu karena eforia merdeka yang lagi ngetren saat itu, tetapi eforia tersebut terberangus perlahan-lahan pada jaman Soekarno, karena ketidak pastian politik, ekonomi dsb, tetapi persatuan tersebut tercipta lagi setelah 32 tahun dibawah todongan senjata orde baru. Apakah betul teory ini? Bahwa sebenarnya bangsa kita adalah bangsa yang hanya mau beraksi setelah diteror? Saya tidak mau mengambil kesimpulan, anda lihat saja kejadiannya, bagaimana terror itu diajarkan pada mahasiswa hari pertama mereka masuk sekolah, hanya dengan alasan supaya mereka menurut (melalui OSPEK dan IMAJU). Tidak cukup dengan siswa yang diajarkan dengan terror, coba lihat pengalaman saya di Bus Manado-Bitung kemarin. Bus kami dimacetkan oleh segerombolan mobil yang dipenuhi orang-orang berpakaian aneh, yang tidak lain tidak bukan adalah pemuda-pemuda kurang kerjaan yang hanya suka menakut-nakuti anak-anak dalam program bernama Senterklass. Seorang ibu dibelakang saya bereaksi; nah, bagitu supaya anak-anak tobat. Sayapun penasaran dan bertanya; “kenapa so ibu?” Si ibu menjawab bahwa group Senterklass ini dibayar oleh orang-orang tua untuk menakut-nakuti anak-anak yang nakal supaya tidak nakal lagi. “Dorang jaga kepung tu rumah.” Napa kita pe anak dirumah sana pe nakal skali, mar kalau so musim senterklass bagini so tako dia, taong lalu, saki satu minggu. Biarjo, supaya so nda nakal, pe nakal skali kwa dia.
Nah, disinilah letak ironinya. Di Barat, tokoh sinterklas adalah tokoh baik hati. Sinterklass akan datang untuk anak yang baik hati dan memberi hadiah. Kalau anak-anak berkelakuan baik, maka senterklas akan datang dan memberi hadiah. Jadi anak-anak diajar untuk jadi baik-baik, dengan cara yang persuasive. Tetapi kejadian yang terbalik 180 derajat di Manado. Senterklass adalah momok untuk anak-anak. Senterklas adalah hantu, penjahat. Senterklas adalah alat terror orang tua bagi anak-anak. Jadi jika anak nakal, maka senterklas dan senter pit akan datang dan menangkap yang nakal. Kalau dibarat secara persuasive maka di manado dengan terror. Saya tidak berani menuduh ini cara yang salah, tetapi saya yakin bahwa persuasive adalah cara yang lebih baik, manusiawi dan lebih kristiani dalam mendidik anak. Tentunya kita semua tidak mau anak-anak kita menganggap Natal adalah saat yang paling tidak menyenangkan. Memang jelas sudah, bahwa kita suka mendidik anak dengan terror. Kita pe tante kalu bekeng tidor kita pe kaka pe anak, kong so nda ta tidor-tidor, mulai kita pe tante basuara: He, tidor jo, ada meong di sana. Meong, meong, napa Kirei blum tidor. Ini dia lakukan agar sang bayi cepat tidor. Tetapi ketika mendidik dengan terror, maka efek negative akan lebih besar dari positive. Memang kita kadang kala memerlukan rasa takut agar menurut, tetapi rasa takut yang diberikan secara berlebiha, bisa membawa efek negative.
No comments:
Post a Comment