Tampaknya ini pernyataan yang sudah basiiiiii!!!: Indonesia nda maju-maju karena kurang sumber daya manusia, Amerika Serikat maju karena sumberdaya manusianya hebat-hebat!!!
Apakah pernyataan ini benar???
Banyak orang sering bertanya, kenapa sebenarnya Negara maju bisa maju, sedangkan Negara kita susah maju? Orang kadang menjawab karena di Negara maju sumberdaya manusianya lebih baik dari kita, tetapi sebenarnya ini jawaban orang yang ingin cari jawaban mudah, jawaban pragmatis. Pertanyaan yang sama ditanyakan di salah satu soal ujian UAN; apa penyebab Negara maju bisa lebih baik dari Negara berkembang? Dan tentu saja bisa ditebak, jawaban yang benar (dari soal pilihan UAN, karya pengarang soal pragmatis) adalah; Karena Negara maju punya sumber daya manusia lebih baik dari Negara berkembang. Tetapi apa sebenarnya sumber daya manusia itu? Kalau anda menilai SDM hanya sekedar lewat kadar tingkat pendidikan formal, tentu saja SDM Indonesia jauh tertinggal dari, ambil contoh, Singapura dan Amerika Serikat, karena di negeri tersebut, presentasi lulusan S1, S2 dan S3 jauh lebih tinggi dari Indonesia, data statistic mengatakan demikian, dan jika memang jenjang pendidikan formal menjadi dasar mengukur kualitas SDM, maka kita bisa menerima jawaban gampangan bahwa kualitas SDM AS dan Singapore lebih tinggi dari Indonesia.. Tetapi apakah memang sumber daya manusia hanya bisa diukur dari jenjang pendidikan formal? Ok. Tarulah anda jawab, Ya, maka hasil jawaban tersebut adalah Juan Skavani Mahaganti punya kualitas SDM lebih tinggi dibanding Bill Gates, karena fakta bahwa Juan S. Mahaganti adalah seorang SE, dan Bill Gates adalah mahasiswa drop out dari Harvard. Suatu hari ayah saya (seorang pendukung Golkar garis keras) berbincang-bincang dengan saya tentang rancangan peraturan baru yang mengharuskan seorang calon presiden lulusan S1. Ayah saya yang seorang Golkar (partai yang mendukung rancangan peraturan ini) mendukung usulan tersebut. Dia mengatakan bahwa presiden harus punya pengetahuan luas sehingga harus lulus dari sebuah Universitas. “Papi,” jawab saya, “orang terkaya didunia sekarang bahkan tidak lulus universitas. Soeharto tidak pernah lulus SD, jenjang pendidikan seseorang tidak menentukan kualitas otaknya.” Saya tahu peraturan ini sebenarnya untuk menjegal Megawati. Walaupun saya bukan penggemar Mega, tetapi saya tidak pernah mau mendukung sebuah rancangan peraturan karya para politikus opportunist yang mana peraturan tersebut dirancang bukan untuk kesejahteraan tetapi untuk kepentingan politik mereka.
Atau, apakah kualitas SDM bisa diukur dari kekuatan fisik? Well, jika ini jawabannya, maka kualitas SDM Dwayne “The Rock” Johnson dan Hulk Hogan jauh diatas kualitas Mahatma Gandhi atau Stephen Hawking. Tentu saja ini jawaban yang salah. Oh, ya, apakah kualitas SDM bisa diukur dengan tingkat kecerdasan yang dikuantitaskan lewat angka IQ? Anggaplah kira-kira ini jawaban yang benar, hhmm, maka, kualitas SDM Einstein dan Asia Carera (pemain film porno terkenal) lebih tinggi dari Ibu Teresa, karena Asia Carera punya IQ yang tinggi. Carera itu anggota Mensa loh, itu tuh, organisasi orang-orang jenius dengan IQ diatas rata-rata (jangan Tanya saya tahu dari mana, saya bukan penggemar Asia Carera (atau produknya), tapi saya hanya sekedar tahu, hihihihi).Tentu saja, IQ bukanlah variable yang tepat dalam menentukan kualitas SDM seseorang. Atau, mungkin saja, kualitas SDM seseorang ditentukan oleh kegantengannya? Well, jika itu jawabannya maka tentu saja kualitas SDM Brad Pitt, sedikit (sangat sedikit) lebih unggul dari Juan Mahaganti, dan jauh diatas Nelson Mandela dan –nama yang sedang membaca-.
Jadi sebenarnya bagaimana kita menentukan kualitas SDM? Saya dalam posisi ini berani menjawab, saya tidak tahu! Kenapa? Pertama, karena ini bukan bidang saya. Kedua, saya berani menyatakan bahwa tidak ada orang yang bisa tahu bagaimana mengukur kualitas SDM tiap-tiap Individu, karena terlalu banyak variablenya, terlalu banyak kemungkinannya sehingga tidak mungkin ada satu system universal untuk mengukur kualitas SDM seseorang. Tidak ada satu mesin pun yang mampu mengukur kualitas seorang manusia, karena tiap-tiap manusia itu special dan berharga. Dan saya yakin hanya satu pribadi yang bisa mengukurnya yaitu sang pencipta manusia itu sendiri; Tuhan. Kalau anda seorang Kristen, pasti tahu perumpamaan Talenta, dimana dalam kisah tersebut Yesus mengumpamakan sang Khalik sebagai Tuan yang memberikan talenta bagi tiap-tiap hambanya masing-masing menurut kemampuannya. Jadi sang Khalik, dan hanya sang Khalik yang tau masing-masing kita. Dia memberikan kelebihan-kelebihan bagi kita masing-masing menurut kemampuan kita, Dia mengetahui (dan hanya dia yang tahu) masing-masing kita dan memberikan atas kemampuan kita. Tetapi dia memberikannya berbeda-beda bukan karena dia tidak adil, tetapi karena keadilanNya yang luar biasa, karena kasihNya atas diri kita, agar kita saling menghargai, memiliki satu sama lain, dan saya tidak punya keraguan sedikitpun atas keadilanNya. Kalau Tuhan menciptakan kita semua sangat pintar bermain music, siapa yang akan jadi penonton? Kalau Tuhan memberikan kepada kita semua talenta untuk memimpin, siapa yang akan jadi pengikut? Kalau semua punya kualitas tinggi dalam bermain bola, siapa yang akan jadi fans? Kalau semua punya talenta dalam berkhotbah, siapa yang akan jadi Jemaat? Jadi Tuhan memberikan kita semua dengan kualitas berbeda-beda, tetapi sekali lagi, kita manusia akan sangat sulit untuk menentukan tinggi rendahnya kualitas SDM tersebut.
Nah, sedangkan dalam mengukur kualitas SDM tiap-tiap individu adalah hal yang sukar, bagaimana bisa kita mengukur kualitas SDM sebuah komunitas? Bagaimana bisa kita mengukur kualitas SDM suatu bangsa? Itu adalah hal yang tidak mungkin dilakukan. Mengukur kualitas SDM satu orang saja sudah sangat sukar, bagaimana anda bisa mengukur satu bangsa, dan lebih gila lagi, bagaimana anda bisa membandingkannya. Aha!!! Bisa lo pak Juan, kan bank Dunia sudah menyediakan sebuah hitungan namanya HDI (Human Development Index) untuk mengukurnya. Eh, jawaban ini juga salah, karena HDI mengukur kualitas hidup dan bukan kualitas SDM. Tentu saja HDI Negara maju akan lebih tinggi dari HDI Indonesia, karena mereka punya universitas yang bagus, mereka punya layanan kesehatan yang bagus, mereka punya harapan hidup yang tinggi, mereka jarang MATI LAMPU!!! Tetapi untuk mengukur SDM, bukan itu variable yang diperlukan, tetapi variable yang jauh lebih rumit seperti, kecerdasan, kekuatan fisik, karakter (bagaimana bisa anda mengukur hal ini), moral, dan sebagainya.
Implikasi dari kepercayaan terhadap Mitos ini.
Jadi, untuk siapa saja yang dengan lantangnya menjawab bahwa Negara maju bisa demikian maju karena kualitas SDM yang lebih tinggi dari Indonesia, saya sangat sangat keberatan dengan hal tesebut karena tentu saja pernyataan tersebut tak berdasar, tanpa bukti konkrit. Bagaimana bisa dibuktikan, wong ngitungnya saja nda bisa. Nah, kalau anda masih getol dengan jawaban gampangan itu, nda usah repot-repot dulu cari buktinya, tetapi mari kita lihat apa implikasi dari pernyataan bahwa Negara maju lebih baik kualitas SDM nya. Pertama, secara tidak langsung anda berkata bahwa, secara rata-rata, orang Amerika Serikat lebih pintar, cerdas, ulet, kuat, ganteng, cantik, hebat dari orang Indonesia alias, orang Indonesia, lebih bodoh, tolol, dungu, bontok, bogo-bogo, loyo, letih, letoy, o’on, dari orang Amerika. Tentu saja tidak ada bukti untuk itu, tetapi dengan menyatakan pernyataan tanpa bukti itu, anda sudah merendahkan diri anda sendiri, membuat anda tidak percaya diri, tidak berani maju, dan menipu diri anda sendiri. Implikasi kedua dari jawaban gampangan ini adalah; secara tidak langsung anda menyatakan bahwa Tuhan adalah pencipta yang tidak adil! Secara tidak langsung anda menyatakan bahwa Tuhan lebih memberkati orang Amerika, menciptakan mereka secara rata-rata lebih pintar, lebih jago, lebih kuat, lebih TINGGI KUALITAS SDM-nya, Tuhan menciptakan orang Indonesia lebih bodoh, tolol, dungu, bontok, bogo-bogo, loyo, letih, letoy, o’on, dari orang Amerika.. TIDAK CUKUP DENGAN MENGHINA DIRI ANDA SENDIRI, ANDA JUGA MENGGERUTUI SANG PENCIPTA.
Ok. Kalu anda tetap merasa pernyataan saya kurang tepat, dan anda tetap getol dengan jawaban anda bahwa orang Indonesia kurang SDM-nya dibanding Negara maju, maka saya punya usulan agar masalah ini bisa diselesaikan. Pertama, mari kita gunakan system seleksi SDM. System itu bekerja seperti ini; ketika seorang bayi lahir, kita akan lihat cacat ditubuhnya, jika ada cacat (mental dan tubuh), langsung bunuh aja!!! Karena kalau dibiarkan hidup, akan mengurangi kualitas SDM. Lalu, mulai adakan pembersihan untuk semua orang-orang yang punya potensi mengurangi kualitas SDM, seperti para orang idiot, banci, homoseksual, orang gila, orang cacat, dan yang nda war-war lainnya.Kemudian, semua makhluk-makhluk dengan ras kurang bagus, yang berpotensi menurukna kualitas SDM, KITA BABAT HABIS!!! Katanya orang-orang Papua susah diajar, yaaahh, gampangnya door aja!!! Bunuh aja!! Ngapain lama-lama, bikin beban buat kualitas SDM kita aja. Siapa lagi?? Ah, orang Siau katanya bodoh-bodoh, sikat aja!!! Tangkap, lalu di bom sekalian. Nah, setelah gitu kan, aman dech pembangunan, kita bisa jadi Negara maju karena kualitas SDM kita sekarang sudah meningkat.
Anda boleh anggap pernyataan saya diatas lelucon, tetapi system gila yang terlalu menekankan “kulitas” manusia diatas pernah dilaksanakan dalam sejarah terkelam umat manusia. Orang-orang Sparta, memilih tiap bayi yang lahir. Ketika ditemukan bayi dengan cacat mental atau fisik, maka bayi tersebut langsung dibuang. Apa hasilnya??? Sparta di musnahkan dari peta pada abad ke-4 masehi oleh musuh mereka. Puing-puing kota kuno ini didirikan lagi menjadi kota baru oleh pemerintah Yunani Modern tahun 1834, setelah lebih dari 1500 tahun dilupakan. Nazi Jerman, mengagungkan kualitas ras mereka, dan mengaggap para orang gila, orang idiot, banci, homosekual, orang cacat fisik, sebagai makhluk-makhluk yang merusak kualitas ras mereka, sehingga pada jaman Nazi, terjadi pembersihan (alias pembunuhan) terencana terhadap orang-orang yang dianggap sebagai kelompok yang “tidak diinginkan” ini. Nazi juga percaya bahwa ras-ras lain yang “inferior” bisa mengkontaminasi ras mereka sehingga bisa merusak kemurnian ras ini. Mereka percaya, diperlukan orang-orang ras Arya Jerman asli untuk membawa jerman menuju kejayaan, sehingga jangan sampai mereka terkontaminasi dengan ras lain. Apa solusinya? Bunuh saja ras-ras ini, sehingga terciptalah Holocaust, pemusnahaan terencana terhadap lebih dari 6 juta orang Yahudi, dan jutaan lagi ras lain seperti orang Gypsy dan Slav yang dipercaya oleh pemimpin Nazi sebagai ancaman bagi kemurnian dan KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA mereka. Jadi, ketika anda percaya bahwa Indonesia tidak maju karena kualitas SDM-nya lebih rendah dari kualitas SDM Amerika Serikat, maka, bukan hanya MENGHINA DIRI ANDA SENDIRI, MENGHINA PENCIPTA ANDA, TETAPI ANDA JUGA MENEMPATKAN KEMANUSIAAN KE DERAJATNYA YANG TERENDAH (You put humanity at its lowest degree).
Lalu Kenapa kita tidak Maju-maju??
Saya tidak tahu apa yang ada dipikiran para orang yang percaya dengan apa yang saya sebut sebagai Mitos SDM diatas, tetapi satu yang saya tahu, bahwa Tuhan yang saya sembah adalah Tuhan yang adil. Yang menciptakan kita semua “sama” dan sederajat. Tetapi kalau gitu, kenapa kita nda maju-maju!?!?!?!
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya tidak mau menjawab kenapa kita tidak maju, tetapi saya ingin menjawab pertanyaan kenapa Amerika Serikat sebegitu majunya. Jawabannya, bukan karena mereka lebih pintar, bukan karena mereka pintar bahasa Inggris walaupun mereka orang Amerika, bukan karena mereka makan kacang Ajaib seperti Son-goku. Jawabanya, saya kutip dari pidato pengangkatan (ini depe bahasa Inggris dr Inaugural Adress?) president Ronald Reagan (My Best President of Post WW2 Era):
Jika kita mencari jawaban atas pertanyaan; kenapa selama bertahun-tahun lamanya, kita meraih sebegitu banyak, kesejahteraan yang melebihi bangsa manapun didunia. Jawabanya karena, disini, ditanah ini, kita membebaskan dan melepaskan energy dan kejeniusan individu yang dimiliki setiap manusia ketahap yang tertinggi yang tidak pernah dicapai sebelumnya. Kebebasan dan harkat tiap-tiap individu lebih mudah diraih dan lebih dijamin disini dibandingkan dengan tempat manapun didunia. Tetapi harga dari kebebasan ini terkadang sangat tinggi. Tetapi tidak pernah kita berkenan untuk berhenti membayar harga tersebut. (pidato aslinya dapat dilihat di link ini).
Kunci kesuksesan Amerika adalah, system mereka memungkinkan untuk terlepasnya semua potensi terbaik tiap-tiap individu. Di Amerika, anda bisa menjadi apa yang anda mau, asalkan anda benar-benar mau. Segalanya mungkin, dan yang membatasi anda hanyalah mimpimu. Disana, kebebasan memungkinkan segalanya, dimana hak mu menjadi apa yang terbaik darimu dilindungi oleh pemerintah. Obama sendiri adalah saksi hidup system ini, dimana tidak ada satu penghambatpun atas impian setiap manusia, dan Obama tidak sendiri, begitu banyak saksi lain, Oprah Winfrey, Arnold Swaczhtneger (bagemana mo tulis depe nama?), Michael Jordan, Henry Ford, Alexander Graham Bell, Stephen Spielberg, Thomas Edison, dan jutaan lainnya. Amerika adalah tempat dimana 300juta penduduknya melepaskan kejeniusan, bakat yang terpendam dalam diri mereka, menjadi wujud yang paling konkrit, dan hasilnya adalah kemajuan luar biasa yang belum pernah dunia saksikan sebelumnya.
Lalu apa yang salah dengan Indonesia? Saya suka menyebut, Indonesia sebagai tempat dimana 200 juta bakat menunggu untuk dilepaskan. Seperti postingan saya sebelumnya tentang film laskar pelangi, saya percaya bahwa Indonesia punya begitu banyak bakat, kemampuan dan sumber daya yang menunggu untuk diexploitasi. Bahwa bahkan di tempat paling ujung dari republic ini, anda bisa temukan begitu banyak seniman berbakat, actor berbakat, manejer berbakat, pemain bola berbakat, seniman berbakat, dan ratusan juta talenta yang Tuhan berikan yang menunggu untuk dilepas. Dan jika itu terlepas, tidak ada yang Negara ini tidak bisa capai. Ketika dia terlepas, kita tidak perlu khawatir lagi melawan Thailand di semifinal AFF seperti yang kita alami sekarang. Tetapi kenapa bakat dan kemampuan yang sebegitu besar tidak bisa terbebas dari kungkungan kemiskinan?
Untuk menjelaskannya, mari kita gunakan analogi sebuah kelas. Sang guru memberikan tugas dan ujian. Tetapi walaupun ada yang rajin mengumpulkan tugas ada yang tidak, dan ada yang menjawab dengan benar ujiannya, ada yang malas. Tetapi ketika semester berakhir, sang guru mengumumkan bahwa, dia ingin “keadilan” didalam kelas, sehingga, dia tidak mau ada yang nilainya tinggi, ada yang rendah. Jadi, sang guru memutuskan untuk memberi semua siswa nilai yang sama yaitu nilai yang sama rata untuk semua siswa. Apa yang terjadi pada semester berikut? Mudah saja ditebak, siswa yang paling rajin sekalipun akan menjadi sama malasnya dengan yang paling malas, karena dia tahu, apapun usahanya, tidak ada gunanya. Dia tidak akan mengeluarkan kemampuannya, dia tidak akan mengeluarkan bakatnya, dia akan berhenti belajar. Suasana kelas akan menjadi gersang, karena tidak akan ada gairah belajar disitu, tidak ada yang mau belajar, karena tahu, apapun usaha mereka, tidak ada gunanya. Siswa yang malas, bahkan akan menjadi lebih malas.
Demikian lah halnya yang terjadi di bangsa ini. Kita hidup dalam system yang memiskinkan ini. System yang saya sebut sebagai system benalu. Sekarang, saya mau anda menghayalkan diri anda diposisi orang-orang ini:
-Seorang seniman, dengan bakatnya yang luar biasa menghasilkan sebuah music yang begitu indah didengar. Lima bulan kemudian, dia tidak dapat uang yang banyak karena musiknya dibajak. Maukah kira-kira dia mengembangkan talenta yang ada dalam dirinya?
-Seorang petani yang sudah berusaha membangun sawahnya dengan mengharapkan hasilnya akan bagus, tetapi ketika masa panen tiba, pemerintah memutuskan mengimport beras, karena harga terlalu tinggi. Maukah dia bekerja keras sebagai petani? Makanya jangan heran banyak petani jadi tukang ojek.
-Seorang olahragawan, digaji 25 juta sekali main, sementara dia melihat diluar negeri dia akan dibayar dengan gaji 20 kali lipat, maukah kira-kira dia mengembangkan bakatnya olahraganya?
-Seorang ilmuwan yang menemukan alat baru, yang bisa saja mendatangkan banyak uang baginya, tetapi tidak ada pengusaha yang mau memproduksi barangnya, jadi dia putuskan mendirikan perusahaan sendiri. Tetapi usaha mendirikan perusahaan sangat lama. Perlu satu setengah tahun baginya untuk mendirikan perusahaan. Sebenarnya menurut UU, hanya perlu 1 minggu, tetapi itu kalau ada uang pelicin di birokrasi. Setelah perusahaan jadi, dia ingin mengurus patent terhadap temuannya, tetapi lagi-lagi perlu waktu 1 tahun agar patennya keluar. Sebenarnya hanya perlu 1 minggu, tetapi, lagi-lagi harus ada uang pelicin. Tidak mau menunggu, sang ilmuwan langsung memproduksi hasil temuannya. Hasil temuan ini beli perusahaan lain, langsung dicontek mentah-mentah. Karena sang plagiator punya uang banyak, sia-sialah usaha penemuan sang ilmuwan… Sang plagiator menjual dengan murah produk plagiatnya. Maukah kira-kira sang ilmuwan menciptakan lagi? Atau mengembangkan ilmunya? Dan bagaimana kira-kira calon penemu lain melihat kejadian ini? Tentu mereka tidak mau hal yang sama terjadi pada diri mereka. Makanya jangan heran, di Indonesia sedikit wirausahawan mau mengikuti jalur legal dalam mengurus bisnis, dan sedikit ilmuwan dan penemu mau mencipta karena masalah hak paten yang masih ambrul adul.
-Seorang karyawan PLN, tau bahwa dia bekerja sekuat tenaga ataupun santai, tetap mereka terima gaji. Maukah kira-kira dia bekerja segenap hatinya?
-Seorang birokrat, bekerja siang-dan malam untuk Negara. Tetapi gajinya 3 juta sebulan. Memang gaji tersebut tergolong besar, tetapi tanggung jawab yang dilimpahkan kepadanya sebegitu besar, dan dia punya akses terhadap jumlah uang yang jauh lebih besar. Godaan korupsi datang. Mampukah kira-kira dia tahan akan godaan korupsi?
-Seorang siswa, yang punya bakat dalam bidang filsafat. Tetapi filsafat tidak bisa mendatangkan uang dalam kondisi seperti ini. Kira-kira maukah dia untuk terjun dibidang filsafat?
-Yang paling parah: seorang entrepreneur dengan ide usaha yang luar biasa tetapi terhambat untuk maju karena birokrasi.
-….
Ada lebih banyak lagi kasus yang terjadi setiap harinya dibangsa ini yang tidak memungkinkan terjadinya pelepasan sumber daya manusia yang begitu potensial di Negara ini. Anda bisa tambahkan sendiri. Kegagalan melepaskan sumber daya manusia inilah yang kita perlukan untuk maju, mewujudkan bangsa Indonesia yang Adil dan MakmurKeadilan dan Kemakmuran ini tidak akan pernah terwujud tanpa ada kebebasan Usaha, pemerintah yang bersih dan peraturan yang menunjang. . China sudah mampu melepaskan sebegitu besar bakat terpedam rakyat mereka yang terpendam selama pemerintahan komunis, kapan kita seperti itu?
No comments:
Post a Comment