Wednesday, December 12, 2012

Upah Minimum dan Kesejahteraan



Tergantung dari cara pandang kita tentang apa itu “sejahtera” tetapi jika anda bayangkan sejahtera berarti punya mobil dan rumah yang indah, maka saya tumbuh dari keluarga yang tidak terlalu sejahtera dan memimpikan suatu hari menjadi sejahtera. Sejahtera adalah keinginan kita semua dan Tuhan yang Maha Baik memberikan bagi kita masing-masing talenta untuk mencapainya. Salah satu pejuang kesejahteraan yang manjadi topik hangat akhir-akhir ini adalah demo buruh yang menuntut naiknya UMR dan dihapuskannya outsourcing. Tetapi hari ini saya ingin menantang para pembaca untuk berpikir sejenak dan melihat apakah perjuangan ini adalah usaha menghasilkan kesejahteraan, atau malah menghancurkannya?

Untuk menjawab  pertanyaab ini, mari kita melihat lebih jauh kedepan dan bertanya; apakah kenaikan UMR lebih dari 60% di propinsi ini yang mencapai angka Rp. 2 juta akan menghasilkan kesejahteraan? Dari apa yang saya pelajari; sama sekali tidak. Perlu kita sadari bersama bahwa keahlian yang kita tawarkan sebagai pekerja memiliki sifat yang sama dengan komoditas. Ketika harga keahlian kita naik, maka reaksi yang diambil oleh pembeli keahlian kita (yaitu perusahaan) adalah mengurangi permintaan. Inilah hasil dari hukum alamiah permintaan dan penawaran. UMR adalah harga terendah yang diperbolehkan secara hukum oleh pengusaha untuk membeli keahlian kita. Hal terburuk akan dialami oleh para pekerja yang memiliki keahlian dibawah harga ini, yaitu para pekerja tanpa keahlian cukup, dan para anak muda yang baru lulus dari SMA. Keahlian yang mereka miliki tidak mencukupi untuk dirasionalisasi dibayar dengan harga Rp. 2 juta rupiah. Membayar dengan harga di bawah jumlah tersebut adalah perbuatan melanggar hukum.  Begitu pula dengan pekerja lain yang punya kemampuan di bawah jumlah UMR tersebut. Yang perusahaan bisa lakukan adalah memutuskan hubungan kerja dengan mereka. Hasil akhirnya adalah meningkatnya jumlah pengangguran, dan berkurangnya daya saing perusahaan karena harga yang lebih tinggi dan iklim investasi yang lebih buruk karena biaya investasi awal yang lebih tinggi untuk memenuhi biaya UMR.

Memang kita bisa katakan bahwa pengusaha punya banyak untung yang seharusnya dibagi menjadi lebih merata bagi semua karyawan. Tetapi menjadi pengusaha bukan hanya membutuhkan keahlian lebih, tetapi juga menyita waktu yang lebih banyak untuk bekerja, dan terutama, menanggung resiko besar yang tidak ditanggung oleh pencari kerja, yaitu resiko kebangkrutan dan resiko kehilangan investasi besar yang pertama kali mereka tanamkan untuk memulai usaha. Kalau memang kedengarannya masih tidak adil, bayangkan jika naiknya UMR sebesar ini dan dampaknya terhadap iklim investasi di propinsi ini dan dampaknya pada kemajuan ekonomi secara keseluruhan. Dan dampaknya juga bagi penyerapan tenaga kerja. Hukum sederhana ekonomi: naiknya harga menyebabkan menurunnya permintaan. Demikian juga yang akan terjadi dengan permintaan tenaga kerja ketika naiknya UMR secara tidak wajar; terciptanya lebih banyak pengangguran.

Bagi saya, secara moral UMR seharusnya adalah 0 rupiah. Karena Upah adalah hasil penawaran antara dua belah pihak lewat persetujuan yang damai. Setiap usaha pemaksaan adalah kegiatan tidak bermoral dan melanggar hak masing-masing pihak, walaupun itu didukung oleh suatu peraturan hukum yang tertulis. Mungkin kita menganggap bahwa jika tidak ada UMR maka pekerja akan dieksploitasi secara tidak adil. Tetapi lihatlah beberapa Negara yang tidak pernah memberlakukan UMR seperti Jerman, Singapura, Hong Kong (sampai tahun 20100 dan Italia. Atau, pernahkah anda dengar bahwa Negara-negara Skandinavia adalah tempat dengan penduduk paling bahagia di dunia, tetapi tidak ada satupun Negara Skandinavia (Norwegia, Swedia, Finlandia, dan Denmark) yang memberlakukan UMR. Jadi tampaknya UMR bukanlah alasan kesejahteraan atau kebahagiaan.

Lalu apa yang bisa membuat pekerja lebih bahagia dan sejahtera? Jawabannya adalah perkembangan ekonomi. Ketika ekonomi berkembang, demikian pula dengan penyerapan tenaga kerja. Ketika ekonomi bertumbuh, lebih banyak orang akan membuka usaha, dan pekerja tidak perlu turun ke jalan untuk berunjuk rasa menuntut ini dan itu, karena ketika jumlah perusahaan bertambah, demikian juga jumlah perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja, dan mereka akan bersaing satu dengan yang lain untuk mendapatkan pekerja dengan cara memberikan gaji dan fasilitas yang lebih baik bagi pekerja. Tetapi ini semua tidak bisa terjadi tanpa ada kebebasan ekonomi. Ekonomi tidak mungkin tumbuh ketika perusahaan dan pengusaha dibebankan dengan banyaknya pungli dan peraturan, termasuk peraturan yang mengharuskan perusahaan untuk memenuhi standar minimum untuk membayar pekerjanya. Dan UMR yang tidak masuk akal bukan hanya merugikan pengusaha, tetapi masyarakat secara keseluruhan. Bayangkan seorang anak muda dengan segala kemampuannya dan potensi yang dia miliki. Dia bisa saja menjadi seorang yang sukses di masa depan walaupun dia tidak punya pendidikan yang cukup, tetapi Perusahaan tidak bisa mempekerjakannya karena UMR yang ada tidak memungkinkan perusahaan untuk secara akal sehat maupun hitung-hitungan usaha untuk mempekerjakannya. Sehingga UMR secara tidak langsung mematikan banyak kesempatan.

Tetapi kenapa begitu banyak orang menginginkan dan menyetujui naiknya UMR? Jawabnya karena cara pandang kita yang terlalu pendek dalam melihat masa depan. Bangsa dan rakyat yang bijak adalah yang mampu melihat jauh kedepan, tetapi kita yang kurang bijak hanya mampu melihat hasil sempit dan singkat. Kita terlalu peduli tentang apa yang “saya” dapatkan “bulan ini saja”. Kita tidak memperhatikan apa yang “rakyat” ini bisa capai di “masa depan” jika kita mau berusaha dan bekerja lebih baik dari hari-kehari. Kita terjebak dalam pola pikir salah yang dalam ekonomi disebut sebagai “economic myopia” (rabun jauh ekonomi) yaitu hanya memikirkan jangka pendek tetapi gagal melihat masa depan. Kita seperti anak manja yang mau kesenangan masa sekarang tetapi lupa bahwa kesenangan jangka pendek menimbulkan kesengsaraan jangka panjang, dan kesusahan jangka pendek bisa menimbulkan kesejahteraan jangka panjang. Seperti pemabuk yang lupa bahwa minum-minum bisa menghilangkan stress jangka pendek tetapi menimbulkan penyakit jangka panjang, dan bahwa siswa yang belajar keras selama satu tahun bisa berarti kepastian masa depan yang cerah sampai mati.

Saya berharap bahwa kita semua bisa berpikir jernih tentang masalah UMR dan jangan biarkan kepentingan jangka pendek (entah itu kepentingan rokok bulan ini atau kepentingan politik) menghancurkan kepentingan masa depan yang lebih cerah. Buktinya; ketika saya sedang menulis artikel ini, 6 perusahaan di Jawa sudah menutup pabriknya karena aksi buruh menuntut kenaikan UMR yang berujung anarkis sehingga perusahaan merasa takut berinvestasi lagi dan menutup atau memindahkan pabriknya. Siapa yang dirugikan akibat rabun jauh ekonomi ini? Begitu banyak pekerja yang mau bekerja dengan baik, anggota keluarga mereka, dan rakyat Indonesia secara keseluruhan.

No comments: