Wednesday, December 12, 2012

Aku Cinta Indonesia Vs. Aku Cinta Produk Indonesia



“Aku Cinta Produk Indonesia”. Anda mendengar slogan ini di mana-mana. Pengusaha, perusahaan nasional, BUMN, pejabat pemerintah, semuanya mendengung-dengungkan hal ini. Tetapi disadari atau tidak, “Aku Cinta Produk Indonesia” (selanjutnya disebut ACPI) adalah sebuah wujud kesalahan berpikir ekonomi yang jika kita biarkan terus-menerus malah akan memperburuk ekonomi nasional dan bukannya memberikan keuntungan bagi bangsa ini malah kerugian. Sentimen ACPI tercipta dari empat kesalahan berpikir. Pertama, bahwa uang adalah kekayaan, atau seluruh kekayaan hanya diukur dari uang. Artinya, kita berpikir bahwa jika Indonesia mengimpor sepuluh ribu unit sepeda motor dari Jepang seharga sepuluh juta dollar artinya Indonesia baru saja kehilangan sepuluh juta dollar. Yang kita tidak perhitungkan adalah sepeda motor yang baru saja menjadi kekayaan baru bangsa Indonesia. Keuntungan perdagangan ini ditambah juga dengan selisih biaya yang bisa dihemat karena kita membeli sepeda motor ini dari jepang dan bukannya memproduksi sendiri. Bapak ilmu ekonomi modern, Adam Smith dengan jelas menunjukan kesalahan ini dengan menjelaskan bahwa “kekayaan sebuah bangsa” bukanlah uang tetapi “hasil produksi bangsa tersebut, ditambah dengan apa yang bisa mereka bisa beli dengan hasil produksi tersebut.” Uang hanyalah perantara, yang utama adalah apa yang bisa diproduksi oleh bangsa Indonesia dengan baik (tekstil, bahan baku, dll) ditambah dengan apa yang bisa mereka tukar dengan hasil produksi mereka (sepeda motor, elektronik, dll). Orang bisa menganggap bahwa jika kita membeli produk bangsa sendiri, uang itu bisa tinggal disini dan membuat bangsa sendiri kaya. Yang kita tidak perhitungkan adalah jika kita membeli di sini, maka barang yang dari luar yang bisa mengembangkan hidup kita tidak bisa masuk. Barang yang kita beli dari “dalam” harganya jauh lebih mahal, sehingga kita juga yang dirugikan. Apel malang harganya Rp. 10.000 dan apel Cina harganya Rp. 5000 dengan nutrisi yang jauh lebih tinggi. Ketika kita larang impor apel cina, maka kita telah kehilangan kualitas lebih yang ditawarkan oleh apel cina dan Rp. 5000 selisih harga yang harus kita bayarkan untuk apel malang. Rp. 5000 ini sebenarnya bisa kita gunakan untuk hal lain yang memperkaya hidup kita. Jadi secara garis besarnya, bangsa Indonesia menjadi lebih miskin Rp. 5000 ditambah kehilangan nutrisi lebih yang ditawarkan apel cina.

Kesalahan kedua adalah bahwa perdagangan antar negara adalah “zero-sum game” atau “permainan yang jika yang satu untung, maka yang satu pasti rugi”. Contoh zero-sum game adalah berjudi. Jika pemain menang seratus rupiah, maka Bandar pasti rugi seratus rupiah, dan sebaliknya. Menyamakan perdagangan dengan zero-sum game adalah sebuah ketololan ekonomi. Perdagangan tercipta bukan karena hanya salah satu pihak dalam perdagangan diuntungkan, justru sebaliknya, kedua belah pihak harus merasa diuntungkan sehingga terciptalah perdagangan. Keputusan untuk berdagang dengan bangsa lain juga demikian, kita mengimport justru karena kita merasa bahwa kita akan diuntungkan dari transaksi ini, karena kalau tidak, kita tidak akan mengimport.

Kesalahan ekonomi ketiga yang membuat ACPI begitu diterima adalah bahwa Bangsa Indonesia bisa melakukan segalanya dan jika dikembangkan, maka dua ratus lima puluh juta orang Indonesia bisa menciptakan segala hal yang kita perlukan mulai dari hasil pertanian, mobil, elektronik, sampai benang dan jarum. Padahal perkembangan ekonomi tercipta karena pembagian kerja antar individu, dan pembagian kerja antar bangsa. Hal ini ditunjukan dengan jelas di mata pelajaran ekonomi kelas 2 SMA, tentang teori keunggulan komparatif-nya David Ricardo. Secara sederhana Ricardo menjelaskan tentang dua orang yang akan lebih diuntungkan jika mereka tidak mengerjakan segala hal, tetapi mengkhusukan pada bidang yang paling mereka kuasai, dan nantinya menukarkan hasil kerja mereka, dan keduanya akan lebih diuntungkan. Seorang nelayan bisa memproduksi 3 ekor ikan dan 2 kilogram beras perhari. Seorang petani bisa memproduksi 2 ekor ikan dan 5 kilogram beras perhari. Jika sang nelayan hanya memancing seharian, dia bisa memproduksi 7 ikan, dan jika sang petani jika memproduksi beras saja, tanpa memancing, bisa memproduksi 10 kg beras perhari. Jika mereka hanya mengkhusukan pada bidang yang paling baik mereka kerjakan dan nantinya menukarkan (memperdagangkan) hasil kerja mereka, maka petani dan nelayan akan sama-sama diuntungkan. Tidak perlu IQ 140 untuk memikirkan hal sederhana ini. Dan jika hal ini terjadi pada level individu, hal ini juga yang terjadi pada level antar bangsa. Setiap negara dianugerahi Tuhan dengan kondisi geografis dan sosiologis (sejarah dan budaya) yang berbeda, sebagaimana individu dianugerahi talenta yang berbeda-beda. Ada bangsa yang unggul karena alamnya subur, ada yang tidak. Ada bangsa yang alamnya punya begitu banyak barang tambang, ada yang tidak. Ada bangsa yang berdasarkan sejarahnya unggul dalam teknologi, ada yang unggul dalam kesenian, ada yang unggul dalam etos kerja, dll., dan perbedaan ini yang harus kita syukuri karena itu memungkingkan terciptanya perdagangan antar satu bangsa (atau individu) dengan bangsa yang lainnya, yang pada akhirnya menciptakan keuntungan bagi kita semua. Kenyataan bahwa bumi saat ini mampu menampung 7.000.000.000 umat manusia adalah karena perdagangan yang kita lakukan dan merdekakan. Adalah hal bodoh jika kita anggap perdagangan (antar bangsa maupun individu) ini sebagai ancaman, dengan menggembar-gemborkan sentiment ACPI.

Saya bersyukur tidak semua bangsa punya sentiment “Aku Cinta Produk (negara tertentu)”. Bayangkan jika semua negara hanya mencintai produknya masing-masing, bayangkan jika Indonesia melarang impor dan hanya mendorong ekspor, dan setelah itu Malaysia juga melakukan hal yang sama, lalu China mengikuti, lalu Jepang, lalu AS, lalu Thailand, lalu semua negara didunia merasa bahwa mereka harus hanya mencintai produk negara masing-masing, apa yang terjadi, perdagangan dunia akan kolaps, dan setelah itu peradaban dunia akan kolaps, setelah itu hasil kerja kita tidak akan mampu lagi menopang keberlangsungan hidup 7.000.000.000 miliar umat manusia dan mungkin akan terjadi malapetaka ekonomi luar biasa dan miliaran manusia akan mati. Oh, Terima Kasih Tuhan karena tidak semua orang punya cinta buta terhadap sentiment ekonomi yang salah .

Kesalahan keempat adalah bahwa neraca perdagangan yang negatif itu buruk. Neraca perdagangan pribadi saya dengan Manado Town Square sangat negatif. Saya membelanjakan begitu banyak hal di Manado Town Square, tetapi apa itu berarti bahwa saya lebih miskin? Tidak. Justru neraca pribadi saya yang timpang dengan Manado Town Square menunjukan bahwa saya punya kemampuan membeli. Neraca perdagangan saya dengan tempat saya bekerjaJ sangat positif. Apa itu menunjukan bahwa tempat saya bekerja menjadi lebih miskin? Tentu saja tidak. Sentimen yang ingin menciptakan agar neraca perdagangan Indonesia harus positif dengan bangsa lain adalah hal yang salah, karena setiap bangsa yang membeli karena punya pendapatan.

Aku cinta Indonesia adalah hal yang jauh berbeda dengan Aku Cinta Produk Indonesia. Aku cinta Indonesia oleh karena itu kita ingin agar bangsa ini lebih sejahtera dan kesejahteraan tidak akan tercipta jika aku harus hanya membeli produk dalam negeri. Aku cinta Indonesia, oleh karena itu aku ingin agar orang Indonesia terpenuhi gizinya dengan mampu membeli buah import yang bergizi dengan murah. Aku cinta Indonesia oleh karena itu aku ingin agar petani kita tertantang untuk berinovasi dan menciptakan produk yang memang lebih baik dari pada bangsa lain tanpa harus dilindungi oleh pelarangan impor yang malah merugikan lebih banyak orang. Aku cinta Indonesia, oleh karena itu aku ingin agar rakyat Indonesia bisa menikmati kenaikan taraf hidup dengan harga semurah-murahnya, dan bahkan jika itu berarti harus mengeksport, dan mengimport. Seperti halnya taraf hidup saya naik setelah saya bekerja, dan membeli.

No comments: