Tergantung
dari cara pandang kita tentang apa itu “sejahtera” tetapi jika anda bayangkan
sejahtera berarti punya mobil dan rumah yang indah, maka saya tumbuh dari
keluarga yang tidak terlalu sejahtera dan memimpikan suatu hari menjadi
sejahtera. Sejahtera adalah keinginan kita semua dan Tuhan yang Maha Baik
memberikan bagi kita masing-masing talenta untuk mencapainya. Salah satu
pejuang kesejahteraan yang manjadi topik hangat akhir-akhir ini adalah demo
buruh yang menuntut naiknya UMR dan dihapuskannya outsourcing. Tetapi hari ini
saya ingin menantang para pembaca untuk berpikir sejenak dan melihat apakah
perjuangan ini adalah usaha menghasilkan kesejahteraan, atau malah
menghancurkannya?
Untuk menjawab pertanyaab ini, mari kita melihat lebih jauh kedepan dan bertanya; apakah kenaikan UMR lebih dari 60% di propinsi ini yang mencapai angka Rp. 2 juta akan menghasilkan kesejahteraan? Dari apa yang saya pelajari; sama sekali tidak. Perlu kita sadari bersama bahwa keahlian yang kita tawarkan sebagai pekerja memiliki sifat yang sama dengan komoditas. Ketika harga keahlian kita naik, maka reaksi yang diambil oleh pembeli keahlian kita (yaitu perusahaan) adalah mengurangi permintaan. Inilah hasil dari hukum alamiah permintaan dan penawaran. UMR adalah harga terendah yang diperbolehkan secara hukum oleh pengusaha untuk membeli keahlian kita. Hal terburuk akan dialami oleh para pekerja yang memiliki keahlian dibawah harga ini, yaitu para pekerja tanpa keahlian cukup, dan para anak muda yang baru lulus dari SMA. Keahlian yang mereka miliki tidak mencukupi untuk dirasionalisasi dibayar dengan harga Rp. 2 juta rupiah. Membayar dengan harga di bawah jumlah tersebut adalah perbuatan melanggar hukum. Begitu pula dengan pekerja lain yang punya kemampuan di bawah jumlah UMR tersebut. Yang perusahaan bisa lakukan adalah memutuskan hubungan kerja dengan mereka. Hasil akhirnya adalah meningkatnya jumlah pengangguran, dan berkurangnya daya saing perusahaan karena harga yang lebih tinggi dan iklim investasi yang lebih buruk karena biaya investasi awal yang lebih tinggi untuk memenuhi biaya UMR.
Untuk menjawab pertanyaab ini, mari kita melihat lebih jauh kedepan dan bertanya; apakah kenaikan UMR lebih dari 60% di propinsi ini yang mencapai angka Rp. 2 juta akan menghasilkan kesejahteraan? Dari apa yang saya pelajari; sama sekali tidak. Perlu kita sadari bersama bahwa keahlian yang kita tawarkan sebagai pekerja memiliki sifat yang sama dengan komoditas. Ketika harga keahlian kita naik, maka reaksi yang diambil oleh pembeli keahlian kita (yaitu perusahaan) adalah mengurangi permintaan. Inilah hasil dari hukum alamiah permintaan dan penawaran. UMR adalah harga terendah yang diperbolehkan secara hukum oleh pengusaha untuk membeli keahlian kita. Hal terburuk akan dialami oleh para pekerja yang memiliki keahlian dibawah harga ini, yaitu para pekerja tanpa keahlian cukup, dan para anak muda yang baru lulus dari SMA. Keahlian yang mereka miliki tidak mencukupi untuk dirasionalisasi dibayar dengan harga Rp. 2 juta rupiah. Membayar dengan harga di bawah jumlah tersebut adalah perbuatan melanggar hukum. Begitu pula dengan pekerja lain yang punya kemampuan di bawah jumlah UMR tersebut. Yang perusahaan bisa lakukan adalah memutuskan hubungan kerja dengan mereka. Hasil akhirnya adalah meningkatnya jumlah pengangguran, dan berkurangnya daya saing perusahaan karena harga yang lebih tinggi dan iklim investasi yang lebih buruk karena biaya investasi awal yang lebih tinggi untuk memenuhi biaya UMR.
Memang kita
bisa katakan bahwa pengusaha punya banyak untung yang seharusnya dibagi menjadi
lebih merata bagi semua karyawan. Tetapi menjadi pengusaha bukan hanya
membutuhkan keahlian lebih, tetapi juga menyita waktu yang lebih banyak untuk
bekerja, dan terutama, menanggung resiko besar yang tidak ditanggung oleh
pencari kerja, yaitu resiko kebangkrutan dan resiko kehilangan investasi besar
yang pertama kali mereka tanamkan untuk memulai usaha. Kalau memang
kedengarannya masih tidak adil, bayangkan jika naiknya UMR sebesar ini dan
dampaknya terhadap iklim investasi di propinsi ini dan dampaknya pada kemajuan
ekonomi secara keseluruhan. Dan dampaknya juga bagi penyerapan tenaga kerja.
Hukum sederhana ekonomi: naiknya harga menyebabkan menurunnya permintaan.
Demikian juga yang akan terjadi dengan permintaan tenaga kerja ketika naiknya
UMR secara tidak wajar; terciptanya lebih banyak pengangguran.
Bagi saya,
secara moral UMR seharusnya adalah 0 rupiah. Karena Upah adalah hasil penawaran
antara dua belah pihak lewat persetujuan yang damai. Setiap usaha pemaksaan
adalah kegiatan tidak bermoral dan melanggar hak masing-masing pihak, walaupun
itu didukung oleh suatu peraturan hukum yang tertulis. Mungkin kita menganggap
bahwa jika tidak ada UMR maka pekerja akan dieksploitasi secara tidak adil.
Tetapi lihatlah beberapa Negara yang tidak pernah memberlakukan UMR seperti
Jerman, Singapura, Hong Kong (sampai tahun 20100 dan Italia. Atau, pernahkah
anda dengar bahwa Negara-negara Skandinavia adalah tempat dengan penduduk
paling bahagia di dunia, tetapi tidak ada satupun Negara Skandinavia (Norwegia,
Swedia, Finlandia, dan Denmark) yang memberlakukan UMR. Jadi tampaknya UMR bukanlah
alasan kesejahteraan atau kebahagiaan.
Lalu apa
yang bisa membuat pekerja lebih bahagia dan sejahtera? Jawabannya adalah
perkembangan ekonomi. Ketika ekonomi berkembang, demikian pula dengan
penyerapan tenaga kerja. Ketika ekonomi bertumbuh, lebih banyak orang akan
membuka usaha, dan pekerja tidak perlu turun ke jalan untuk berunjuk rasa
menuntut ini dan itu, karena ketika jumlah perusahaan bertambah, demikian juga
jumlah perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja, dan mereka akan bersaing satu
dengan yang lain untuk mendapatkan pekerja dengan cara memberikan gaji dan
fasilitas yang lebih baik bagi pekerja. Tetapi ini semua tidak bisa terjadi
tanpa ada kebebasan ekonomi. Ekonomi tidak mungkin tumbuh ketika perusahaan dan
pengusaha dibebankan dengan banyaknya pungli dan peraturan, termasuk peraturan
yang mengharuskan perusahaan untuk memenuhi standar minimum untuk membayar
pekerjanya. Dan UMR yang tidak masuk akal bukan hanya merugikan pengusaha,
tetapi masyarakat secara keseluruhan. Bayangkan seorang anak muda dengan segala
kemampuannya dan potensi yang dia miliki. Dia bisa saja menjadi seorang yang
sukses di masa depan walaupun dia tidak punya pendidikan yang cukup, tetapi
Perusahaan tidak bisa mempekerjakannya karena UMR yang ada tidak memungkinkan perusahaan
untuk secara akal sehat maupun hitung-hitungan usaha untuk mempekerjakannya.
Sehingga UMR secara tidak langsung mematikan banyak kesempatan.
Tetapi
kenapa begitu banyak orang menginginkan dan menyetujui naiknya UMR? Jawabnya
karena cara pandang kita yang terlalu pendek dalam melihat masa depan. Bangsa
dan rakyat yang bijak adalah yang mampu melihat jauh kedepan, tetapi kita yang
kurang bijak hanya mampu melihat hasil sempit dan singkat. Kita terlalu peduli
tentang apa yang “saya” dapatkan “bulan ini saja”. Kita tidak memperhatikan apa
yang “rakyat” ini bisa capai di “masa depan” jika kita mau berusaha dan bekerja
lebih baik dari hari-kehari. Kita terjebak dalam pola pikir salah yang dalam
ekonomi disebut sebagai “economic myopia” (rabun jauh ekonomi) yaitu hanya
memikirkan jangka pendek tetapi gagal melihat masa depan. Kita seperti anak
manja yang mau kesenangan masa sekarang tetapi lupa bahwa kesenangan jangka
pendek menimbulkan kesengsaraan jangka panjang, dan kesusahan jangka pendek
bisa menimbulkan kesejahteraan jangka panjang. Seperti pemabuk yang lupa bahwa
minum-minum bisa menghilangkan stress jangka pendek tetapi menimbulkan penyakit
jangka panjang, dan bahwa siswa yang belajar keras selama satu tahun bisa
berarti kepastian masa depan yang cerah sampai mati.
Saya
berharap bahwa kita semua bisa berpikir jernih tentang masalah UMR dan jangan
biarkan kepentingan jangka pendek (entah itu kepentingan rokok bulan ini atau
kepentingan politik) menghancurkan kepentingan masa depan yang lebih cerah.
Buktinya; ketika saya sedang menulis artikel ini, 6 perusahaan di Jawa sudah
menutup pabriknya karena aksi buruh menuntut kenaikan UMR yang berujung anarkis
sehingga perusahaan merasa takut berinvestasi lagi dan menutup atau memindahkan
pabriknya. Siapa yang dirugikan akibat rabun jauh ekonomi ini? Begitu banyak
pekerja yang mau bekerja dengan baik, anggota keluarga mereka, dan rakyat
Indonesia secara keseluruhan.
No comments:
Post a Comment