Showing posts with label Economics. Show all posts
Showing posts with label Economics. Show all posts

Monday, June 17, 2013

Pemerintah (Terjemahan Bebas) Oleh Frederic Bastiat



Saya berharap ada seseorang yang mau memberi hadiah untuk sebuah definisi yang baik, sederhana dan pintar untuk kata “pemerintah”.

Sungguh sebuah sumbangsih yang begitu besar bagi masyarakat.

Pemerintah! Apakah dia? Dimanakah dia? Apa yang dilakukannya? Apa yang seharusnya dia lakukan? Yang kita tahu hanyalah bahwa dia adalah pribadi yang misterius, pribadi yang paling banyak dituntut, yang paling disiksa, yang paling kelabakan, yang paling dipuja, yang paling sering dituduh, pribadi yang paling sering dimintai, lebih dari pribadi manapun di dunia.

Saya tidak berkenan mengenal siapa pembaca saya tetapi saya berani bertaruh sepuluh banding satu, jika dia sedang ingin menciptakan surga, dia pasti berpaling pada pemerintah untuk mewujudkannya.

Dan jika pembaca adalah seorang wanita; saya yakin dia sangat ingin agar semua keburukan kesengsaraan manusia disembuhkan, dan dia berpikir hal ini akan dengan sangat gampang dilakukan, jika pemerintah menanganinya.

Tetapi sayangnya! Pribadi yang sial ini, sebagaimana Figaro, tidak tahu harus mendengar yang mana, atau berpaling kemana. Ratusan ribu mulut pewarta dan suara dari berbagai podium berteriak secara bersamaan-
“Himpunkanlah buruh dan pekerja”
“Lawanlah kesombongan dan sikap tirani para kapitalis”
“Buatlah penelitian tentang kotoran dan telur”
“Sediakanlah rel kereta keseluruh pelosok negeri”
“Airilah seluruh dataran”
“Tanamilah setiap bukit”
“Ciptakanlah kebun percontohan”
“Dirikanlah bengkel umum”
“Didiklah anak-anak”
“Latihlah orang muda”
“Bantulah yang lanjut usia”
“Kirimlah penduduk kota ke pedesaan”
“Samakan pendapatan setiap usaha”
“Pinjamkanlah uang tanpa bunga bagi siapa yang ingin meminjam”
“Angkatlah yang tertindas dimana saja”
“Kembangkan dan sempurnakanlah kuda tunggangan”
“Sokonglah kesenian, dan dukunglah musisi, pelukis dan asitek”
“Lindungilah perdagangan dalam negeri, dan ciptakanlah armada perdagangan”
“Temukanlah kebenaran, dan tanamlah benih akal sehat di kepala kami. Misi pemeirintah adalah mencerahkan, membangun, mengembangkan, melindungi, kesucian jiwa para penduduk.”

“Sedikitlah bersabar, saudara-saudara” kata pemerintah dalam nada yang memelas. “Aku akan melakukan apa saja yang memuaskanmu, tetapi untuk hal itu aku membutuhkan sumber daya. Aku telah menyiapkan perencanaan untuk lima atau enam pajak yang baru, dan tidak semuanya opresif. Engkau akan lihat bagaimana rakyat akan dengan senang hati membayarnya.”

Kemudian munculah seruan itu. “Tentu saja Tidak! Dimana nilai kebaikan dalam melakukan sesuatu dengan sumber daya? Kenapa? Hal tersebut tidak layak mendapat nama “Pemerintah”! Karena engkau membuat pajak baru, kami memberhentikan pajak yang lama. Kamu harus menghentikan;
“Pajak tembakau”
“Pajak minuman keras”
“Pajak atas surat”
“Bea dan Cukai”
“Pajak paten”

Di tengah huru hara ini, sekarang negara ini telah lagi dan lagi berganti pemerintahan, karena tidak mampu memenuhi semua yang diminta darinya, Aku ingin saat ini menunjukan sebuah kontradiksi. Tetapi apalah aku ini, bukankah sebaiknya aku menyimpan hasil pengamatanku ini bagi diriku sendiri!

Aku telah kehilangan karakterku selamanya! Aku telah dilihat sebagai seorang manusia tanpa hati dan tanpa perasaan-seorang filsuf yang kering, seorang individualis, seorang plebian, seorang borjuis, dalam satu kata, seorang ekonom praktis. Tetapi maafkan aku, seorang penulis yang baik, yang tidak akan berhenti mengatakan apapun, bahkan untuk sebuah kontradiksi. Bila aku salah, tanpa keraguan, aku dengan rela untuk menarik kata-kataku. Aku akan senang jika kamu telah menemukan sebuah makhluk yang begitu pengasih dan tak kenal lelah, yang disebut pemerintah, yang punya roti untuk setiap mulut, kerja untuk setiap tangan, modal untuk setiap usaha, dana untuk setiap proyek, minyak untuk setiap luka, obat untuk setiap penderitaan, nasihat untuk setiap kesusahan, solusi untuk setiap kerajuan, kebenaran untuk setiap orang pintar, diversi bagi mereka yang menginginkannya, memuaskan setiap keingin tahuan, koreksi untuk setiap kesalahan, membebaskan kita dari kebutuhan akan pertimbangan, kebijaksanaan, pengalaman, keteraturan, cobaan, pandangan jangka panjang, dan aktivitas.

Bukankah akan luar biasa jika kita menemukan definisi dari makhluk yang luar biasa ini. Oleh karena itu adalah hal yang luar biasa jika seseorang bisa memberi hadiah bagi siapa saja yang bisa memberi pengertian apa itu pemerintah dan apa yang harus mereka lakukan. Tetapi saya yakin sampai saat ini pengertian yang benar itu belum ditemukan karena lagi dan lagi pemerintah digulingkan oleh rakyatnya justru karena dia tidak mampu memenuhi tugasnya, yang dicapai justru sebaliknya.

Aku takut malah sebenarnya dalam hal ini, kita sedang berada dalam ilusi paling aneh yang pernah terjadi dalam pikiran manusia.

Manusia dikutuk untuk selalu menghadapi masalah, untuk memenuhi kebutuhannya. Ada dua cara memenuhi kebutuhan ini. Pertama adalah dengan memuaskan kebutuhannya oleh hasil kerja orang lain. Memenuhi kesenangan pribadi dengan kerja keras orang lain. Inilah asal mula perbudakan, dan penjarahan. Perbudakan telah berakhri, puji Tuhan. Tetapi satu lagi yang masih tetap ada, kecenderungan kita untuk hidup nyaman dan melempar masalah ke orang lain. Hal ini tetap ada dengan sebuah bentuk baru yang menyedihkan yang menunjukan dirinya dalam kehidupan bersama kita. Sang penindas tidak lagi bertindak memaksakan kekuasaannya secara langsung terhadap korbannya. Sang tirani dan sang korban tetap ada, tetapi ada satu pribadi perantara yang muncul diantaranya, yang adalah pemerintah, yang adalah hukum itu sendiri.

Oleh karena itu kita semua menaruh klaim kita dalam satu alasan bohong dan mengaplikasikannya untuk pemerintah. Kita katakan padanya, “Aku tidak puas dengan proporsi antara hasil kerja dan kenyamananku. Oleh karena itu, untuk mencapai keseimbangan ini, aku ingin untuk mengambil milik orang lain. Tetapi ini akan terlalu berbahaya. Bisakah kamu memfasilitasi hal ini? Bisakah kamu mencari bagiku tempat yang baik? Atau mengecilkan industry sainganku? Atau mungkin pinjamkan aku modalh yang kamu bisa ambil dari kompetitorku? Bisakah kamu sekolahkan anakku dengan biaya public? Atau berikan bagiku hadiah? Atau mengamankan bagiku sejumlah uang ketika aku mencapai usia lima puluh tahun? Dengan cara ini aku bisa mencapai tujuanku dengan cara yang mudah, karena hukum telah melakukannya untukku, dan aku akan memiliki keuntungan dari penjarahan, tanpa resiko atau kehinaan!”

Adalah hal yang pasti kit asemua meminta hal yang sama dari pemerintah; anda sebagaimana terbukti, pemerintah tidak bisa memuaskan satu pihak tanpa menambah kerja pihak yang lain, sampai aku bisa mendapatkan sebuah definisi resmi dari kata pemerintah Aku merasa berhak untuk memberi pengertianku sendiri. Siapa tahu mungkin bisa mendapatkan hadiah: Inilah dia:

Pemerintah adalah suatu kebohogan besar dimana setiap orang berusaha hidup dari kerugian orang lain.

Tentu saja banyak dari kita tidak setuju akan sentiment negative ini. Tetapi ilusi yang begitu besar dari masyarakat berusaha membenarkan dirinya. Tetapi apakah kita ini jika kita berpikir bahwa penjarahan untuk memberi menjadi kurang derajat penjarahannya karena untuk memberi; kejahatan tidak menjadi kurang jahat walaupun itu dilakukan secara legal dan dalam kerangka aturan; itu tidak menambahkan kebaikan umum, malah menghilangkannya, karena kita menggunakan sebuah alat yang mahal bernama pemerintah. Sebuah alat penjarahan: pemerintah, dan setiap kelas masyarakat datang padanya dan berkata; “hai engkau yang mampu mengambil secara adil dan jujur, ambilah dari masyarakat, dan kami akan mengambil bagian.” Sayangnya pemerintah begitu tergodanya akan godaan setan ini, karena dia terdiri atas para PNS dan Pejabat- para manusia, yang  sebagaimana manusia lainnya, menginginkan dalam hatinya untuk selalu mencari kesempatan untuk memperbanyak kekayaan dan pengaruhnya. Pemerintah tak pernah pelan dalam mengambil keuntungan yang didapatkan dari bagian yang dipercayakan masyarakat baginya, karena bagian yang begitu besar akan diambil untuk dirinya sendiri; dia akan melipat gandakan agen-agennya; memperbesar lingkaran kekuasaannya; dan akan berakhir dalam proporsi yang menghancurkan masyarakat. Demikianlah hasrat jahat kita semua, menciptakan alat jahat ini bagi diri kita sendiri. Saya yakin pembentukan pribadi pemerintah seperti ini telah, sebagaimana pada masa lalu, dan akan menjadi lahan yang subur untuk kekacauan dan revolusi. Ada rakyat di satu sisi dan pemerintah disisi yang lain. Yang satu punya hak untuk mengambil dari yang lain. Apa yang menjadi konsekuensinya? Pemerintah punya dua tangan, tangan untuk mengambil dan tangan untuk memberi, tangan yang kasar dan tangan yang halus. Pekerjaan tangan yang halus, tidak bisa dilakukan sebelum tangan yang kasar. Tangan yang mengambil harus bekerja sebelum tangan yang memberi. Tetapi sialnya, pemerintah bisa mengambil tetapi belum tentu bisa memberi. Ini terbukti dan bisa dijelaskan dalam sejarah bagaimana tangan mereka yang begitu punya daya menyerap, yang selalu menahan sebagian, dan sering kali seluruhnya, dari apa yang mereka sentuh. Tetapi satu hal yang pasti, yang akna selalu terjadi, pemerintah tidak pernah bisa memberi bagi masyarakat lebih banyak dari pada yang bisa dia ambil. Oleh karena itu, adalah hal yang begitu bodoh bagi kita untuk datang padanya dengan sikap seorang pengemis. Adalah hal yang  sangat tidak mungkin baginya untuk memberi kebaikan bagi seseorang yang adalah bagian dari masyarakat, tanpa melukai masyarakat secara keseluruhan.

Sehingga, masyarakat punya dua harapan, dan pemernitah punya dua janji: kesejahteraan yang berlimpah dan tanpa pajak. Janji dan harapan yang saling bertentangan, tidak akan pernah terwujud.
Nah, bukankah ini penyebab semua revolusi? Karena antara pemerintah dengan segala janji yang tidak mungkin dia laksanakan, dan rakyat dengan segala harapan yang tidak mungkin tercapai, dua kelas yang kemudian saling berhadapan.

Sempatkan diri untuk membaca janji para politisi: Beras murah, minyak murah, sekolah gratis, ini gratis, itu gratis, sembako murah, dll, seakan-akan segala hal bisa jatuh dari langit. Visi dan misi yang begitu panjang, seakan-akan membebaskan mereka dari sebuah kenyataan dasar hidup; kamu harus mengerjakan segala hal yang kamu inginkan.

Well, saya ingin bertanya bagi para pembaca, bukankah ini sebuah kekanak-kanakan, dan lebih dari itu, kekanak-kanakan yang berbahaya? Jika ini yang terjadi, kita akan selalu ada dalam revolusi yang tidak akan ada habisnya, jika kita tidak punya keinginan untuk terbangun dari mimpi dan sadar akan kontradiksi ini dan menghadapi kenyataan; “tidak mau memberi bagi pemerintah dan berharap banyak dari padanya”.

Saudara-saudara, sampai kapan kita akan berada dalam ilusi ini dan hidup dalam system. Orang yang hidup dalam sistem ini adalah orang-orang yang menipu diri mereka sendiri, karena mereka hidup dalam kontradiksi dan kekanak-kanakan. Kali ini saya ingin menawarkan sebuah sistem politik baru, dimana setiap warga negara bertanggung jawab atas dirinya, dan dihargai berdasarkan apa yang dia kerjakan. Yang pemerintahnya adalah pemerintah yang menyatukan warganya, bukan menjadi alat untuk menjarah satu dengan yang lain. Tetapi pemerintah yang mengamankan masing-masing atas miliknya, dan yang menegakan keadilan dan ketentaraman.


Saya ingin mengutip dari kata-kata president Amerika Serikat, Ronald Reagan dalam pidato pelantikannya: Pemerintah bukanlah solusi masalah kita, pemerintah adalah masalahnya. Bukan maksudku untuk menghilankan pemerintah, tetapi membuatnya bekerja, bekerja dengan kita, bukan diatas kita. Bekerja disamping kita bukan menggiring dari belakang.

Catatan: 2 paragraf terakhir bukanlah terjemahan langsung dari Frederic Bastiat, tetapi ditulis oleh saya sendiri :D karena harus cepat2 untuk presentasi. Sisanya murni tulisan Bastiat, kalu ingin yang lengkap silahkan baca yang aslinya dalam bahasa Inggris...

Thursday, March 28, 2013

Tentang Perdebatang Mengenai Redenominasi Rupiah



“Di setiap Negara di dunia, saya percaya, ketamakan dan ketidakadilan para penguasa, dengan menyalahgunakan kepercayaan rakyatnya, telah menghancurkan nilai sebenarnya dari logam, yang pada awalnya terkandung dalam kepingan koin uang. Kepingan uang Romawi, As, pada zaman mendekati akhir Republik Romawi, nilainya telah berkurang menjadi se per dua puluh empat dari nilai aslinya, dan bukannya lagi bernilai satu pound, menjadi hanya bernilai setengah ons. Pound dan Penny Inggris saat ini hanya bernilai sepertiganya; Pound Skotlandia hanya seper tiga puluh enam, dan Prancis sekitar se per enam puluh enam dari nilai sebenarnya. Yang menjadi tujuan para penguasa ini adalah agar kelihatannya mereka mampu membayar utang mereka dan membayar pekerjaan mereka lebih sedikit dari jumlah perak yang seharusnya mereka bayar … Kejadian ini, selalu menguntungkan debitor (pengutang); dan merugikan kreditor, dan kadang kala menghasilkan perubahan luar biasa dalam kekayaan pribadi warga Negara, jauh melebihi perubahan yang tercipta lewat kekacauan dalam masyarakat.”

Kutipan panjang di atas adalah peringatan yang diberikan bapak ilmu Ekonomi, Adam Smith, lebih dari dua ratus lima puluh tahun lalu, yang menunjukan bagaimana pemerintah mencuri secara diam-diam dari rakyatnya. Dan yang menurut Smith, pencurian ini telah menghilangkan kekayaan sebenarnya masyarakat yang bahkan jauh dirugikan melebihi ketika terjadi kekacauan. Pencurian diam-diam ini kita sebut sebagai inflasi, yang adalah naiknya harga barang secara umum, atau berkurangnya nilai uang. Perlu saya informasikan bagi anda, mengikuti angka inflasi terendah pemerintah 6%, jika anda punya uang Rp. 1 juta pada tahun 2012, maka uang itu hanya bernilai Rp. 665.000 pada tahun 2005, atau bisa dikatakan, uang anda telah kehilangan sepertiga dari nilainya yang sebenarnya. Lebih gampangnya, jika pada tahun 2005 anda bisa membeli 3 buah permen dengan uang Rp. 1000, tahun 2012, dengan jumlah uang yang sama, anda hanya bisa membeli 2 buah. Tetapi mari kita acuhkan dulu data pemerintah dan lihat dalam kehidupan sehari-hari. Ketika saya dulu kuliah di Unklab, Aermadidi, untuk pulang dari Aermadidi ke Sumompo, Rp. 5.000 bisa membawa saya sampai ke rumah Bibi saya di Sumompo. Saat ini, Rp. 5.000 hanya mampu membawa saya dari Aermadidi sampai ke Kolongan, Kec. Kalawat. Sisanya, saya harus berjalan kaki. Agar bisa tiba dengan selamat di Sumompo dengan Mikrolet, hari ini saya membutuhkan Rp. 11.000. Jadi Rp. 11.000 saya pada hari ini, sama dengan harga Rp. 5.000 saya pada tahun 2005. Lalu siapa yang mencuri Rp. 6000 saya? Inflasi. Hal itu hanya jika kita ambil satu contoh komoditas biaya; biaya angkot. Coba anda cek ke pasar hari ini, dan ingat lagi berapa uang yang anda butuhkan untuk pergi ke pasar pada lima atau tujuh tahun lalu. Anda akan terkejut betapa banyaknya nilai yang sudah hilang dari uang anda. Menonton Bioskop tahun 2003, anda bisa Nonton hemat seharga Rp. 7.500. Saat ini, anda perlu paling kurang Rp. 35.000.

Melihat trend tersebut, tentu saja pemerintah perlu melakukan redenominasi mata uang kita karena ketika nilai uang menjadi lebih tidak berharga maka kita membutuhkan lebih banyak nol dalam mencatat transaksi keuangan kita. Dalih pemerintah adalah agar kita bisa menghemat tempat dan tinta. Saya hargai itu, dan itu alasan yang sangat ekonomis. Tetapi yang saya ingin sampaikan pada kita semua yang membaca tulisan saya ini adalah bahwa itu bukan semua alasannya. Alasan sebenarnya adalah berkurangnnya nilai uang yang kita pakai.

Perlu diketahui bahwa sebelumnya, nilai uang diikatkan pada nilai emas, sehingga nilai uang stabil mengikuti harga emas. Tetapi pada saat ini di Negara kita, nilai uang ditentukan oleh pemerintah, dan uang itu bernilai karena kita percaya akan apa yang dilakukan oleh pemerintah. Nilai uang tersebut terikat pada mekanisme pasar. Ketika pemerintah mencetak terlalu banyak uang, ketika pemerintah melakukan hal bodoh (melalui kebijakan ekonomi yang salah), atau ketika pemerintah berhutang terlalu banyak (entah untuk belanja pegawai, subsidi, atau kegiatan pemerintah yang banyak tidak berguna lainnya) sehingga mengurangi kredibilitasnya maka nilai uang ini juga akan turun, karena nilai uang tergantung pada prospek yang menjaminnya dalam hal ini pemerintah. Penurunan harga uang juga sebagaimana dijelaskan oleh Smith, karena agar pemerintah bisa membayar utangnya lebih sedikit dari pada yang seharusnya. Padahal di beberapa kasus juga, justru utang pemerintah juga bisa menyebabkan turunya nilai mata uang.

Redenominasi uang bagi saya bisa dijelaskan lewat analogi ini; seorang guru yang memberikan ujian pada siswa-siswinya. Dalam ujian tersebut, dalam skala 10, semua siswa hanya mendapat nilai dibawah 1. Bahkan yang tertinggi hanya mendapat nilai 0.99. Sang guru tidak kehilangan akal. Agar semua murid kelihatannya berhasil, nilai 0.99 dirubah menjadi 9,9, dan yang sebelumnya hanya mendapat 0.8 sekarang menjadi 8. Nilai kelihatannya menjadi baik, tetapi Murid masih sama bodoh.

Alasan Redenominasi untuk menghemat angka bisa diterima secara logika, tetapi yang tidak dijelaskan adalah bagaimana kita sampai pada posisi sehingga kita perlu melakukan redenominasi. Pemerintah harus menjelaskan ini, dan kita semua pun harus tahu apa alasannya. Kerena kalau tidak, maka inflasi yang terjadi sebelumnya, turunya nilai mata uang kita, dan kebijakan pemerintah yang menciptakannya akan cenderung untuk kita lupakan, dan kita melupakan bahwa ada masalah besar sehingga uang kita berkurang harganya. Jangan sampai kita lupakan masalah itu, dan menganggap penurunan nilai rupiah sudah teratasi, hanya dengan menghilangkan tiga nol.

Wednesday, December 12, 2012

Upah Minimum dan Kesejahteraan



Tergantung dari cara pandang kita tentang apa itu “sejahtera” tetapi jika anda bayangkan sejahtera berarti punya mobil dan rumah yang indah, maka saya tumbuh dari keluarga yang tidak terlalu sejahtera dan memimpikan suatu hari menjadi sejahtera. Sejahtera adalah keinginan kita semua dan Tuhan yang Maha Baik memberikan bagi kita masing-masing talenta untuk mencapainya. Salah satu pejuang kesejahteraan yang manjadi topik hangat akhir-akhir ini adalah demo buruh yang menuntut naiknya UMR dan dihapuskannya outsourcing. Tetapi hari ini saya ingin menantang para pembaca untuk berpikir sejenak dan melihat apakah perjuangan ini adalah usaha menghasilkan kesejahteraan, atau malah menghancurkannya?

Untuk menjawab  pertanyaab ini, mari kita melihat lebih jauh kedepan dan bertanya; apakah kenaikan UMR lebih dari 60% di propinsi ini yang mencapai angka Rp. 2 juta akan menghasilkan kesejahteraan? Dari apa yang saya pelajari; sama sekali tidak. Perlu kita sadari bersama bahwa keahlian yang kita tawarkan sebagai pekerja memiliki sifat yang sama dengan komoditas. Ketika harga keahlian kita naik, maka reaksi yang diambil oleh pembeli keahlian kita (yaitu perusahaan) adalah mengurangi permintaan. Inilah hasil dari hukum alamiah permintaan dan penawaran. UMR adalah harga terendah yang diperbolehkan secara hukum oleh pengusaha untuk membeli keahlian kita. Hal terburuk akan dialami oleh para pekerja yang memiliki keahlian dibawah harga ini, yaitu para pekerja tanpa keahlian cukup, dan para anak muda yang baru lulus dari SMA. Keahlian yang mereka miliki tidak mencukupi untuk dirasionalisasi dibayar dengan harga Rp. 2 juta rupiah. Membayar dengan harga di bawah jumlah tersebut adalah perbuatan melanggar hukum.  Begitu pula dengan pekerja lain yang punya kemampuan di bawah jumlah UMR tersebut. Yang perusahaan bisa lakukan adalah memutuskan hubungan kerja dengan mereka. Hasil akhirnya adalah meningkatnya jumlah pengangguran, dan berkurangnya daya saing perusahaan karena harga yang lebih tinggi dan iklim investasi yang lebih buruk karena biaya investasi awal yang lebih tinggi untuk memenuhi biaya UMR.

Memang kita bisa katakan bahwa pengusaha punya banyak untung yang seharusnya dibagi menjadi lebih merata bagi semua karyawan. Tetapi menjadi pengusaha bukan hanya membutuhkan keahlian lebih, tetapi juga menyita waktu yang lebih banyak untuk bekerja, dan terutama, menanggung resiko besar yang tidak ditanggung oleh pencari kerja, yaitu resiko kebangkrutan dan resiko kehilangan investasi besar yang pertama kali mereka tanamkan untuk memulai usaha. Kalau memang kedengarannya masih tidak adil, bayangkan jika naiknya UMR sebesar ini dan dampaknya terhadap iklim investasi di propinsi ini dan dampaknya pada kemajuan ekonomi secara keseluruhan. Dan dampaknya juga bagi penyerapan tenaga kerja. Hukum sederhana ekonomi: naiknya harga menyebabkan menurunnya permintaan. Demikian juga yang akan terjadi dengan permintaan tenaga kerja ketika naiknya UMR secara tidak wajar; terciptanya lebih banyak pengangguran.

Bagi saya, secara moral UMR seharusnya adalah 0 rupiah. Karena Upah adalah hasil penawaran antara dua belah pihak lewat persetujuan yang damai. Setiap usaha pemaksaan adalah kegiatan tidak bermoral dan melanggar hak masing-masing pihak, walaupun itu didukung oleh suatu peraturan hukum yang tertulis. Mungkin kita menganggap bahwa jika tidak ada UMR maka pekerja akan dieksploitasi secara tidak adil. Tetapi lihatlah beberapa Negara yang tidak pernah memberlakukan UMR seperti Jerman, Singapura, Hong Kong (sampai tahun 20100 dan Italia. Atau, pernahkah anda dengar bahwa Negara-negara Skandinavia adalah tempat dengan penduduk paling bahagia di dunia, tetapi tidak ada satupun Negara Skandinavia (Norwegia, Swedia, Finlandia, dan Denmark) yang memberlakukan UMR. Jadi tampaknya UMR bukanlah alasan kesejahteraan atau kebahagiaan.

Lalu apa yang bisa membuat pekerja lebih bahagia dan sejahtera? Jawabannya adalah perkembangan ekonomi. Ketika ekonomi berkembang, demikian pula dengan penyerapan tenaga kerja. Ketika ekonomi bertumbuh, lebih banyak orang akan membuka usaha, dan pekerja tidak perlu turun ke jalan untuk berunjuk rasa menuntut ini dan itu, karena ketika jumlah perusahaan bertambah, demikian juga jumlah perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja, dan mereka akan bersaing satu dengan yang lain untuk mendapatkan pekerja dengan cara memberikan gaji dan fasilitas yang lebih baik bagi pekerja. Tetapi ini semua tidak bisa terjadi tanpa ada kebebasan ekonomi. Ekonomi tidak mungkin tumbuh ketika perusahaan dan pengusaha dibebankan dengan banyaknya pungli dan peraturan, termasuk peraturan yang mengharuskan perusahaan untuk memenuhi standar minimum untuk membayar pekerjanya. Dan UMR yang tidak masuk akal bukan hanya merugikan pengusaha, tetapi masyarakat secara keseluruhan. Bayangkan seorang anak muda dengan segala kemampuannya dan potensi yang dia miliki. Dia bisa saja menjadi seorang yang sukses di masa depan walaupun dia tidak punya pendidikan yang cukup, tetapi Perusahaan tidak bisa mempekerjakannya karena UMR yang ada tidak memungkinkan perusahaan untuk secara akal sehat maupun hitung-hitungan usaha untuk mempekerjakannya. Sehingga UMR secara tidak langsung mematikan banyak kesempatan.

Tetapi kenapa begitu banyak orang menginginkan dan menyetujui naiknya UMR? Jawabnya karena cara pandang kita yang terlalu pendek dalam melihat masa depan. Bangsa dan rakyat yang bijak adalah yang mampu melihat jauh kedepan, tetapi kita yang kurang bijak hanya mampu melihat hasil sempit dan singkat. Kita terlalu peduli tentang apa yang “saya” dapatkan “bulan ini saja”. Kita tidak memperhatikan apa yang “rakyat” ini bisa capai di “masa depan” jika kita mau berusaha dan bekerja lebih baik dari hari-kehari. Kita terjebak dalam pola pikir salah yang dalam ekonomi disebut sebagai “economic myopia” (rabun jauh ekonomi) yaitu hanya memikirkan jangka pendek tetapi gagal melihat masa depan. Kita seperti anak manja yang mau kesenangan masa sekarang tetapi lupa bahwa kesenangan jangka pendek menimbulkan kesengsaraan jangka panjang, dan kesusahan jangka pendek bisa menimbulkan kesejahteraan jangka panjang. Seperti pemabuk yang lupa bahwa minum-minum bisa menghilangkan stress jangka pendek tetapi menimbulkan penyakit jangka panjang, dan bahwa siswa yang belajar keras selama satu tahun bisa berarti kepastian masa depan yang cerah sampai mati.

Saya berharap bahwa kita semua bisa berpikir jernih tentang masalah UMR dan jangan biarkan kepentingan jangka pendek (entah itu kepentingan rokok bulan ini atau kepentingan politik) menghancurkan kepentingan masa depan yang lebih cerah. Buktinya; ketika saya sedang menulis artikel ini, 6 perusahaan di Jawa sudah menutup pabriknya karena aksi buruh menuntut kenaikan UMR yang berujung anarkis sehingga perusahaan merasa takut berinvestasi lagi dan menutup atau memindahkan pabriknya. Siapa yang dirugikan akibat rabun jauh ekonomi ini? Begitu banyak pekerja yang mau bekerja dengan baik, anggota keluarga mereka, dan rakyat Indonesia secara keseluruhan.

Friday, August 26, 2011

What a Loser Can Say About Business Management.

oleh Juan Mahaganti pada 14 November 2010 jam 18:50
Many have been graduated from school of management but let me ask you a question: have you ever read a self-development book about loser telling about how craps he is? Have you ever read a management textbook wrote by a loser and tell a story about their failures? Probably not. All successful persons love to boast their achievement and to tell others about it. Most of the book is about successful people and about how effective they are, how persevere and determined they are. They don’t like to write about their failure, their mistakes, even their big mistakes in life. Anyway, books won’t sell if it is about failure. People love a happy ending, good scene, enjoyable story that can arose their imagination about the success and how if they get it for their own. I don’t like that kind of craps. That is why I never interested in books or seminars about selling, marketing, self-development, motivation or other kinds of cheap nonsense that try to portrait life so simple and dull. The only “this type of book” that I read completely is “7 Habits of Highly Effective People” by Stephen Covey. I read it for the first time accidently at Gramedia and actually I never intended to finish it, because I can sense a good book from the first chapter. But this book is unique. It doesn’t started with the way to be success or a success story about someone who turn someone from no one, who owned nothing and ended up having anything. But instead, it started with a suggestion that we should hold on to our own value in life. I think this is a success-philosophy book, not a type of book that will tell us what to do, forcing us to copy someone else life, and to live the way he lives, and imitate him the way he want it to be. I highly recommend this book to everyone who wants to have a good life but still can say NO to hanky-panky and monkey business. If you are a type of someone who wants to be SUCCESS, and SUCCESS WITH ALL COST, you better hear or read to other “motivators”. This book and especially this writing is not about SUCCESS, this is about Suckers!!!
Most of the books is about success. While losers don’t like to stick their neck out. Losers are the humblest person when talking about their failures. They don’t like to talk about it, moreover to boast it. But I think we can learn more from the losers than from the winners. We have to learn why they were broke, or demoted, or despised, or divorced, or harmed, or ousted, or hated. If I was asked to write a Principle of Management textbook, 75% is about failure, while only 25% is about success.
Now, we come to the point when I’m about to write about my life. I AM A LOSER! I write this confession because I like it. I don’t like to be despised, second rated, and ignored. But I think I have a story to be told. Every failure is a debt. Not only to the people you let down, but also to others who can learn from your experience. The most important thing is I don’t want you to follow my wrong step. My story is about a failure and failure is the better way to learn than success story. I have been a loser for a very long time, but one failure (if not catastrophe) that inspired me to wrote this confession.
Let me begin by telling you my point of view of success. Now, don’t imagine me as an arrogant person who doesn’t know the way to see the world. I am aware about how the world is working. I know that a successful person is someone who gets their call replied most of the time, doing their job well, accomplished their task and project on schedule, saluted, or greeted on many party or occasion, who’s sometime hated yet at the most of the time admired, who has a good family, high position, big assets, “dua digit” or seven digits salary, nice house, ride a nice car, or any type of description humanly possible attached to it. I know what success is. So, given this standard, I know I am a failure. Do I hate it? No. For what reason do I have to hate it? Do I try to be success? I won’t, if it means I have to sacrifice some of my happiness. Do I want to have a good family, have my call replied, greeted at parties, ride a good car, etc. Of course, who doesn’t? Do I envy a successful person? No, I admire them. They create a better society. Do I want others to be successful? Of course, that is why I wrote this note. So what is the point of my life? Reach a happy life, as much as I can. Doing good things as much as I can, be an ethical person as much as I can, what follow after that? Success or failure will never matter, come what may!
Okay then, I’m a failure, you know that already. But one of the thing that strengthen my “faith” for that is my failure today, November 12, 2010, the day I will never forget until the day I die. Since last week, I was assigned to be a program coordinator for MIS Fieldtrip program. The job include to make sure that everything is fine, food, bus, driver, snacks, certificate, attendance list, destination, token of appreciation, banner, and many other things. Of course, this will be a very little job compared with directing a movie, running a company, inspecting a project, and many other jobs successful person usually assigned to. I have made sure everything is good to go. But suddenly, early in the morning, I failed to make sure one thing; to bring snacks to the buses. The reason? I can’t say one simple sentence “’Please wait’ until the food is ready to be loaded”. 1 sentence!!! Imagine!!! One sentence!!! Just to say, please wait, cafeteria workers are filling the boxes, drinking water also are have to wait. JUST ONE WORD: WAIT. I was afraid to say one word. Imagine, one unspoken word can change a course of the whole week preparation into ruin. I can decide, because I am the coordinator, yet I failed to do so. I cannot stand the pressure to face my fellow worker upon my return. I try to be funny and strong, but I just can’t. I don’t know what else to do than to be silence almost all the time, speak only things necessary. All the blame is on me. On the way back to MIS, after that 3 hour of catastrophe, I asked one student “what do you think that was felt by a corruptor when their corrupt scheme was discovered by authority?” (I asked this question because I think at this very moment, that is the way I feel) He said, “Shame and burdened. Except if he has a strong mentality.” I asked again, “What do you mean with strong mentality? Do you mean strong mentality is lack of morality? He doesn’t know how to differentiate again, what is right and what is wrong?” I didn’t get the reply. He was silent.
I refuse to have this type of “STRONG MENTALITY” if it means to pretend that I did nothing wrong. I have to be broken down and despaired. I have to be shameful, and I feel deeply guilty for this whole mess. I can’t change the situation. I have to be brave to say I am sorry and stop looking for someone to be blamed. I am a failure, a loser. I have to face tomorrow with this guilt. That is the punishment I have to receive. Salary deduction will be tolerable, never been promoted is not a big problem. Of course to cut my own hand or exercise a seppuku or hara-kiri like that fanatics ancient Japanese Samurai is the way too extreme. But I have to induce pain in my own-self to gain a sense of justice, after the suffering I have imposed to others, many others; students, teachers, drivers, uncounted number of “victims.” I am sorry. Please forgive me. That is the only thing I can say now.
So, that is my story. A loser story. The moral? Never do the same mistake the way I did. Always think fast, and prioritize what is the most important thing (in my case, I have to chose between human needs –foods- or time allocation, and I chose the thing with lesser importance). And if you have the authority to save the situation, do it right away. Be calm and under control. Always think for the greater and nobler cause even if that means someone will get mad at you. Or if it is not about a noble cause, think about a greater good and lesser evil, or about bigger profit or smaller loss. Always put first think that will bring greatest profit or smallest loss, greatest good or least evil. In one word: PRIORITIZE!!! So, as a loser, I conclude that there are three most important things in management: first, BE CALM. Second, PRIORITIZE, third, MAKE A DECISION. After those three processes, you can be sure about everything to follow. Aha!! I forget to mention, after Covey’s “Seven Habits” I have another motivational book I like to read. It is by Zig Ziglar titled “God’s Way is Still the Best Way.” I like it because it because from the title we can see that this book, just like Covey’s “Seven Habits”, started with a value driven, not result, or worldly material driven motivation. The book is available at Gramedia, but MAHAAAAAL!!! Hardcover, Rp. 80.000,-. I’ll wait until I get enough money. I don’t want to search for free from internet and then copy it to my Boox, because the spiritual content. Don’t want to make a bigger sin. Anyway, concerning that book, I can add from that three steps I give before = Put God First.
P.S. You maybe ask; “Juan, you spent your time reading. How can you put it into action???” My answer is: Hey, you forget something. I AM A LOSER! I don’t want to put my reading into action. I read for entertainment not for “action for success” sake. Losers always spent their time for something they like not for something useful. Some losers play DotA all the time, some waste money for gambling, others by chasing girls, others get addicted to drugs or alcohol. Or some loser are crazy about a movie, or some addicted to pornography. And for me? I love books. And I’ll read a good book whether it gives success or not, as long as it is a good book and it amuses me. I don’t suggest you to be a drugs or DotA addict, I am saying that, if you are glued to something that may brings you away from success (A.K.A. a loser, by worldly standard), please find something that can bring meaning to your miserable life, like erudition (read all the time), become a philosopher (think all the time), or become a pastor (praying all the time, find something invisible to lean on, while sacrificing tangible pleasure. By any worldly standard, a GOOD pastor is a loser, but I adore pastor, same with me, a GOOD pastor is a positive loser).