“Aku Cinta
Produk Indonesia”. Anda mendengar slogan ini di mana-mana. Pengusaha,
perusahaan nasional, BUMN, pejabat pemerintah, semuanya mendengung-dengungkan
hal ini. Tetapi disadari atau tidak, “Aku Cinta Produk Indonesia” (selanjutnya
disebut ACPI) adalah sebuah wujud kesalahan berpikir ekonomi yang jika kita
biarkan terus-menerus malah akan memperburuk ekonomi nasional dan bukannya
memberikan keuntungan bagi bangsa ini malah kerugian. Sentimen ACPI tercipta
dari empat kesalahan berpikir. Pertama, bahwa uang adalah kekayaan, atau
seluruh kekayaan hanya diukur dari uang. Artinya, kita berpikir bahwa jika
Indonesia mengimpor sepuluh ribu unit sepeda motor dari Jepang seharga sepuluh
juta dollar artinya Indonesia baru saja kehilangan sepuluh juta dollar. Yang
kita tidak perhitungkan adalah sepeda motor yang baru saja menjadi kekayaan
baru bangsa Indonesia. Keuntungan perdagangan ini ditambah juga dengan selisih
biaya yang bisa dihemat karena kita membeli sepeda motor ini dari jepang dan
bukannya memproduksi sendiri. Bapak ilmu ekonomi modern, Adam Smith dengan
jelas menunjukan kesalahan ini dengan menjelaskan bahwa “kekayaan sebuah
bangsa” bukanlah uang tetapi “hasil produksi bangsa tersebut, ditambah dengan
apa yang bisa mereka bisa beli dengan hasil produksi tersebut.” Uang hanyalah
perantara, yang utama adalah apa yang bisa diproduksi oleh bangsa Indonesia
dengan baik (tekstil, bahan baku, dll) ditambah dengan apa yang bisa mereka
tukar dengan hasil produksi mereka (sepeda motor, elektronik, dll). Orang bisa
menganggap bahwa jika kita membeli produk bangsa sendiri, uang itu bisa tinggal
disini dan membuat bangsa sendiri kaya. Yang kita tidak perhitungkan adalah
jika kita membeli di sini, maka barang yang dari luar yang bisa mengembangkan
hidup kita tidak bisa masuk. Barang yang kita beli dari “dalam” harganya jauh
lebih mahal, sehingga kita juga yang dirugikan. Apel malang harganya Rp. 10.000
dan apel Cina harganya Rp. 5000 dengan nutrisi yang jauh lebih tinggi. Ketika
kita larang impor apel cina, maka kita telah kehilangan kualitas lebih yang
ditawarkan oleh apel cina dan Rp. 5000 selisih harga yang harus kita bayarkan
untuk apel malang. Rp. 5000 ini sebenarnya bisa kita gunakan untuk hal lain
yang memperkaya hidup kita. Jadi secara garis besarnya, bangsa Indonesia
menjadi lebih miskin Rp. 5000 ditambah kehilangan nutrisi lebih yang ditawarkan
apel cina.
Kesalahan
kedua adalah bahwa perdagangan antar negara adalah “zero-sum game” atau
“permainan yang jika yang satu untung, maka yang satu pasti rugi”. Contoh
zero-sum game adalah berjudi. Jika pemain menang seratus rupiah, maka Bandar
pasti rugi seratus rupiah, dan sebaliknya. Menyamakan perdagangan dengan
zero-sum game adalah sebuah ketololan ekonomi. Perdagangan tercipta bukan
karena hanya salah satu pihak dalam perdagangan diuntungkan, justru sebaliknya,
kedua belah pihak harus merasa diuntungkan sehingga terciptalah perdagangan. Keputusan
untuk berdagang dengan bangsa lain juga demikian, kita mengimport justru karena
kita merasa bahwa kita akan diuntungkan dari transaksi ini, karena kalau tidak,
kita tidak akan mengimport.
Kesalahan
ekonomi ketiga yang membuat ACPI begitu diterima adalah bahwa Bangsa Indonesia
bisa melakukan segalanya dan jika dikembangkan, maka dua ratus lima puluh juta
orang Indonesia bisa menciptakan segala hal yang kita perlukan mulai dari hasil
pertanian, mobil, elektronik, sampai benang dan jarum. Padahal perkembangan
ekonomi tercipta karena pembagian kerja antar individu, dan pembagian kerja
antar bangsa. Hal ini ditunjukan dengan jelas di mata pelajaran ekonomi kelas 2
SMA, tentang teori keunggulan komparatif-nya David Ricardo. Secara sederhana
Ricardo menjelaskan tentang dua orang yang akan lebih diuntungkan jika mereka
tidak mengerjakan segala hal, tetapi mengkhusukan pada bidang yang paling
mereka kuasai, dan nantinya menukarkan hasil kerja mereka, dan keduanya akan
lebih diuntungkan. Seorang nelayan bisa memproduksi 3 ekor ikan dan 2 kilogram
beras perhari. Seorang petani bisa memproduksi 2 ekor ikan dan 5 kilogram beras
perhari. Jika sang nelayan hanya memancing seharian, dia bisa memproduksi 7
ikan, dan jika sang petani jika memproduksi beras saja, tanpa memancing, bisa
memproduksi 10 kg beras perhari. Jika mereka hanya mengkhusukan pada bidang
yang paling baik mereka kerjakan dan nantinya menukarkan (memperdagangkan)
hasil kerja mereka, maka petani dan nelayan akan sama-sama diuntungkan. Tidak
perlu IQ 140 untuk memikirkan hal sederhana ini. Dan jika hal ini terjadi pada
level individu, hal ini juga yang terjadi pada level antar bangsa. Setiap
negara dianugerahi Tuhan dengan kondisi geografis dan sosiologis (sejarah dan
budaya) yang berbeda, sebagaimana individu dianugerahi talenta yang
berbeda-beda. Ada bangsa yang unggul karena alamnya subur, ada yang tidak. Ada
bangsa yang alamnya punya begitu banyak barang tambang, ada yang tidak. Ada
bangsa yang berdasarkan sejarahnya unggul dalam teknologi, ada yang unggul
dalam kesenian, ada yang unggul dalam etos kerja, dll., dan perbedaan ini yang
harus kita syukuri karena itu memungkingkan terciptanya perdagangan antar satu
bangsa (atau individu) dengan bangsa yang lainnya, yang pada akhirnya
menciptakan keuntungan bagi kita semua. Kenyataan bahwa bumi saat ini mampu
menampung 7.000.000.000 umat manusia adalah karena perdagangan yang kita
lakukan dan merdekakan. Adalah hal bodoh jika kita anggap perdagangan (antar
bangsa maupun individu) ini sebagai ancaman, dengan menggembar-gemborkan
sentiment ACPI.
Saya
bersyukur tidak semua bangsa punya sentiment “Aku Cinta Produk (negara
tertentu)”. Bayangkan jika semua negara hanya mencintai produknya
masing-masing, bayangkan jika Indonesia melarang impor dan hanya mendorong
ekspor, dan setelah itu Malaysia juga melakukan hal yang sama, lalu China
mengikuti, lalu Jepang, lalu AS, lalu Thailand, lalu semua negara didunia
merasa bahwa mereka harus hanya mencintai produk negara masing-masing, apa yang
terjadi, perdagangan dunia akan kolaps, dan setelah itu peradaban dunia akan
kolaps, setelah itu hasil kerja kita tidak akan mampu lagi menopang
keberlangsungan hidup 7.000.000.000 miliar umat manusia dan mungkin akan
terjadi malapetaka ekonomi luar biasa dan miliaran manusia akan mati. Oh,
Terima Kasih Tuhan karena tidak semua orang punya cinta buta terhadap sentiment
ekonomi yang salah .
Kesalahan
keempat adalah bahwa neraca perdagangan yang negatif itu buruk. Neraca
perdagangan pribadi saya dengan Manado Town Square sangat negatif. Saya
membelanjakan begitu banyak hal di Manado Town Square, tetapi apa itu berarti
bahwa saya lebih miskin? Tidak. Justru neraca pribadi saya yang timpang dengan
Manado Town Square menunjukan bahwa saya punya kemampuan membeli. Neraca
perdagangan saya dengan tempat saya bekerjaJ sangat positif. Apa itu menunjukan
bahwa tempat saya bekerja menjadi lebih miskin? Tentu saja tidak. Sentimen yang
ingin menciptakan agar neraca perdagangan Indonesia harus positif dengan bangsa
lain adalah hal yang salah, karena setiap bangsa yang membeli karena punya
pendapatan.
Aku cinta
Indonesia adalah hal yang jauh berbeda dengan Aku Cinta Produk Indonesia. Aku
cinta Indonesia oleh karena itu kita ingin agar bangsa ini lebih sejahtera dan
kesejahteraan tidak akan tercipta jika aku harus hanya membeli produk dalam
negeri. Aku cinta Indonesia, oleh karena itu aku ingin agar orang Indonesia
terpenuhi gizinya dengan mampu membeli buah import yang bergizi dengan murah.
Aku cinta Indonesia oleh karena itu aku ingin agar petani kita tertantang untuk
berinovasi dan menciptakan produk yang memang lebih baik dari pada bangsa lain
tanpa harus dilindungi oleh pelarangan impor yang malah merugikan lebih banyak
orang. Aku cinta Indonesia, oleh karena itu aku ingin agar rakyat Indonesia
bisa menikmati kenaikan taraf hidup dengan harga semurah-murahnya, dan bahkan
jika itu berarti harus mengeksport, dan mengimport. Seperti halnya taraf hidup
saya naik setelah saya bekerja, dan membeli.
No comments:
Post a Comment