Thursday, March 28, 2013

Tentang Perdebatang Mengenai Redenominasi Rupiah



“Di setiap Negara di dunia, saya percaya, ketamakan dan ketidakadilan para penguasa, dengan menyalahgunakan kepercayaan rakyatnya, telah menghancurkan nilai sebenarnya dari logam, yang pada awalnya terkandung dalam kepingan koin uang. Kepingan uang Romawi, As, pada zaman mendekati akhir Republik Romawi, nilainya telah berkurang menjadi se per dua puluh empat dari nilai aslinya, dan bukannya lagi bernilai satu pound, menjadi hanya bernilai setengah ons. Pound dan Penny Inggris saat ini hanya bernilai sepertiganya; Pound Skotlandia hanya seper tiga puluh enam, dan Prancis sekitar se per enam puluh enam dari nilai sebenarnya. Yang menjadi tujuan para penguasa ini adalah agar kelihatannya mereka mampu membayar utang mereka dan membayar pekerjaan mereka lebih sedikit dari jumlah perak yang seharusnya mereka bayar … Kejadian ini, selalu menguntungkan debitor (pengutang); dan merugikan kreditor, dan kadang kala menghasilkan perubahan luar biasa dalam kekayaan pribadi warga Negara, jauh melebihi perubahan yang tercipta lewat kekacauan dalam masyarakat.”

Kutipan panjang di atas adalah peringatan yang diberikan bapak ilmu Ekonomi, Adam Smith, lebih dari dua ratus lima puluh tahun lalu, yang menunjukan bagaimana pemerintah mencuri secara diam-diam dari rakyatnya. Dan yang menurut Smith, pencurian ini telah menghilangkan kekayaan sebenarnya masyarakat yang bahkan jauh dirugikan melebihi ketika terjadi kekacauan. Pencurian diam-diam ini kita sebut sebagai inflasi, yang adalah naiknya harga barang secara umum, atau berkurangnya nilai uang. Perlu saya informasikan bagi anda, mengikuti angka inflasi terendah pemerintah 6%, jika anda punya uang Rp. 1 juta pada tahun 2012, maka uang itu hanya bernilai Rp. 665.000 pada tahun 2005, atau bisa dikatakan, uang anda telah kehilangan sepertiga dari nilainya yang sebenarnya. Lebih gampangnya, jika pada tahun 2005 anda bisa membeli 3 buah permen dengan uang Rp. 1000, tahun 2012, dengan jumlah uang yang sama, anda hanya bisa membeli 2 buah. Tetapi mari kita acuhkan dulu data pemerintah dan lihat dalam kehidupan sehari-hari. Ketika saya dulu kuliah di Unklab, Aermadidi, untuk pulang dari Aermadidi ke Sumompo, Rp. 5.000 bisa membawa saya sampai ke rumah Bibi saya di Sumompo. Saat ini, Rp. 5.000 hanya mampu membawa saya dari Aermadidi sampai ke Kolongan, Kec. Kalawat. Sisanya, saya harus berjalan kaki. Agar bisa tiba dengan selamat di Sumompo dengan Mikrolet, hari ini saya membutuhkan Rp. 11.000. Jadi Rp. 11.000 saya pada hari ini, sama dengan harga Rp. 5.000 saya pada tahun 2005. Lalu siapa yang mencuri Rp. 6000 saya? Inflasi. Hal itu hanya jika kita ambil satu contoh komoditas biaya; biaya angkot. Coba anda cek ke pasar hari ini, dan ingat lagi berapa uang yang anda butuhkan untuk pergi ke pasar pada lima atau tujuh tahun lalu. Anda akan terkejut betapa banyaknya nilai yang sudah hilang dari uang anda. Menonton Bioskop tahun 2003, anda bisa Nonton hemat seharga Rp. 7.500. Saat ini, anda perlu paling kurang Rp. 35.000.

Melihat trend tersebut, tentu saja pemerintah perlu melakukan redenominasi mata uang kita karena ketika nilai uang menjadi lebih tidak berharga maka kita membutuhkan lebih banyak nol dalam mencatat transaksi keuangan kita. Dalih pemerintah adalah agar kita bisa menghemat tempat dan tinta. Saya hargai itu, dan itu alasan yang sangat ekonomis. Tetapi yang saya ingin sampaikan pada kita semua yang membaca tulisan saya ini adalah bahwa itu bukan semua alasannya. Alasan sebenarnya adalah berkurangnnya nilai uang yang kita pakai.

Perlu diketahui bahwa sebelumnya, nilai uang diikatkan pada nilai emas, sehingga nilai uang stabil mengikuti harga emas. Tetapi pada saat ini di Negara kita, nilai uang ditentukan oleh pemerintah, dan uang itu bernilai karena kita percaya akan apa yang dilakukan oleh pemerintah. Nilai uang tersebut terikat pada mekanisme pasar. Ketika pemerintah mencetak terlalu banyak uang, ketika pemerintah melakukan hal bodoh (melalui kebijakan ekonomi yang salah), atau ketika pemerintah berhutang terlalu banyak (entah untuk belanja pegawai, subsidi, atau kegiatan pemerintah yang banyak tidak berguna lainnya) sehingga mengurangi kredibilitasnya maka nilai uang ini juga akan turun, karena nilai uang tergantung pada prospek yang menjaminnya dalam hal ini pemerintah. Penurunan harga uang juga sebagaimana dijelaskan oleh Smith, karena agar pemerintah bisa membayar utangnya lebih sedikit dari pada yang seharusnya. Padahal di beberapa kasus juga, justru utang pemerintah juga bisa menyebabkan turunya nilai mata uang.

Redenominasi uang bagi saya bisa dijelaskan lewat analogi ini; seorang guru yang memberikan ujian pada siswa-siswinya. Dalam ujian tersebut, dalam skala 10, semua siswa hanya mendapat nilai dibawah 1. Bahkan yang tertinggi hanya mendapat nilai 0.99. Sang guru tidak kehilangan akal. Agar semua murid kelihatannya berhasil, nilai 0.99 dirubah menjadi 9,9, dan yang sebelumnya hanya mendapat 0.8 sekarang menjadi 8. Nilai kelihatannya menjadi baik, tetapi Murid masih sama bodoh.

Alasan Redenominasi untuk menghemat angka bisa diterima secara logika, tetapi yang tidak dijelaskan adalah bagaimana kita sampai pada posisi sehingga kita perlu melakukan redenominasi. Pemerintah harus menjelaskan ini, dan kita semua pun harus tahu apa alasannya. Kerena kalau tidak, maka inflasi yang terjadi sebelumnya, turunya nilai mata uang kita, dan kebijakan pemerintah yang menciptakannya akan cenderung untuk kita lupakan, dan kita melupakan bahwa ada masalah besar sehingga uang kita berkurang harganya. Jangan sampai kita lupakan masalah itu, dan menganggap penurunan nilai rupiah sudah teratasi, hanya dengan menghilangkan tiga nol.