“Di setiap Negara di dunia, saya
percaya, ketamakan dan ketidakadilan para penguasa, dengan menyalahgunakan
kepercayaan rakyatnya, telah menghancurkan nilai sebenarnya dari logam, yang
pada awalnya terkandung dalam kepingan koin uang. Kepingan uang Romawi, As,
pada zaman mendekati akhir Republik Romawi, nilainya telah berkurang menjadi se
per dua puluh empat dari nilai aslinya, dan bukannya lagi bernilai satu pound,
menjadi hanya bernilai setengah ons. Pound dan Penny Inggris saat ini hanya
bernilai sepertiganya; Pound Skotlandia hanya seper tiga puluh enam, dan
Prancis sekitar se per enam puluh enam dari nilai sebenarnya. Yang menjadi
tujuan para penguasa ini adalah agar kelihatannya mereka mampu membayar utang
mereka dan membayar pekerjaan mereka lebih sedikit dari jumlah perak yang
seharusnya mereka bayar … Kejadian ini, selalu menguntungkan debitor
(pengutang); dan merugikan kreditor, dan kadang kala menghasilkan perubahan
luar biasa dalam kekayaan pribadi warga Negara, jauh melebihi perubahan yang
tercipta lewat kekacauan dalam masyarakat.”
Kutipan panjang di atas adalah peringatan yang diberikan bapak ilmu
Ekonomi, Adam Smith, lebih dari dua ratus lima puluh tahun lalu, yang
menunjukan bagaimana pemerintah mencuri secara diam-diam dari rakyatnya. Dan
yang menurut Smith, pencurian ini telah menghilangkan kekayaan sebenarnya
masyarakat yang bahkan jauh dirugikan melebihi ketika terjadi kekacauan.
Pencurian diam-diam ini kita sebut sebagai inflasi, yang adalah naiknya harga
barang secara umum, atau berkurangnya nilai uang. Perlu saya informasikan bagi
anda, mengikuti angka inflasi terendah pemerintah 6%, jika anda punya uang Rp.
1 juta pada tahun 2012, maka uang itu hanya bernilai Rp. 665.000 pada tahun
2005, atau bisa dikatakan, uang anda telah kehilangan sepertiga dari nilainya
yang sebenarnya. Lebih gampangnya, jika pada tahun 2005 anda bisa membeli 3
buah permen dengan uang Rp. 1000, tahun 2012, dengan jumlah uang yang sama,
anda hanya bisa membeli 2 buah. Tetapi mari kita acuhkan dulu data pemerintah
dan lihat dalam kehidupan sehari-hari. Ketika saya dulu kuliah di Unklab,
Aermadidi, untuk pulang dari Aermadidi ke Sumompo, Rp. 5.000 bisa membawa saya
sampai ke rumah Bibi saya di Sumompo. Saat ini, Rp. 5.000 hanya mampu membawa
saya dari Aermadidi sampai ke Kolongan, Kec. Kalawat. Sisanya, saya harus
berjalan kaki. Agar bisa tiba dengan selamat di Sumompo dengan Mikrolet, hari
ini saya membutuhkan Rp. 11.000. Jadi Rp. 11.000 saya pada hari ini, sama dengan
harga Rp. 5.000 saya pada tahun 2005. Lalu siapa yang mencuri Rp. 6000 saya?
Inflasi. Hal itu hanya jika kita ambil satu contoh komoditas biaya; biaya
angkot. Coba anda cek ke pasar hari ini, dan ingat lagi berapa uang yang anda
butuhkan untuk pergi ke pasar pada lima atau tujuh tahun lalu. Anda akan
terkejut betapa banyaknya nilai yang sudah hilang dari uang anda. Menonton
Bioskop tahun 2003, anda bisa Nonton hemat seharga Rp. 7.500. Saat ini, anda
perlu paling kurang Rp. 35.000.
Melihat trend tersebut, tentu saja pemerintah perlu melakukan
redenominasi mata uang kita karena ketika nilai uang menjadi lebih tidak
berharga maka kita membutuhkan lebih banyak nol dalam mencatat transaksi
keuangan kita. Dalih pemerintah adalah agar kita bisa menghemat tempat dan
tinta. Saya hargai itu, dan itu alasan yang sangat ekonomis. Tetapi yang saya
ingin sampaikan pada kita semua yang membaca tulisan saya ini adalah bahwa itu
bukan semua alasannya. Alasan sebenarnya adalah berkurangnnya nilai uang yang
kita pakai.
Perlu diketahui bahwa sebelumnya, nilai uang diikatkan pada nilai
emas, sehingga nilai uang stabil mengikuti harga emas. Tetapi pada saat ini di
Negara kita, nilai uang ditentukan oleh pemerintah, dan uang itu bernilai
karena kita percaya akan apa yang dilakukan oleh pemerintah. Nilai uang
tersebut terikat pada mekanisme pasar. Ketika pemerintah mencetak terlalu
banyak uang, ketika pemerintah melakukan hal bodoh (melalui kebijakan ekonomi
yang salah), atau ketika pemerintah berhutang terlalu banyak (entah untuk
belanja pegawai, subsidi, atau kegiatan pemerintah yang banyak tidak berguna
lainnya) sehingga mengurangi kredibilitasnya maka nilai uang ini juga akan
turun, karena nilai uang tergantung pada prospek yang menjaminnya dalam hal ini
pemerintah. Penurunan harga uang juga sebagaimana dijelaskan oleh Smith, karena
agar pemerintah bisa membayar utangnya lebih sedikit dari pada yang seharusnya.
Padahal di beberapa kasus juga, justru utang pemerintah juga bisa menyebabkan
turunya nilai mata uang.
Redenominasi uang bagi saya bisa dijelaskan lewat analogi ini; seorang
guru yang memberikan ujian pada siswa-siswinya. Dalam ujian tersebut, dalam
skala 10, semua siswa hanya mendapat nilai dibawah 1. Bahkan yang tertinggi
hanya mendapat nilai 0.99. Sang guru tidak kehilangan akal. Agar semua murid
kelihatannya berhasil, nilai 0.99 dirubah menjadi 9,9, dan yang sebelumnya
hanya mendapat 0.8 sekarang menjadi 8. Nilai kelihatannya menjadi baik, tetapi
Murid masih sama bodoh.
Alasan Redenominasi untuk menghemat angka bisa diterima secara logika,
tetapi yang tidak dijelaskan adalah bagaimana kita sampai pada posisi sehingga
kita perlu melakukan redenominasi. Pemerintah harus menjelaskan ini, dan kita
semua pun harus tahu apa alasannya. Kerena kalau tidak, maka inflasi yang
terjadi sebelumnya, turunya nilai mata uang kita, dan kebijakan pemerintah yang
menciptakannya akan cenderung untuk kita lupakan, dan kita melupakan bahwa
ada masalah besar sehingga uang kita berkurang harganya. Jangan sampai kita
lupakan masalah itu, dan menganggap penurunan nilai rupiah sudah teratasi,
hanya dengan menghilangkan tiga nol.
No comments:
Post a Comment