Adalah
sebuah desa yang dipenuhi oleh peternak domba. Di desa tersebut terletaklah
bukit hijau yang indah tempat para petani biasa memberi makan domba-domba
mereka. Bukit ini dimiliki oleh seorang Wali Kota yang bijak yang tinggal di
kota dekat desa tersebut dan Wali Kota yang bijak ini memutuskan agar setiap
petani yang mampu membayar sejumlah uang untuk bisa memiliki sebidang tanah
pada bukit yang indah ini. Demikianlah setiap peternak yang memiliki uang
membeli tanah ini. Yang tidak memiliki uang menjual sebagian domba mereka
hingga mereka memiliki cukup uang untuk membeli sebidang tanah di bukit ini
agar mampu memberi makan domba mereka. Para peternak yang rajin memelihara dan
menjaga dombanya menghasilkan lebih banyak domba dan mampu membeli tanah yang
lebih luas. Ada peternak yang pada awalnya membeli tanah tetapi lama-kelamaan
mereka menyadari bahwa mereka lebih baik menjadi penenun wol dari pada peternak
domba, dan merupakan keputusan yang lebih bijak jika menjual tanah mereka pada
peternak yang berbakat dan berkonsentrasi menjadi penenun wol. Demikianlah
masing-masing orang memiliki apa yang sepantasnya mereka miliki, dan
masing-masing menjaga keindahan dan kesuburan rumput di bukit tersebut, dan
bukit itu menjadi lebih hijau, hidup, dan asri dari hari ke hari.
Sebelum
kematiannya sang wali kota mengunjungi desa tersebut dan puas dengan apa yang
dia lihat. Dia memutuskan agar para penduduk desa bisa membentuk pemerintahan
dan hukumnya sendiri. Para penduduk desa tersebutpun duduk bersama dan mulai
membicarakan nasib dari sumber daya mereka yang utama; bukit yang subur nan
hijau. Beberapa pemikir di desa tersebut mulai mengemukakan pendapat seperti
ini: bahwasanya bukit tersebut dulunya adalah milik bersama semua penduduk
desa. Dan betapa indahnya saat itu ketika petani siapapun berhak untuk datang
dan memberi makan ternaknya secara cuma-cuma di bukit tersebut. Betapa eratnya
persatuan para penduduk desa tersebut karena mereka tidak perlu membeli dan
menjual bidang tanah di bukit itu, dan demi menjaga persatuan setiap penduduk
desa, demi kebaikan yang lebih besar bagi semua penduduk, demi keadilan dan
mencegahnya eksploitas bersifat egoistis dari pemilik bidang tanah, demi
kesejahteraan bersama semua penduduk, maka lebih baik jika bukit ini dimiliki
oleh seluruh penduduk desa.
Demikianlah
setiap orang menjadi pemilik bukit ini dan siapa saja berhak memberi makan
ternak di bukit tersebut. Para petani yang dulunya adalah penenun melihat
kesempatan yang lebih baik untuk menjadi peternak dan setiap orang di desa
tersebut merasa bahwa adalah hal yang baik jika mereka memanfaatkan
sebesar-besarnya kesempatan tersebut. Tiba-tiba saja setiap orang berebutan
memberi makan ternak mereka, tetapi tidak ada satu pun yang terpikir bahwa
suatu saat bukit tersebut bisa gundul. Beberapa orang yang dulunya memiliki
bukit tersebut merasa bertanggung jawab untuk menanam kembali rumput dan
mengendalikan jumlah penggunaan rumput di bukit tersebut, tetapi ketika mereka
melihat peternak lain dengan lebih sigap memanfaatkan rumput gratis, mereka
merasa bahwa usaha mereka hanya mendatangkan kesenangan bagi orang lain dan
merugikan mereka. Mereka melihatnya sebagai ketidakadilan dan memutuskan
berhenti untuk memelihara bukit tersebut, karena bagi keuntungan pribadi mereka
adalah lebih baik untuk memberi makan sebanyak-banyaknya hewan ternak mereka
sebelum seluruh bukit tersebut menggundul.
Satu
angkatan berlalu dan bukit yang dulunya asri sekarang mulai hilang
kehijauannya. Hal ini mengkhawatirkan para penduduk desa dan sekali lagi mereka
memutuskan untuk bertemu dan membahas masa depan bukit mereka. Sayangnya, pada
saat itu tidak ada diantara mereka yang hidup dan melihat betapa indah dan
hijaunya bukit tersebut ketika masa pemerintahan sang Wali Kota yang bijak, dan
mereka lupa bahwa pada zaman itu kehijauan bukit tersebut dihasilkan oleh
orang-orang yang secara sah berhak memiliki dan dengan demikian, merawat bukit
tersebut. Sehingga pada akhir pertemuan mereka datang dengan satu solusi;
setiap penduduk akan dibatasi jumlah ternaknya yang bisa diberi makan di bukit
tersebut. Untuk menjaga agar tidak ada yang memberi makan melebihi jumlah
tersebut mereka akan membentuk Polisi desa yang dipimpin oleh kepala desa, yang
tugasnya adalah menangkap dan menghukum siapa saja yang melanggar ketentuan
itu. Pada awalnya semua merasa senang, tetapi yang lebih senang adalah keluarga
kepala desa, karena sekarang dia menjadi orang yang lebih berkuasa, bukan
sekedar menjadi penjaga keamanan desa, tetapi sebagai pengendali sumber daya
alam utama di desa tersebut: bukit penuh rumput. Yang sangat merasa tidak
senang dengan keputusan ini adalah mereka para pekerja keras, yang dengan kerja
keras memiliki lebih banyak domba dibandingkan peternak lain. Mereka merasa ini
ketidak adilan karena secara tidak langsung keputusan ini memaksa mereka untuk
mengurangi kerja keras mereka dan membatasi potensi kemampuan mereka. Tetapi
mereka punya rencana lain.
Waktu
berjalan dan pada awalnya hukum baru ini dituruti. Tetapi para pengambil
kesempatan, apalagi yang mau menghalalkan segala cara untuk melancarkan
kepentingannya, melihat celah dalam kecurangan hati manusia. Orang kaya dari
kota melihat kesempatan. Mereka tahu bahwa dengan harga yang tepat, siapa saja
bisa dibeli dan dengan demikian mereka mulai mendekati si kepala desa. Mereka
memberi ide bagi kepala desa bahwa mereka akan membeli bagian dari ternak orang
lain untuk ditempatkan disana. Kepala Desa tahu bahwa itu adalah kecurangan,
tetapi dengan penawaran yang tepat hati nuraninya bisa dilencengkan. Uang
diberikan kepadanya dan para polisi yang menjaga bukit. Uang itu bukan hanya
mampu membeli kepala desa tetapi semua petugas polisi yang ada disana, dan hati
nurani mereka sekarang tidak mampu lagi membedakan mana yang baik dan buruk.
Uang yang mudah didapat sekarang menjadi segalanya. Kepala Desa sekarang
menjadi orang yang kuat, dengan semua polisi dibawahnya. Beberapa penduduk
melihat praktek kotor ini dan menyatakan ketidaksetujuannya. Tetapi kepala desa
sekarang terlalu kuat. Digunakannya kekuatannya untuk mengasingkan dan mengintimidasi
orang-orang yang berani menentangnya. Karena mereka tidak punya kekuatan,
mereka disingkirkan dan yang lain hanya bisa berdiam diri, takut untuk melawan
dan mereka berpikir bahwa hal yang paling baik untuk dilakukan sekarang adalah
diam dan ikut ambil bagian dalam permainan kotor ini.
Tetapi
kepala desa menjadi lebih rakus dan rakus. Sekarang dia pun ingin mengambil
bagian lebih dari permainan ini. Sebagaimana sejarah telah membuktikan lagi dan
lagi, bahwa bahkan orang terkuat sekalipun tidak mampu mengalahkan dirinya
sendiri, kepala desa pun demikian. Kebijaksanaannya sekarang telah pupus karena
tidak ada yang mengendalikan kekuasanaannya. Menyadari bahwa Dia akan mati dan
bahwa dia mungkin saja tidak bisa menikmati atau mewariskan kekuasaannya atas
bukit itu, dia gunakan sebisa mungkin bukit yang dari hari ke hari makin hilang
kesuburannya ini, yang makin tidak tertata dan buruk rupa. Pada saat itu, lebih
banyak penduduk desa yang melihat kejahatan ini dan ketika mereka punya cukup
banyak penduduk, mereka menyerang rumah kepala desa dan memintanya diganti.
Polisi yang selama ini setia kepada kepala desa merasa bahwa mereka tidak akan
mampu membendung jumlah penduduk yang terlalu banyak dan memutuskan berpihak
kepada penduduk (walaupun selama ini mereka telah mengambil bagian dalam
permainan korup dan kotor kepala desa dan kroninya, dan telah menjadi kaya oleh
itu).
Kepala desa
berhasil melarikan diri dan digulingkan kekuasaanya dan sekarang penduduk
secara keseluruhan telah berkuasa. Mereka memutuskan untuk membentuk lagi
sistem pemerintahan yang baru yang kali ini mereka harapkan bisa lebih bersih
dan bertanggung jawab pada rakyatnya. Mereka merancang agar seorang kepala desa
dipilih oleh penduduk dan hanya boleh berkuasa tidak lebih dari lima tahun, dan
disamping kepala desa, kekuasaan untuk membuat peraturan diberikan pada
sekelompok dewan desa yang dipilih oleh penduduk. Tetapi masalahnya, bukit tersebut tetap
menjadi milik semua orang. Tidak lama setelah kepala desa dan dewan desa serta
ketua dewan desa yang baru terpilih, godaan untuk memanfaatkan kekuasaan atas
bukit tidak tertahankan, akan tetapi kali ini mereka masing-masing menyadari
kekuasaan mereka terbagi dan masing-masing bisa mencegah satu sama lain untuk
berkuasa. Tetapi bukit itu terlalu berharga untuk dilewatkan godaannya dan sebagaimana
sebelumnya, selama manusia mengelilingi dirinya dengan godaan, tidak akan perlu
waktu lama baginya untuk jatuh. Dan kepala desa baru mengatur agar semua orang
bisa disuap. Pendekatan yang penuh tipu daya dan bujuk rayu dia lancarkan.
Tetapi dalam hal ini, cerita saya kurang jelas, karena kita tidak pernah tahu,
siapa yang memulai ide untuk saling menyuap ini. Ada yang berkata, ketua dewan
desa, ada yang berkata bahwa sang kepala desa, yang mulai mendekati satu sama
lain, tetapi yang jelas persekongkolan itu pun terjadi. Kepala Desa memastikan
bahwa siapa saja yang mau membayar, mereka bisa memiliki akses untuk
memanfaatkan bukit ini sepuas-puasnya. Uang (dan segala bentuk penyuapan lain;
rumah, domba, wanita) yang didapatkan dibahagikan kepada anggota dewan desa
untuk memastikan agar mereka menurut dan tidak membuat hukum baru yang
menyulitkan semua orang yang menjalankan skema korup ini. Anggota dewan desa
akan kemudian menggunakan sebagian uang tersebut untuk membayar penduduk pada
waktu pemilihan sehingga memastikan mereka terpilih kembali untuk menjabat
sebagai anggota dewan desa.
Pada awalnya
ada beberapa anggota dewan yang menolak godaan ini, tetapi satu persatu mereka
jatuh, karena godaan yang berlebihan. Dan perlahan tapi pasti, ketika lebih
banyak orang menjadi gila, maka kewarasan akan dianggap sebagai kegilaan.
Kejujuran dianggap sebagai kemunafikan dan usaha mencari muka. Orang yang mau
jujur dianggap sebagai pembuat onar dan pencari masalah. Ketulusan dalam
melayani penduduk dianggap sebagai ketidak warasan dan ketidak jujuran.
Orang-orang ini disingkirkan atau diacuhkan. Ada yang mencoba tetap bertahan
tetapi ketika mereka melihat kesenangan yang didapatkan sejawat mereka, hati
nurani mereka tidak mampu bertahan dan akhirnya mereka terhisap oleh lingkaran
setan ini.
Tetapi ada
satu perubahan yang lebih mengerikan. Masing-masing pejabat desa merasa bahwa
pembatasan masa jabatan mereka berarti masa mereka memanfaatkan rumput dan
bukit tersebut juga terbatas, sehingga dalam masa waktu yang terbatas tersebut
mereka harus bisa memanfaatkannya sebisa mungkin. Para penyuap pejabat desa
juga berpikiran yang sama. Mereka khawatir jika suatu hari pejabat yang
terpilih sudah tidak mau disuap lagi, atau tidak bersahabat dengan mereka
sehingga memilih menerima suap dari peternak besar yang lain. Mereka juga
berpikir bahwa dalam masa waktu yang terbatas tersebut mereka harus bisa
memanfaatkan bukit tersebut semaksimal mungkin, karena apapun yang mereka lakukan
bukit tersebut bukanlah milik mereka selamanya. Jadi masing-masing dengan
keserakahannya menjarah segala yang mereka bisa jarah dari bukit tersebut
secepat dan semampu mereka. Tahun berganti, pejabat menjadi kaya, rakyat biasa
menjadi lebih miskin. Bukit yang dulunya indah dan asri, yang dijaga oleh
pemiliknya, sekarang mulai hancur lebur. Demikianlah tahun berganti, penguasa
desa berganti, tetapi selama bukit tersebut adalah “milik bersama” maka berarti
“tidak ada pemilik”. Yang memiliki adalah yang berkuasa, dan setiap penguasa
yang berganti, tidak ada yang mampu untuk merubah budaya kotor setiap orang
yang berdasarkan instinct-nya harus serakah. Sampai suatu hari rumput di bukit
itu habis, dan yang tersisa adalah beberapa buah pohon besar, tempat dulu para
peternak biasa beristirahat. Pohon ini pun dipotong oleh penyuap yang berdalih
bahwa pohon tersebut mengandung kandungan yang berbahaya bagi domba-domba yang
hidup disekitar bukit. Kayunya dijual, dan uangnya dibagi-bagikan untuk
kesenangan penyuap dan pejabat.
Suatu hari hujan
lebat melanda desa tersebut. Tanaman yang selama ini menopang tanah di bukit
sekarang sudah hilang, dan yang terburuk pun terjadi. Banjir dan longsor dari
bukit menutupi seluruh desa, ratusan orang kehilangan nyawa. Sebulan dari situ
rakyat berkumpul sekali lagi untuk membahas apa yang sebenarnya terjadi. Mereka
mulai berdebat apa yang sebenarnya menjadi penyebab semua ini. Mereka mulai
menyalahkan kejahatan dan keburukan manusia. Ada yang menyalahkan desa sebelah,
ada yang menyalahkan kota tetangga, karena dari situlah para pengusaha yang
menyuap pejabat desa kebanyakan datang. Mereka mengatakan bahwa ini adalah
program terencana masyarakat kota tersebut untuk menghancurkan desa mereka.
Alasannya bermacam-macam; karena kota merasa iri dengan domba mereka, karena
orang-orang kota tahu ada harta karun tersimpan diatas bukit tersebut, karena
orang kota punya cara berpakaian berbeda dengan desa tersebut, karena desa
tersebut dulunya adalah bagian dari kota tersebut sehingga sekarang mereka
ingin menguasainnya kembali. Berbagai macam omong-kosong ini terus dicekoki ke
otak para penduduk desa yang sekarang sudah setengah gila dan telah menggantung
sampai mati semua anggota dewan desanya. Dan sekarang mereka bersiap untuk aksi
yang lebih gila. Petani dan peternak miskin ini mengambil apa saja yang bisa
membunuh di rumah mereka dan berbaris menuju kota untuk menyerang kota
tersebut, sampai akhrinya mereka di hentikan oleh tentara penjaga kota. Mereka
ditawan dan dibawa didepan pengadilan kota.
Mereka mulai
mengangkat sejarah keindahan desa mereka, dan bagaimana desa mereka yang begitu
indah dan begitu makmur sampai akhirnya mereka memutuskan untuk memisahkan diri
dari kota tersebut, dan bagaimana kelompok orang kaya dari kota melaksanakan
rencana jahat mereka sehingga desa itu sekarang hancur dan bertekuk lutut. Hakim
kota mendengar keluh kesah mereka dengan tenang. Dia adalah orang terpelajar
yang tau sejarah yang benar dari kota tersebut. Setelah penduduk desa selesai
berbicara, sekarang saatnya untuk dia menjelaskan duduk persoalan sebenarnya.
“Wahai
penduduk desa” serunya. “Tahukah kalian sejarah sebenarnya bukit yang kalian
miliki itu? Yang dulunya begitu indah dan terawat, yang adalah bagi kalian, dan
memang benar, sumber kecemburuan desa lain. Yang adalah sumber kehidupan dan
kesejahteraan, keindahan dan kesuburan. Bukit itu dulunya adalah milik dari
walikota kami. Dengan kebaikannya dia berikan bukit itu untuk siapa saja yang
mau mengurus bukit tersebut. Tetapi suatu saat, entah karena kebijaksanaan dari
iblis mana, kalian menjadikannya milik bersama. Hal itu membuat yang rajin
memelihara keindahan bukit tersebut, yang secara alamiah merasa terpanggil
untuk memelihara bukit tersebut karena itu adalah miliknya dan dia serta
keturunannya akan diuntungkan jika mereka merawat bagian dari bukit tersebut
yang mereka miliki, mereka itu yang adalah penyelamat bukit tersebut, berhenti
untuk menjaga lagi bukit itu. Apa yang terjadi, kalian membiarkan para penjahat
memelihara bukit tersebut. Mereka menjadi penjahat bukan karena mereka pada
dasarnya jahat. Tetapi karena bukit tersebut kalian jadikan godaan yang begitu
besar untuk orang menjadi pendosa. Tidak terpikirkah kalian, kenapa desa
tetangga kalian yang begitu indah dan asrinya, yang tidak dianugerahi oleh
pencipta dengan bukit seindah bukit kalian, tetapi bisa lebih kaya dan bahagia
dari kalian? Mereka menjadi bahagia bukan karena kami tidak membenci mereka.
Desa tersebut juga berpakaian berbeda dengan kami, juga dulunya adalah bagian
dari kota ini, tetapi mereka sejahtera, dan kami tidak membenci mereka. Tidakah
kalian sadar bahwa kalian sendirilah sumber penderitaan itu, dan dalam
penderitaan tersebut kalian begitu bodoh dan tak mampu melihat sumber
penderitaan itu mulai mencari alasan-alasan yang tidak karuan.”
“Kalian
lihat sungai yang mengalir yang membelah kota ini? Yang menjadi sumber
kemegahan kota ini? Dulunya sungai ini hampir menjadi sumber kehancuran kami
sebagaimana bukit kalian itu. Leluhur kami merasa bahwa sungai ini adalah
anugerah Tuhan, dan seharusnya tidak boleh satu orang pun memilikinya. Jadi kami
putuskan agar tanah sekitar sungai tidak boleh dimiliki oleh satu orangpun
tetapi menjadi milik bersama dengan walikotanya sebagai penyelia. Tetapi
bukannya sungai ini menjadi indah, kami malah menghancurkannya. Karena tidak
ada yang memiliki tanah ini, orang mulai membuang sampah disekitarnya. Tidak
ada lagi yang menjaga dan merawat tepian sungai. Pemukim liar entah dari mana
mulai berdatangan. Walikota mulai mengusir, tetapi mereka datang lagi. Dan kami
harus mengeluarkan biaya yang begitu besar untuk mengusir dan menjaga tepian
sungai yang dulunya begitu indah ini. Orang-orang tidak memperdulikan apa yang dibuang kedalam sunga-sungai itu, karena
tidak ada yang dipengaruhi oleh kehidupan ditepian sungai. Tetapi kerusakan
yang paling utama adalah pada hati nurani kami. Penguasa yang seharusnya
menjadi pengayom, kami rubah menjadi penadah kesempatan, kesempatan untuk
merusak sungai kami. Sampai akhirnya kami putuskan; bukan setiap orang bisa
memiliki sungai ini, tetapi setiap orang yang mau berkorban harus bisa memiliki
sungai ini, dan dengan demikian mereka akan menjaganya. Kami bersyukur bahwa
leluhur kami cukup bijak untuk melakukan ini.”
“Nah,
sekarang aku ingin kalian kembali ke desa kalian dan mulai merawat apa yang
tersisa dari kalian. Kalian telah diberikan kesempatan untuk belajar kali ini,
dan jangan pernah sekali lagi mengulangi kesalahan itu. Aku hanya bisa berdoa
bagi jiwa yang hilang, dan meratap dengan kalian.” Demikianlah hakim tersebut
mengakhiri pidatonya dan seluruh penduduk desa pulang dengan kepala tertunduk.
Pembaca yang
terhormat, cerita diatas adalah tentang bangsa kita; Indonesia. Ketika
mendirikan bangsa ini, pendiri bangsa kita berharap bahwa bangsa ini akan
menjadi lebih berkeadilan dan berkesejahteraan jika sumber daya dikuasai Negara
untuk kesejahteraan bersama. Ini mereka tuangkan dalam Undang-undang dasar
Negara kita dalam pasal 33 ayat 3; “Bumi dan Air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”. Tetapi dengan semua itu, bukanlah kecelakaan jika bangsa
kita adalah salah satu yang terkorup didunia. Bukanlah takdir jika begitu
banyak saudara-saudara sebangsa kita hidup dibawah garis kemiskinan. Bukanlah
takdir jika begitu banyak pelanggaran hak asasi manusia terjadi di negeri ini.
Kasus perselisihan tanah antara penduduk dengan perusahaan tambang (Bima,
Picuan, Papua – Freeport), kasus penebangan hutan liar yang disponsori oleh pejabat,
kasus korupsi di BUMN, tidak terjadi karena kesialan bangsa ini. Semua terjadi
karena kepimilikan bersama, dimana pejabat sebagai penyelia milik bersama ini,
dan mereka hidup ditengah godaan ini terus menerus.
Bukanlah
karena kesialan jika bangsa lain punya De’beers, Freeport, Newmont, Exon, BP,
Total, Shell, dan kita tidak punya satupun perusahaan yang mampu menyamai
mereka. Mari kita kembali ke fitrah
segala hal: sumber daya adalah milik yang paling layak memilikinya, yaitu orang
yang mau berusaha untuk memilikinya. Negara ini adalah milik rakyat Indonesia,
sekali lagi milik rakyat Indonesia, bukan milik seluruh rakyat Indonesia. Apa
yang anda rasakan jika Istri anda dinyatakan sebagai milik bersama? Demikian
juga halnya jika ada yang menyatakan isi tanah anda adalah milik bersama. Itu
adalah tidak adil, tidak bermoral, dan menciptakan kekacauan, kebiadaban, dan
kemiskinan.
Sumber
kemiskinan dan kesialan bangsa ini adalah satu kalimat dalam hukum kita: “bumi
dan air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.