Showing posts with label Budaya. Show all posts
Showing posts with label Budaya. Show all posts

Sunday, January 6, 2013

Sebuah Desa Bernama Indonesia



Adalah sebuah desa yang dipenuhi oleh peternak domba. Di desa tersebut terletaklah bukit hijau yang indah tempat para petani biasa memberi makan domba-domba mereka. Bukit ini dimiliki oleh seorang Wali Kota yang bijak yang tinggal di kota dekat desa tersebut dan Wali Kota yang bijak ini memutuskan agar setiap petani yang mampu membayar sejumlah uang untuk bisa memiliki sebidang tanah pada bukit yang indah ini. Demikianlah setiap peternak yang memiliki uang membeli tanah ini. Yang tidak memiliki uang menjual sebagian domba mereka hingga mereka memiliki cukup uang untuk membeli sebidang tanah di bukit ini agar mampu memberi makan domba mereka. Para peternak yang rajin memelihara dan menjaga dombanya menghasilkan lebih banyak domba dan mampu membeli tanah yang lebih luas. Ada peternak yang pada awalnya membeli tanah tetapi lama-kelamaan mereka menyadari bahwa mereka lebih baik menjadi penenun wol dari pada peternak domba, dan merupakan keputusan yang lebih bijak jika menjual tanah mereka pada peternak yang berbakat dan berkonsentrasi menjadi penenun wol. Demikianlah masing-masing orang memiliki apa yang sepantasnya mereka miliki, dan masing-masing menjaga keindahan dan kesuburan rumput di bukit tersebut, dan bukit itu menjadi lebih hijau, hidup, dan asri dari hari ke hari.

Sebelum kematiannya sang wali kota mengunjungi desa tersebut dan puas dengan apa yang dia lihat. Dia memutuskan agar para penduduk desa bisa membentuk pemerintahan dan hukumnya sendiri. Para penduduk desa tersebutpun duduk bersama dan mulai membicarakan nasib dari sumber daya mereka yang utama; bukit yang subur nan hijau. Beberapa pemikir di desa tersebut mulai mengemukakan pendapat seperti ini: bahwasanya bukit tersebut dulunya adalah milik bersama semua penduduk desa. Dan betapa indahnya saat itu ketika petani siapapun berhak untuk datang dan memberi makan ternaknya secara cuma-cuma di bukit tersebut. Betapa eratnya persatuan para penduduk desa tersebut karena mereka tidak perlu membeli dan menjual bidang tanah di bukit itu, dan demi menjaga persatuan setiap penduduk desa, demi kebaikan yang lebih besar bagi semua penduduk, demi keadilan dan mencegahnya eksploitas bersifat egoistis dari pemilik bidang tanah, demi kesejahteraan bersama semua penduduk, maka lebih baik jika bukit ini dimiliki oleh seluruh penduduk desa.

Demikianlah setiap orang menjadi pemilik bukit ini dan siapa saja berhak memberi makan ternak di bukit tersebut. Para petani yang dulunya adalah penenun melihat kesempatan yang lebih baik untuk menjadi peternak dan setiap orang di desa tersebut merasa bahwa adalah hal yang baik jika mereka memanfaatkan sebesar-besarnya kesempatan tersebut. Tiba-tiba saja setiap orang berebutan memberi makan ternak mereka, tetapi tidak ada satu pun yang terpikir bahwa suatu saat bukit tersebut bisa gundul. Beberapa orang yang dulunya memiliki bukit tersebut merasa bertanggung jawab untuk menanam kembali rumput dan mengendalikan jumlah penggunaan rumput di bukit tersebut, tetapi ketika mereka melihat peternak lain dengan lebih sigap memanfaatkan rumput gratis, mereka merasa bahwa usaha mereka hanya mendatangkan kesenangan bagi orang lain dan merugikan mereka. Mereka melihatnya sebagai ketidakadilan dan memutuskan berhenti untuk memelihara bukit tersebut, karena bagi keuntungan pribadi mereka adalah lebih baik untuk memberi makan sebanyak-banyaknya hewan ternak mereka sebelum seluruh bukit tersebut menggundul.

Satu angkatan berlalu dan bukit yang dulunya asri sekarang mulai hilang kehijauannya. Hal ini mengkhawatirkan para penduduk desa dan sekali lagi mereka memutuskan untuk bertemu dan membahas masa depan bukit mereka. Sayangnya, pada saat itu tidak ada diantara mereka yang hidup dan melihat betapa indah dan hijaunya bukit tersebut ketika masa pemerintahan sang Wali Kota yang bijak, dan mereka lupa bahwa pada zaman itu kehijauan bukit tersebut dihasilkan oleh orang-orang yang secara sah berhak memiliki dan dengan demikian, merawat bukit tersebut. Sehingga pada akhir pertemuan mereka datang dengan satu solusi; setiap penduduk akan dibatasi jumlah ternaknya yang bisa diberi makan di bukit tersebut. Untuk menjaga agar tidak ada yang memberi makan melebihi jumlah tersebut mereka akan membentuk Polisi desa yang dipimpin oleh kepala desa, yang tugasnya adalah menangkap dan menghukum siapa saja yang melanggar ketentuan itu. Pada awalnya semua merasa senang, tetapi yang lebih senang adalah keluarga kepala desa, karena sekarang dia menjadi orang yang lebih berkuasa, bukan sekedar menjadi penjaga keamanan desa, tetapi sebagai pengendali sumber daya alam utama di desa tersebut: bukit penuh rumput. Yang sangat merasa tidak senang dengan keputusan ini adalah mereka para pekerja keras, yang dengan kerja keras memiliki lebih banyak domba dibandingkan peternak lain. Mereka merasa ini ketidak adilan karena secara tidak langsung keputusan ini memaksa mereka untuk mengurangi kerja keras mereka dan membatasi potensi kemampuan mereka. Tetapi mereka punya rencana lain.

Waktu berjalan dan pada awalnya hukum baru ini dituruti. Tetapi para pengambil kesempatan, apalagi yang mau menghalalkan segala cara untuk melancarkan kepentingannya, melihat celah dalam kecurangan hati manusia. Orang kaya dari kota melihat kesempatan. Mereka tahu bahwa dengan harga yang tepat, siapa saja bisa dibeli dan dengan demikian mereka mulai mendekati si kepala desa. Mereka memberi ide bagi kepala desa bahwa mereka akan membeli bagian dari ternak orang lain untuk ditempatkan disana. Kepala Desa tahu bahwa itu adalah kecurangan, tetapi dengan penawaran yang tepat hati nuraninya bisa dilencengkan. Uang diberikan kepadanya dan para polisi yang menjaga bukit. Uang itu bukan hanya mampu membeli kepala desa tetapi semua petugas polisi yang ada disana, dan hati nurani mereka sekarang tidak mampu lagi membedakan mana yang baik dan buruk. Uang yang mudah didapat sekarang menjadi segalanya. Kepala Desa sekarang menjadi orang yang kuat, dengan semua polisi dibawahnya. Beberapa penduduk melihat praktek kotor ini dan menyatakan ketidaksetujuannya. Tetapi kepala desa sekarang terlalu kuat. Digunakannya kekuatannya untuk mengasingkan dan mengintimidasi orang-orang yang berani menentangnya. Karena mereka tidak punya kekuatan, mereka disingkirkan dan yang lain hanya bisa berdiam diri, takut untuk melawan dan mereka berpikir bahwa hal yang paling baik untuk dilakukan sekarang adalah diam dan ikut ambil bagian dalam permainan kotor ini.

Tetapi kepala desa menjadi lebih rakus dan rakus. Sekarang dia pun ingin mengambil bagian lebih dari permainan ini. Sebagaimana sejarah telah membuktikan lagi dan lagi, bahwa bahkan orang terkuat sekalipun tidak mampu mengalahkan dirinya sendiri, kepala desa pun demikian. Kebijaksanaannya sekarang telah pupus karena tidak ada yang mengendalikan kekuasanaannya. Menyadari bahwa Dia akan mati dan bahwa dia mungkin saja tidak bisa menikmati atau mewariskan kekuasaannya atas bukit itu, dia gunakan sebisa mungkin bukit yang dari hari ke hari makin hilang kesuburannya ini, yang makin tidak tertata dan buruk rupa. Pada saat itu, lebih banyak penduduk desa yang melihat kejahatan ini dan ketika mereka punya cukup banyak penduduk, mereka menyerang rumah kepala desa dan memintanya diganti. Polisi yang selama ini setia kepada kepala desa merasa bahwa mereka tidak akan mampu membendung jumlah penduduk yang terlalu banyak dan memutuskan berpihak kepada penduduk (walaupun selama ini mereka telah mengambil bagian dalam permainan korup dan kotor kepala desa dan kroninya, dan telah menjadi kaya oleh itu).

Kepala desa berhasil melarikan diri dan digulingkan kekuasaanya dan sekarang penduduk secara keseluruhan telah berkuasa. Mereka memutuskan untuk membentuk lagi sistem pemerintahan yang baru yang kali ini mereka harapkan bisa lebih bersih dan bertanggung jawab pada rakyatnya. Mereka merancang agar seorang kepala desa dipilih oleh penduduk dan hanya boleh berkuasa tidak lebih dari lima tahun, dan disamping kepala desa, kekuasaan untuk membuat peraturan diberikan pada sekelompok dewan desa yang dipilih oleh penduduk.  Tetapi masalahnya, bukit tersebut tetap menjadi milik semua orang. Tidak lama setelah kepala desa dan dewan desa serta ketua dewan desa yang baru terpilih, godaan untuk memanfaatkan kekuasaan atas bukit tidak tertahankan, akan tetapi kali ini mereka masing-masing menyadari kekuasaan mereka terbagi dan masing-masing bisa mencegah satu sama lain untuk berkuasa. Tetapi bukit itu terlalu berharga untuk dilewatkan godaannya dan sebagaimana sebelumnya, selama manusia mengelilingi dirinya dengan godaan, tidak akan perlu waktu lama baginya untuk jatuh. Dan kepala desa baru mengatur agar semua orang bisa disuap. Pendekatan yang penuh tipu daya dan bujuk rayu dia lancarkan. Tetapi dalam hal ini, cerita saya kurang jelas, karena kita tidak pernah tahu, siapa yang memulai ide untuk saling menyuap ini. Ada yang berkata, ketua dewan desa, ada yang berkata bahwa sang kepala desa, yang mulai mendekati satu sama lain, tetapi yang jelas persekongkolan itu pun terjadi. Kepala Desa memastikan bahwa siapa saja yang mau membayar, mereka bisa memiliki akses untuk memanfaatkan bukit ini sepuas-puasnya. Uang (dan segala bentuk penyuapan lain; rumah, domba, wanita) yang didapatkan dibahagikan kepada anggota dewan desa untuk memastikan agar mereka menurut dan tidak membuat hukum baru yang menyulitkan semua orang yang menjalankan skema korup ini. Anggota dewan desa akan kemudian menggunakan sebagian uang tersebut untuk membayar penduduk pada waktu pemilihan sehingga memastikan mereka terpilih kembali untuk menjabat sebagai anggota dewan desa.

Pada awalnya ada beberapa anggota dewan yang menolak godaan ini, tetapi satu persatu mereka jatuh, karena godaan yang berlebihan. Dan perlahan tapi pasti, ketika lebih banyak orang menjadi gila, maka kewarasan akan dianggap sebagai kegilaan. Kejujuran dianggap sebagai kemunafikan dan usaha mencari muka. Orang yang mau jujur dianggap sebagai pembuat onar dan pencari masalah. Ketulusan dalam melayani penduduk dianggap sebagai ketidak warasan dan ketidak jujuran. Orang-orang ini disingkirkan atau diacuhkan. Ada yang mencoba tetap bertahan tetapi ketika mereka melihat kesenangan yang didapatkan sejawat mereka, hati nurani mereka tidak mampu bertahan dan akhirnya mereka terhisap oleh lingkaran setan ini.

Tetapi ada satu perubahan yang lebih mengerikan. Masing-masing pejabat desa merasa bahwa pembatasan masa jabatan mereka berarti masa mereka memanfaatkan rumput dan bukit tersebut juga terbatas, sehingga dalam masa waktu yang terbatas tersebut mereka harus bisa memanfaatkannya sebisa mungkin. Para penyuap pejabat desa juga berpikiran yang sama. Mereka khawatir jika suatu hari pejabat yang terpilih sudah tidak mau disuap lagi, atau tidak bersahabat dengan mereka sehingga memilih menerima suap dari peternak besar yang lain. Mereka juga berpikir bahwa dalam masa waktu yang terbatas tersebut mereka harus bisa memanfaatkan bukit tersebut semaksimal mungkin, karena apapun yang mereka lakukan bukit tersebut bukanlah milik mereka selamanya. Jadi masing-masing dengan keserakahannya menjarah segala yang mereka bisa jarah dari bukit tersebut secepat dan semampu mereka. Tahun berganti, pejabat menjadi kaya, rakyat biasa menjadi lebih miskin. Bukit yang dulunya indah dan asri, yang dijaga oleh pemiliknya, sekarang mulai hancur lebur. Demikianlah tahun berganti, penguasa desa berganti, tetapi selama bukit tersebut adalah “milik bersama” maka berarti “tidak ada pemilik”. Yang memiliki adalah yang berkuasa, dan setiap penguasa yang berganti, tidak ada yang mampu untuk merubah budaya kotor setiap orang yang berdasarkan instinct-nya harus serakah. Sampai suatu hari rumput di bukit itu habis, dan yang tersisa adalah beberapa buah pohon besar, tempat dulu para peternak biasa beristirahat. Pohon ini pun dipotong oleh penyuap yang berdalih bahwa pohon tersebut mengandung kandungan yang berbahaya bagi domba-domba yang hidup disekitar bukit. Kayunya dijual, dan uangnya dibagi-bagikan untuk kesenangan penyuap dan pejabat.

Suatu hari hujan lebat melanda desa tersebut. Tanaman yang selama ini menopang tanah di bukit sekarang sudah hilang, dan yang terburuk pun terjadi. Banjir dan longsor dari bukit menutupi seluruh desa, ratusan orang kehilangan nyawa. Sebulan dari situ rakyat berkumpul sekali lagi untuk membahas apa yang sebenarnya terjadi. Mereka mulai berdebat apa yang sebenarnya menjadi penyebab semua ini. Mereka mulai menyalahkan kejahatan dan keburukan manusia. Ada yang menyalahkan desa sebelah, ada yang menyalahkan kota tetangga, karena dari situlah para pengusaha yang menyuap pejabat desa kebanyakan datang. Mereka mengatakan bahwa ini adalah program terencana masyarakat kota tersebut untuk menghancurkan desa mereka. Alasannya bermacam-macam; karena kota merasa iri dengan domba mereka, karena orang-orang kota tahu ada harta karun tersimpan diatas bukit tersebut, karena orang kota punya cara berpakaian berbeda dengan desa tersebut, karena desa tersebut dulunya adalah bagian dari kota tersebut sehingga sekarang mereka ingin menguasainnya kembali. Berbagai macam omong-kosong ini terus dicekoki ke otak para penduduk desa yang sekarang sudah setengah gila dan telah menggantung sampai mati semua anggota dewan desanya. Dan sekarang mereka bersiap untuk aksi yang lebih gila. Petani dan peternak miskin ini mengambil apa saja yang bisa membunuh di rumah mereka dan berbaris menuju kota untuk menyerang kota tersebut, sampai akhrinya mereka di hentikan oleh tentara penjaga kota. Mereka ditawan dan dibawa didepan pengadilan kota.

Mereka mulai mengangkat sejarah keindahan desa mereka, dan bagaimana desa mereka yang begitu indah dan begitu makmur sampai akhirnya mereka memutuskan untuk memisahkan diri dari kota tersebut, dan bagaimana kelompok orang kaya dari kota melaksanakan rencana jahat mereka sehingga desa itu sekarang hancur dan bertekuk lutut. Hakim kota mendengar keluh kesah mereka dengan tenang. Dia adalah orang terpelajar yang tau sejarah yang benar dari kota tersebut. Setelah penduduk desa selesai berbicara, sekarang saatnya untuk dia menjelaskan duduk persoalan sebenarnya.

“Wahai penduduk desa” serunya. “Tahukah kalian sejarah sebenarnya bukit yang kalian miliki itu? Yang dulunya begitu indah dan terawat, yang adalah bagi kalian, dan memang benar, sumber kecemburuan desa lain. Yang adalah sumber kehidupan dan kesejahteraan, keindahan dan kesuburan. Bukit itu dulunya adalah milik dari walikota kami. Dengan kebaikannya dia berikan bukit itu untuk siapa saja yang mau mengurus bukit tersebut. Tetapi suatu saat, entah karena kebijaksanaan dari iblis mana, kalian menjadikannya milik bersama. Hal itu membuat yang rajin memelihara keindahan bukit tersebut, yang secara alamiah merasa terpanggil untuk memelihara bukit tersebut karena itu adalah miliknya dan dia serta keturunannya akan diuntungkan jika mereka merawat bagian dari bukit tersebut yang mereka miliki, mereka itu yang adalah penyelamat bukit tersebut, berhenti untuk menjaga lagi bukit itu. Apa yang terjadi, kalian membiarkan para penjahat memelihara bukit tersebut. Mereka menjadi penjahat bukan karena mereka pada dasarnya jahat. Tetapi karena bukit tersebut kalian jadikan godaan yang begitu besar untuk orang menjadi pendosa. Tidak terpikirkah kalian, kenapa desa tetangga kalian yang begitu indah dan asrinya, yang tidak dianugerahi oleh pencipta dengan bukit seindah bukit kalian, tetapi bisa lebih kaya dan bahagia dari kalian? Mereka menjadi bahagia bukan karena kami tidak membenci mereka. Desa tersebut juga berpakaian berbeda dengan kami, juga dulunya adalah bagian dari kota ini, tetapi mereka sejahtera, dan kami tidak membenci mereka. Tidakah kalian sadar bahwa kalian sendirilah sumber penderitaan itu, dan dalam penderitaan tersebut kalian begitu bodoh dan tak mampu melihat sumber penderitaan itu mulai mencari alasan-alasan yang tidak karuan.”

“Kalian lihat sungai yang mengalir yang membelah kota ini? Yang menjadi sumber kemegahan kota ini? Dulunya sungai ini hampir menjadi sumber kehancuran kami sebagaimana bukit kalian itu. Leluhur kami merasa bahwa sungai ini adalah anugerah Tuhan, dan seharusnya tidak boleh satu orang pun memilikinya. Jadi kami putuskan agar tanah sekitar sungai tidak boleh dimiliki oleh satu orangpun tetapi menjadi milik bersama dengan walikotanya sebagai penyelia. Tetapi bukannya sungai ini menjadi indah, kami malah menghancurkannya. Karena tidak ada yang memiliki tanah ini, orang mulai membuang sampah disekitarnya. Tidak ada lagi yang menjaga dan merawat tepian sungai. Pemukim liar entah dari mana mulai berdatangan. Walikota mulai mengusir, tetapi mereka datang lagi. Dan kami harus mengeluarkan biaya yang begitu besar untuk mengusir dan menjaga tepian sungai yang dulunya begitu indah ini. Orang-orang tidak memperdulikan apa  yang dibuang kedalam sunga-sungai itu, karena tidak ada yang dipengaruhi oleh kehidupan ditepian sungai. Tetapi kerusakan yang paling utama adalah pada hati nurani kami. Penguasa yang seharusnya menjadi pengayom, kami rubah menjadi penadah kesempatan, kesempatan untuk merusak sungai kami. Sampai akhirnya kami putuskan; bukan setiap orang bisa memiliki sungai ini, tetapi setiap orang yang mau berkorban harus bisa memiliki sungai ini, dan dengan demikian mereka akan menjaganya. Kami bersyukur bahwa leluhur kami cukup bijak untuk melakukan ini.”

“Nah, sekarang aku ingin kalian kembali ke desa kalian dan mulai merawat apa yang tersisa dari kalian. Kalian telah diberikan kesempatan untuk belajar kali ini, dan jangan pernah sekali lagi mengulangi kesalahan itu. Aku hanya bisa berdoa bagi jiwa yang hilang, dan meratap dengan kalian.” Demikianlah hakim tersebut mengakhiri pidatonya dan seluruh penduduk desa pulang dengan kepala tertunduk.

Pembaca yang terhormat, cerita diatas adalah tentang bangsa kita; Indonesia. Ketika mendirikan bangsa ini, pendiri bangsa kita berharap bahwa bangsa ini akan menjadi lebih berkeadilan dan berkesejahteraan jika sumber daya dikuasai Negara untuk kesejahteraan bersama. Ini mereka tuangkan dalam Undang-undang dasar Negara kita dalam pasal 33 ayat 3; “Bumi dan Air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Tetapi dengan semua itu, bukanlah kecelakaan jika bangsa kita adalah salah satu yang terkorup didunia. Bukanlah takdir jika begitu banyak saudara-saudara sebangsa kita hidup dibawah garis kemiskinan. Bukanlah takdir jika begitu banyak pelanggaran hak asasi manusia terjadi di negeri ini. Kasus perselisihan tanah antara penduduk dengan perusahaan tambang (Bima, Picuan, Papua – Freeport), kasus penebangan hutan liar yang disponsori oleh pejabat, kasus korupsi di BUMN, tidak terjadi karena kesialan bangsa ini. Semua terjadi karena kepimilikan bersama, dimana pejabat sebagai penyelia milik bersama ini, dan mereka hidup ditengah godaan ini terus menerus.

Bukanlah karena kesialan jika bangsa lain punya De’beers, Freeport, Newmont, Exon, BP, Total, Shell, dan kita tidak punya satupun perusahaan yang mampu menyamai mereka.  Mari kita kembali ke fitrah segala hal: sumber daya adalah milik yang paling layak memilikinya, yaitu orang yang mau berusaha untuk memilikinya. Negara ini adalah milik rakyat Indonesia, sekali lagi milik rakyat Indonesia, bukan milik seluruh rakyat Indonesia. Apa yang anda rasakan jika Istri anda dinyatakan sebagai milik bersama? Demikian juga halnya jika ada yang menyatakan isi tanah anda adalah milik bersama. Itu adalah tidak adil, tidak bermoral, dan menciptakan kekacauan, kebiadaban, dan kemiskinan.

Sumber kemiskinan dan kesialan bangsa ini adalah satu kalimat dalam hukum kita: “bumi dan air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Sunday, October 21, 2012

Andai Aku Menjadi Ketua KPK


Koalisi terbesar KPK dalam memberantas korupsi saat ini adalah masyarakat sipil yang terpisah dari institusi Negara, yang bergerak secara masal, tanpa ada organisasi terpusat dan muncul secara spontan, membela KPK ketika mereka menghadapi masa sulit. Seandainya saya menjadi ketua KPK, tentu proses penegakan hukum akan terus dijalankan dan dipermantap, tetapi yang utama adalah bagaimana memperbesar koalisi KPK dengan masyarakat. Dan sebagai ketua KPK saya akan berusaha menumbuhkan kesadaran masyarakat akan isu korupsi dan bahayanya, sehingga koalisi ini, menjadi semakin besar, kuat, dan menjadi lebih mumpuni dalam menggerakan opini publik, serta mengontrol tindakan para pembuat keputusan. Penggerak utama massa adalah media budaya, dan ini bisa apa saja. Bisa media massa, music, gaya busana, bahkan Meme, dan semuanya ini harus bisa digunakan untuk membangun budaya baru Indonesia: Budaya Anti Korupsi. 

Jika saya ketua KPK, saya akan undang penulis teenlit, novel, dan sineas kita untuk mau menggarap sebuah karya tentang kisah heroisme penyidik KPK.  Ketika serial “The X-Files” meledak AS, souvenir FBI berupa T-shirt, topi, dan jacket, laris manis, dan menjadi trend dan banyak anak muda ingin menjadi penyidik FBI. Bayangkan jika kita punya lebih banyak souvenir seperti ini, yang berisi pesan-pesan anti korupsi yang bisa saja berubah menjadi meme, apa ngga ketar-ketir koruptor se Indonesia jika dia mungkin melihat bahkan anaknya sendiri pake kaos bertuliskan “Penyidik KPK”.

Saturday, October 20, 2012

Kreatifitas dan Kemerdekaan

  Artikel menarik di Kompas beberapa hari lalu tentang kemajuan Korea Selatan dalam “membina” industri kreatifnya sehingga menjadi maju dan memberi dampak positif bagi industri lainnya sehingga memberi pengaruh positif bagi perekonomian Korea Selatan secara keseluruhan. Dan pada artikel yang sama, dijelaskan tentang bagaimana Indonesia bisa menjadi maju industri kreatifnya dan Menteri kita yang membidangi industri kreatif bertandang ke Korea Selatan untuk belajar dari mereka. Tetapi dari semua fakta dan penulusuran empat halaman tersebut, ada hal yang kurang. Satu hal yang sangat pentingnya sehingga bagi saya, tidak ada kreatifitas yang bisa berkembang tanpa hal tersebut; Kemerdekaan. Kemerdekaan yang saya maksudkan disini bukanlah kemerdekaan yang dirayakan setiap tanggal 17 Agustus. Itu interpretasi kemerdekaan yang terlalu sempit, saya berbicara tentang kemerdekaan sebenarnya, kemerdekaan pribadi untuk mencapai apa yang membahagiakan baginya tanpa ada gangguan dari orang lain.

Kemerdekaan adalah kunci utama kreatifitas. Jika kita lihat orang yang selalu didikte, dia tidak memerlukan kreatifitas karena apa yang dia lakukan hanyalah didasarkan atas apa yang diperintah oleh yang mendikte. Orang yang merdeka di sisi lain, adalah keharusan untuk mendapatkan kreatifitas. Tetapi sebenarnya kreatifitas adalah sifat alami manusia. Tanpa ada perintah, kita makhluk yang secara asasi adalah kreatif. Dan masing-masing kreatif pada bidang yang dia sukai. Kreatifitas seni, kreatifitas kerja, kreatifitas belanja, kreatifitas bercerita, dll. Tetapi kenapa ada sekelompok manusia yang lebih kreatif dari pada yang lain. Kelompok manusia yang dikekang dalam bertindak pasti tidak kreatif, berbeda dengan kelompok yang merdeka. Contoh nyata: kenapa Industri kreatif begitu maju di Korea Selatan tetapi tidak di Korea Utara?

Demikianlah bangsa kita yang tidak merdeka dalam bertindak, menjadi bangsa yang tidak kreatif. Kompas mengambil contoh Gangnam Style dari Korea Selatan yang membawa dampak domino bagi kemajuan industri kreatif negara tersebut. Coba andaikan jika klip Gangnam Style tersebut diciptakan oleh orang Indonesia, bagaimana kira-kira reaksi sebagian kalangan “garis keras” di Indonesia? Kita lihat dulu apa yang terjadi pada Inul Daratista, dan Iwan Falls dengan lagu “Manusia Setengah Dewa”-nya. Atau, bagaimana dengan berbagai peraturan sensor yang melarang para sineas untuk melakukan ini dan itu, dan bahkan UU Perfilman mengharuskan seorang sineas harus melapor ke pemerintah sebelum membuat film, apa itu kira-kira dapat menciptakan kreatifitas?

Jika kita telusuri, adalah fakta bahwa kelompok yang memberikan kreatifitas berkreasi dan berekspresi sebesar-besarnya adalah kelompok yang paling kreatif. Hal ini juga saya alami sebagai guru. Ketika siswa saya biasakan dengan sistem dikte, maka terjadilah stagnansi, tetapi jika saya merdekakan mereka tetapi tetap terarah pada satu tujuan, maka ide itu muncul dengan sendirinya. Sehingga saran saya bagi Ibu Menteri, jika beliau menginginkan industri kreatif kita maju, merdekakanlah seniman. Lindungi mereka dari intimidasi siapa saja, bahkan intimidasi sensor dari pemerintah, dan Ibu Menteri pun tidak perlu ke Korea Selatan.

Friday, August 26, 2011

Kenapa Jutaan Orang Suka Twilight?

oleh Juan Mahaganti pada 01 Februari 2011 jam 17:40
Segala hal membutuhkan penjelasan, segala hal layak mendapatkan ‘Kenapa?’. Itu kata National Geographic. Kalau orang gila makan batu, ok., pasti karena dia sakit otak. Tetapi apa yang terjadi jika jutaan orang mulai makan batu? Nah, kita perlu penjelasannya. Salah satu rasa penasaran saya terbesar saya, yang nantinya berujung pada obsesi, adalah mencari tahu jawaban dari pertanyaan fundamental ini; Kenapa Twilight bisa menjadi film yang laris, bahkan di Negara barat sekalipun???? Bayangkan, Twilight itu seperti tidak ada bedanya dengan sinetron. Cara bercerita yang bertele-tele… Ok. Tidak perlu diulang-ulang lagi, satu kesimpulan; Twilight adalah film yang tidak bisa saya nikmati dan saya tidak bisa menemukan satupun penikmat film sejati yang bisa menikmati Twilight. Hal tertolol yang pernan saya tonton. Menontonnya di bioskop selama dua jam adalah siksaan yang begitu berat. Tertidur adalah jalan keluar yang menyenangkan, tetapi saya tidak bisa tertidur karena memikirkan uang yang saya sudah keluarkan untuk menontonnya. Jadi selama menonton Twilight, hidup akan tersiksa ketika kita sadar maupun tidak sadar. Bayangkan, siksaan apa yang lebih berat dari itu? Dan saya harus membayar Rp. 25,000!!!! Belum termasuk “biaya kesempatan” yang saya dapatkan. KIRANYA TUHAN MENGAMPUNI DOSA MEREKA YANG MENYIKSA SAYA DENGAN TERPAKSA MENATAP FILM INI SELAMA 2 JAM!!!
PERTANYAAN!!!! Kenapa bisa jadi film terlaris? Itu akan mengkonsumsi waktu dan pikiran saya untuk menjawabnya. Setelah menimbang, mengingat, menelaah, melihat, dan meneliti dengan seksama, saya tiba dengan beberapa penjelasan:
GERAKAN EMANSIPASI SENI, FEMINISME CARA INDUSTRI FILM
Sebagaimana diketahui, wanita adalah penikmat seni yang tidak terlalu serius sedangkan pria adalah makhluk yang suka serius dalam segala hal, berbeda dengan wanita. Karena itu, banyak wanita yang jago tapi tidak terlalu professional, dan pria sebaliknya, banyak yang professional tetapi sedikit yang jago. Contoh dalam urusan memasak. Berapa wanita yang pintar memasak? Hampir semua wanita bisa memasak. Banyak yang memasak dengan luar biasa enaknya, wanita adalah pakarnya memasak. Tetapi berapa wanita yang menjadi Chef? Cedikit cekaleeee!. Pria itu sebaliknya. Berapa pria bisa memasak? Terhitung dengan jari kan? Tetapi hampir semua Chef adalah pria. Ini sudah kodrat agar wanita bisa membantu Pria menangani hal-hal kecil (menjadi sekretaris, atau ibu rumah tangga, dll) agar pria bisa professional dan mengerjakan segala hal dengan serius. Mungkin itu sudah ada dalam hormone, dan software otak kita. Oleh karena itu, jangan heran jika kita menemukan banyak wanita tidak terlalu peduli dengan hal-hal yang sangat serius seperti politik, keadaan Negara, filsafat, dll. Saya tidak katakan semuanya demikian, (saya penikmat Ayn Rand, salah satu filsuf terpintar menurut saya), tetapi itu kecenderungannya. Statistiknya menunjukan demikian, tetapi bukan berarti 100% demikian.
Jadi, wanita itu juga tidak serius dalam menikmati film. Jadi jangan heran jika wanita itu menyukai sinetron dan ibu-ibu adalah pangsa pasar utama sinetron. Kalau mereka lihat cowonya guanteng, ceritanya romantic, walaupun tidak berseni, mereka enjoy-enjoy aja. Mereka tidak peduli, yang penting enjoy aja. Seperti anak-anak pecinta Star Wars, mau ceritanya gimana kek, yang penting seru, tonton aja. Dan lama kelamaan jadi obsesi. Jadi jangan heran kalau demikian juga halnya yang terjadi dengan ni Toilet Saga (eh, Twilight Saga, sory). Twilight mempergunakan seni ini dengan sebaik-baiknya! Mereka menggunakan romantisme yang sangat-sangat disukai wanita. Semakin lebay, semakin baik. Wanita bisa melihat adegan ciuman ratusan kali dan tidak pernah bosan. Mau ciuman, lalu ngga jadi ciuman. Mau ciuman lagi, ngga jadi ciuman lagi, cium, dicuekin, ngga dicium, jual mahal, lagi, lagi, dan lagi, dan wanita bisa melihat adegan ini ribuan kali dan tetap mampu menikmatinya. Dan wanita sangat menyukai romantisme. Beda dengan kita para pria.Wanita sangat peduli dengan romantisme.
Dalam kerajaan binatang, setiap pejantan harus mampu menggoda sang betina, dan betina meikmati “pertunjukan” khas jantan. Coba tonton di Nat Geo, dan lihat tuh para burung-burung. Burung pejantan harus teriak-teriak, lompat-lompat, bulunya terkembang kekiri dan kekanan, jingkrak-jingkrak untuk dapat betina, dan betina menikmatinya dan memilih yang terbaik pada akhirnya. Pejantan yang terbaik mendapatkan “kehormatan” untuk dijadikan pembantunya dalam meneruskan keturunan. Dalam dunia manusia, ini mungkin romantisme itu. Wanita tidak akan mudah memberi segalanya, teapi melalui proses bertele-tele dan panjang yang apda saat ini terselubung dengan istilah romatisme. Wanita sangat suka pengorbanan, sipria yang melakukan apapun. Tetapi tidak semua pria mau melakukannya, dan imajinasi inilah yang coba ditawarkan oleh Toilet, sory, Twilight.
Dalam Tulalit, (ups, salah lagi), Twilight, ada seorang PRIA SEMPURNA, yang MAU MELAKUKAN apapun. Udah sempurna, mau melakukan segalanya lagi. Wuidih wuenaknya. Pria suka kerumitan dan aksi, makanya kita suka Star Trek, Star Wars, Indiana Jones, dll. Tetapi wanita suka pengorbanan, romantisme, dan, COWOK TAMPAN.
Wanita adalah makhluk yang terus terang. Berbeda dengan pria. Saya pernah menonton wawancara Ayn Rand dengan Robert Donahue. Rand berkata bahwa pria itu makhluk munafik. Ketika kita bermain baseball dan lecet, kita tidak akan bilang sakit, tetapi kita hanya smirking, senyum licik. Walaupun kita rasa sakit, kita tidak mau jujur. Berbeda dengan wanita. Mereka berterus terang dan apa adanya (kecuali menyangkut masalah “romantisme” alias “biarkan pejantan jingkrak-jingkrak dulu baru kita jadikan pasangan”). Kalau sakit, mereka bilang sakit, kalu jelek, jelek. Dan kalau Tampan, Tampan. Makanya jangan heran tidak ada pria berkumpul dan bawa bawa spanduk dan poster untuk menyambut selebriti idamannya, walaupun itu Carmen Electra atau siapapun. Kita para pria tidak bisa melakukannya, karena kita memang gengsi dan tidak suka berterus terang. Kita akan berterus terang kalau kita sudah cinta, tetapi ketika kita tidak cinta, kita tidak akan pernah mengakui kecantikan atau ketampanan siapapun. (berbeda dengan wanita, kalau belum cinta mereka ngga tau diri, ngefans-ngefans, bilang guanteng kiri-kanan, tetapi datang pada penjajakannya, eh, maunya romantisme, sipejantan disuruh jingkrak-jingkrak dulu, mana yang lebih munafik?)
Jadi, wanita itu kalau lihat cowok tampan, lututnya ngga tahan mau melompat. Kalau melompatpun tidak cukup, mereka akan penuhi dinding rumah mereka dengan poster-poster pria-pria tidak berguna. Mereka beli majalah, tabloid, foto, dll, untuk si cowo tampan. Nah, itulah yang terjadi dengan fenomena Tulalit (Twilight, red). Cewek suka cowo tampan dan akan mau membeli sesuatu, hanya untuk cowo tampan. Jadi gabungan dua hal ini: Pertama, romantisme lebay, cium, ngga jadi cium, cium, ada yang ganggu, cium, terlpon bunyi, tidur2an dirumput, adegan penyelamatan, dan semua romantisme lebay tidak berguna lainya. Kedua, Pria Tampan. Si Edward Culun (Cullen maksudnya), wuih, sok extra cool buanget. Ngga pernah senyum kecuali untuk Bela). Lalu si Manusia Serigala tuh, (lupa namanya), dibiarkan telanjang dada sepanjang film. Biar semua wanita (mulai dari anak2, remaja, sampe ibu-ibu) pada lebih geregetan. Dibiarkan mereka selama tiga jam ngga pake apa-apa selain sepotong jeans. (Tapi lucunya, setelah mereka transformasi jadi serigala, jeansnya ilang. Transformasi jadi manusia, jeansnya nongol lagi. Hehehe, mungkin untuk menghindari pelanggaran UU Anti Pornografi).
Jadi saudara-saudara, jelaslah bahwa tidak dapat disangkal lagi bahwa Twilight adalah sebuah film yang ditunjukan untuk wanita! Jadi jika ada pria menikmatinya, mungkin dia memang dari sononya penikmat sinetron, atau, memang dia suka menikmati twilight sebagaimana layaknya dia suka menikmati produk khusus wanita yang lain.
Nah, Kembali ke pertanyaan awal; kenapa Twilight bisa laris muanis? Jawabannya adalah: munculnya sebuah industry film dengan target market khusus wanita. Dan jumlahnya sangat besar. Semenjak awal sejarah film, semua film yang kita sebut sebagai “mainstream” alias arus utama, selama ini sebenarnya ditargetkan untuk penggemar film dari gender Pria. Lihat daftar film terlaris dunia semenjak tahun bahuela. Star Wars, Indiana Jones, Jaws, Alien, Terminator, dll, semua franchise ini menargetkan Pria. Karena memang kita sadar atau tidak, industry film adalah industry mahal dan dibutuhkan profesionalisme dan dukungan dana tidak sedikit dan membutuhkan pengembalian dana yang besar untuk bertahan, dan ini semua hanya bisa disokong (selama puluhan tahun) oleh para konsumen pria. Konsumen wanita dibiarkan terlantar dan tidak dipedulikan kemauannya dan dibiarkan saja menikmati Drama Televisi, yang memang industrinya jauh lebih kecil dari idustri film, yang memang dikuasai oleh para pria.
Tetapi apa yang terjadi belakangan ini menunjukan sebaliknya. Wanita adalah pasar baru untuk industry film yang belum digarap dengan serius dan Twilight memanfaatkannya dengan sangat baik. Wanita bangkit dan memulai bagiannya sendiri dalam sejarah film. Twilight ditulis oleh wanita, sutradara pertamanya adalah wanita, dan pasarnya untuk wanita. Dalam istilah marketing, film khusus wanita ini seperti blue ocean, masih tenang dan tanpa saingan, dan disini, uang dari milyaran wanita bisa dipanen. Dan dalam genre baru ini (cerita model sinetron yang dirancang khusus wanita), Twilight belum punya saingan. Dan inilah sumber utama milyaran dolar untuk Twilight.
Seandainya saya punya uang milyaran rupiah,dan mau bikin lebih banyak milyar lainya, saya akan gunakan uang itu untuk membuat sebuah film. Film ini kisahnya tentang seorang wanita tolol dan tidak diinginkan, tetapi nantinya akan jadian dengan pria tampan. Pemeran priannya adalah Justin Beiber, dan untuk menghemat biaya, wanitanya adalah artis yang masih murah, sutradara dan penulis ceritanya Ram dan Shuker Punjabi. Tetapi, saya yakin seyakin yakinya, DENGAN JUSTIN BEIBER SEBAGAI PEMERAN UTAMANYA, WALAUPUN CERITANYA SERAMPANGAN, PASTI LUARIS MUANIS SEPERTI TOILET, EH, TULALIT, mmm, maksudnya TWILIGHT.

Uang... Uang...

oleh Juan Mahaganti pada 19 November 2010 jam 10:19
Berbahagialah orang yang menghargai didikan, demikian kata Amsal Salomo. Jadi berbahagialah orang yang membaca tulisan ini. Jangan memandangnya dari sudut pandang orang yang menulis, tetapi pandanglah dari sudut pandang kebijaksanaan yang mengalir dari tiap kata-kata yang keluar dari pikiran sang penulis. Pertimbangkanlah itu dengan akal sehat. Jangan telan mentah-mentah karena itu adalah kebodohan. Seperti kata Buddha yang bijak, ujilah itu dan jika itu berhasil, lakukanlah itu. Perlakukanlah itu seperti seorang ilmuwan yang menguji theorinya. Segalanya harus diletakan pada meja pengadilan akal sehat dan praktik kehidupan. Dan seperti kata-kata Yesus, “engkau akan melakukan perintahku dan engkau akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran akan memerdekakanmu.” Juan Mahaganti bukan Yesus, Juan Mahaganti adalah lambang kebodohan, kemunafikan dan kebohongan jika engkau menyelidiki hidupnya dengan mikroskop moralitas. Tetapi paling tidak pertimbangkanlah sedikit, kata-kata seorang manusia biasa yang baru menjalani kehidupan sederhana dan dangkal selama 24 tahun terakhir. Berbahagialah engkau yang membaca ini.
Entah kegialaan apa yang menyerangku malam ini, tetapi aku ingin menulis layaknya para nabi.
Datanglah padaku malam ini penglihatan tentang kebenaran. Kebenaran yang menyedihkan tentang sebuah masyarakat bernama masyarakat Indonesia. Masyarakat dalam kondisi tanpa nilai murni yang bisa dijunjung. Tanpa nilai keindahan untuk dipuja, kecuali nilai ketamakan dan keinginan untuk memiliki lebih. Sebuah masyarakat tanpa pegangan yang kokoh. Suatu masyarakat yang mengaku beragama tetapi bertindak selayaknya para pemuja berhala serapah, berhala bernama uang. Uang adalah satu-satunya pegangan masyarakat ini, tetapi pegangan itu sangat rapuh dan tanpa moralitas. Uang tidak berbicara, uang tidak bernapas, uang tidak berpikir, tetapi uang seakan-akan menjadi dasar pembicaraan, alasan bernapas, dan cara berpikir masyarakat ini. Inilah masyarakat penyembah uang, masyarakat Indonesia. Kita bukan lagi menilai orang dari
Menyelidiki uang sudah menjadi bagian hidupku selama beberapa tahun terakhir. Dengan kenyataan bahwa aku ditamatkan dari sekolah bisnis, dan ketertarikanku yang mendalam tentang uang. Tetapi apa yang membuatku merinding adalah begitu besarnya pengaruh uang atas orang-orang sekitarku. Tentu saja uang bukanlah setan, tetapi cinta akan uang adalah akar segala setan. Dan masyarakat ini adalah masyarakat yang terlalu cinta uang.
Ambil seorang anak kecil dan lihatlah ketulusan hatinya. Tanyakan padanya apa cita-citanya di masa depan. Ambil contoh dia menjawab bahwa dia ingin menjadi dokter. Tanyakan lagi kenapa dia ingin menjadi dokter, dan mungkin dia menjawab karena dia ingin menolong orang yang sakit. Sebuah alasan yang murni, penuh nilai kebaikan. Tanyakan lagi pada seorang anak lain tentang cita-citanya, dan dia akan berkata bahwa cita-citanya adalah menjadi polisi karena dia ingin menciptakan masyarakat yang aman dan tentram. Kamu bisa mengambil contoh ribuan anak kecil dan anda akan melihat jawaban tulus yang sama. Tetapi seperti kata-kata puisi yang dulu pernah saya dengar yang sudah saya lupa siapa penulisnya dan dimana saya membacanya berkata; dunia begitu indah pada masa kanak-kanak sebelum kegilaan masa dewasa menelannya.
Sekarang, ambil orang dewasa dari masyarakat Indonesia ini dan tanyakan pertanyaan yang sama. Kenapa kamu ingin menjadi dokter? Karena pekerjaan sebagai dokter menawarkan keamanan keuangan sehingga walaupun mahal menjadi dokter, tidak apa-apa karena anggaplah itu investasi masa depan. Ambil seorang pengusaha yang ingin menjadi bupati dan tanyakan kenapa dia ingin menjadi bupati. Jika dia menjawab bahwa dia ingin melayani masyarakat, dia adalah orang munafik (walaupun tidak semua demikian). Kebanyakan dari mereka menjadi “pelayan masyarakat” karena mereka ingin mendapatkan uang yang lebih banyak. Jadi uang adalah tujuan akhir dari segalanya.
Ketika kita mulai bersekolah, kita mengimpikan sertifikat setelah kita lulus. Tetapi sertifikat bukanlah segalanya, tetapi ilmu yang kita dapatkan selama proses pembelajaran itu. Dan kita menghargai sertifikat itu, justru setelah mengetahui betapa banyak pengorbanan yang telah kita dapatkan untuk mendapatkan sertifikat itu, dan betapa kertas tidak berharga itu menjadi berharga setelah kita melihat kebelakang akan pencapaian dan ilmu yang kita sudah dapatkan untuk mendapatkan sertifikat tersebut. Tetapi apa yang terjadi ketika kita mulai bersekolah hanya dengan tujuan mendapatkan sertifikat? Kita menghalalkan segala cara untuk itu. Kita menganggap menyontek bukan lagi dosa, dan lebih buruk, kita membayar untuk sertifikat tersebut tanpa mempedulikan pendidikan yang seharusnya kita dapatkan,dan bahwa sertifikat tersebut adalah pengakuan atas pendidikan kita, dan bukan sebaliknya bahwa pengetahuan kita membuktikan kesahihan sertifikat tersebut. Apa yang terjadi jika kita mengutamakan sertifikat dari pada pendidikan? Kita menjadi orang bodoh, manja, tanpa moralitas dan hanya berpuas untuk barang yang sebenarnya semu, sertifikat yang adalah kertas tanpa arti dan tanpa guna.
Demikian juga dengan memperoleh uang. Uang adalah sebuah sertifikat penghargaan. Ketika saya menjual barang atau jasa lebih baik dari saingan saya, maka orang akan datang dan membeli barang saya lebih dari saingan saya, dan memberikan bagi saya sertifikat penghargaan atas kebaikan saya dalam menyediakan barang yang lebih baik dan sertifikat ini adalah uang. Lebih baik kita bekerja, lebih bijak kita mengambil resiko maka lebih banyak sertifikat penghargaan yang kita dapatkan. Piagam ini adalah uang. Tetapi bukanlah sertifikat yang utama, sertifikat adalah bagian dari pencapaian, tetapi proses pencapaian, itu yang utama. Ketika kita mengutamakan uang diatas segala-galanya, kita menjadi orang manja dan tanpa mau bekerja. Kegagalan pasti membayangi kita, seperti seseorang yang mulai bersekolah hanya untuk sertifikat, kita mulai bekerja hanya untuk uang. Malah kita menganggap pekerjaan bukanlah pengabdian, tetapi cara untuk memperoleh uang. Tentu tidak salah jika kita memiliki uang, dan uang banyak. Tetapi apakah uang adalah akhir dari segalanya? Bukan, uang adalah sertifikat atas pencapaian yang kita peroleh. Tetapi proses mencapai itulah yang utama. Bukan berarti saya tidak cinta uang. Saya cinta sekali uang, seperti saya cinta nilai A di sertifikat kelulusan saya. Tetapi apalah arti sertifikat itu ketika saya memperolehnya tanpa kerja keras? Sertifikat itu tidak berharga sama sekali. Uang yang diperoleh dengan kerja keras akan terasa jauh lebih nikmat dari pada uang yang gampang didapat.
Apa yang terjadi ketika saya menempatkan uang diatas segala-galanya? Saya menjadi tidak fokus atas pekerjaan saya. Sebagaimana seorang murid yang menghadapi ujian hanya untuk mendapatkan sertifikat, bukan pendidikan, saya menghalalakan segala cara. Hati saya menjadi lembek menghadapi cobaan. Saya akan lebih mudah menyontek. Tetapi apakah ini menimbulkan akibat positif bagi masa depan saya? Menyontek membuat saya lebih bodoh, dan itu juga membuat saya gagal menjadi orang yang baik. Saya menjadi tidak fokus akan tujuan saya, yaitu menjadi pintar. Dan saya pada akhrinya menjadi murid yang gagal. Demikian ketika kita bekerja hanya demi uang. Kita menjadi orang yang penuh perhitungan. Kita menghitung untung rugi ketika bekerja, sehingga kita menjadi orang yang tidak fokus terhadap profesionalits. Usaha kita menjadi setengah-setengah. Kita tidak akan pernah serius, karena kita hanya memperhatikan garis akhir bukan cara melewati lintasan. Memang tujuan kita adalah mencapai garis akhir, tetapi ada lintasan lari yang harus kita lewati antara garis awal dan garis akhir dan disitulah seharusnya fokus kita yang utama.
Apa yang terjadi ketika seorang siswa kedokteran masuk sekolah kedokteran hanya karena uang yang akan dia dapatkan setelah kelak dia menjadi seorang dokter? Dia mulai tidak fokus atas tanggung jawab sejati ketika dia menjadi dokter. Dia fokus pada cintanya yang sebenarnya; Uang. Dia tidak fokus pada pelayannya, pada sumpah kedokterannya, pada profesionalitasnya. Dan setelah dia lulus nanti, coba terka dokter seperti apakah dia nanti? Dia bukanlah orang yang mencintai pekerjaannya, karena dia seperti orang yang terperangkap pada keadaan di mana dia terpaksa ada disini karena cintanya pada uang, bukan karena cintanya terhadap profesi kedokteran. Dia mungkin sebelumnya mencintai pekerjaan lain yaitu menjadi seorang pelukis. Dan akhirnya dia menjadi tidak fokus antara melukis dan menjadi seorang dokter. Dia menjadi dokter yang tidak professional. Dan pelayannya tentu saja akan dia jual dengan harga mahal, mengingat bahwa cintanya sebenarnya bukan melayani sebagai seorang dokter, tetapi uang yang dicarinya. Apa yang terjadi ketika seorang guru menjadi pengajar karena uang, bukannya karena dia ingin melayani sebagai seorang guru? Dia menjadi pengajar yang mendua hati, antara mengajar dan usaha mengejar uang. Maka seperti murid yang hanya mengejar sertifikat dan gampang tergoda, guru ini adalah guru yang paling rentan terhadap suap. Dia akan sangat mudah disuap dengan godaan uang. Dengan mudahnya dia akan merubah nilai siswa untuk uang. Apa yang terjadi jika seorang polisi menjadi polisi karena alasan uang dan bukannya melayani masyarakat? Seperti seorang guru, dia akan gampang disuap. Apa yang terjadi jika seorang pengusaha menjadi bupati bukan karena ingin melayani tetapi karena alasan uang? Anda terka sendiri apa yang terjadi. Benar, korupsi adalah halal baginya. Mengambil sedikit disini, pungli sedikit disana, mark-up sedikit disini, kolusi sedikit disana, bukan lagi masalah, karena uanglah alasan utamanya. Politik uang bukanlah hal tabu baginya, karena dia tidak peduli lagi dengan moralitas karena yang utama baginya adalah menang dan mendapatkan lebih banyak uang. Ketika seorang pemilih memilih calon pemimpinya dan hanya cinta uang, apa yang akan terjadi? Tentu akal sehatnya akan tertutup dengan uang dan dia akan memilih pemimpin secara serampangan dan memilih hanya karena dasar uang. Dan apa yang terjadi ketika masyarakat diberikan para pekerja penting seperti dokter, guru, polisi, dan bupati yang hanya cinta uang seperti di atas segala-galanya? Kekacauan. Itulah yang terjadi dalam masyarakat gila bernama Indonesia ini. Dari tingkat masyarakat pemilih jelata paling bawah, para guru dan polisi pelayan masyarakat, para professional seperti dokter dan pengacara, sampai para pemimpin politik pada tingkat atas menjadi gila akan satu hal; UANG. Dan jangan heran jika anda melihat masyarakat ini berubah menjadi masyarakat gila.
Bagaimana seharusnya cara kita melihat uang? Saya belajar banyak hal dari teman-teman saya orang tionghoa. Kalau ada bangsa didunia ini yang paling tidak cinta uang, maka itu adalah orang Tionghoa. Kedengaran lucu mengingat stigma orang Cina yang selama ini kita anggap sebagai bangsa cinta uang. Tapi setelah mengenal orang Cina dengan dekat, saya yakinkan anda satu hal, mereka adalah orang yang paling tidak cinta uang yang pernah saya kenal, berbeda dengan orang Indonesia yang saya anggap adalah bangsa paling SERAKAH yang pernah saya lihat. Orang Cina bukan bangsa yang cinta uang, tetapi bangsa yang paling professional. Anda bisa katakan bahwa saya berhayal dengan berkata demikian. Tetapi kalau anda tidak percaya dengan perkataan saya, saya tantang anda untuk bersahabat dengan orang Cina yang orang tuanya punya pekerjaan berbeda-beda. Tentunya yang paling ditemukan adalha orang Cina yang pekerjaannya pengusaha. Tentu saja anda akan dengan mudah berkata bahwa mereka pelit. Tentu saja mereka harus pelit, karena pekerjaan mereka adalah tentang mengolah uang, dan mereka harus mengelolanya sebaik-baiknya. Seorang pengusaha sudah seharusnya berhati-hati mengeluarkan uang, seperti seorang dokter harus bisa melayani sebagaimana buruknya kondisi seorang pasien, atau pendeta yang harus tahu isi Alkitab. Jadi seorang pengusaha Cina yang berhati-hati mengeluarkan uang adalah seorang pengusaha professional. Sekarang, coba kenal dengan dekat seorang Cina yang punya pekerjaan sebagai Dokter. Anda akan temukan mereka tidak sepelit yang pengusaha. Tetapi mereka akan melayani sepenuh hati sebagaimana seorang dokter. Saya teringat cerita seorang Dokter Tionghoa yang sudah melegenda di Siau bernama Dr. Ngantung. Beliau sekarang membuka praktik di Hotel Crown dekat Jembatan Megawati. Orang Siau sangat mencintai Dr. Ngantung walaupun dia seorang Tionghoa karena dia dokter yang memang benar-benar seorang dokter. Sampai sekarang orang tua saya kalau punya keluhan kesehatan selalu pergi ke tempat praktek Dr. Ngantung. Dia mengabdikan seluruh hidupnya untuk melayani dengan ketulusan dan bahkan sebegitu lamanya dia melayani orang Siau, dia bahkan sangat lancar berbahasa Siau. Bayangkan pelayanan seperti ini. Lalu anda cari seorang Tionghoa yang dengan pekerjaan lain seperti pendeta. Anda akan temukan profesionalitas disitu, bukan profesionalitas palsu untuk mendapatkan uang, tetapi karena kecintaan mereka terhadap pekerjaan itu. Orang Tionghoa pengusaha menjadi pelit adalah hal yang sepantasnya karena pekerjaannya sebagai seorang pengusaha. Tetapi kenyataan bahwa kebanyakan orang Tionghoa berprofesi sebagai pengusaha, dan sebagai pengusaha yang baik mereka harus pelit, membuat kita meng-generalisir bahwa semua orang Tionghoa itu pelit. Tetapi mereka tidak pelit, mereka profesioal. Kalau anda temukan seorang Tionghoa penjudi, anda akan terkejut dengan betapa gilanya mereka berjudi dan tidak cinta uang. Tetapi kita lihat apa yang terjadi dengan para pengusaha, pendeta, dokter, pebulu tangkis, ilmuwan, juru masak, Tionghoa. Mereka sukses, apakah mereka pelit? Apakah karena mereka cinta uang? Bukan, justru sebaliknya, mereka tidak cinta uang, tetapi mereka cinta pekerjaan. Mereka ingin hidup yang lebih baik dengan pekerjaan yang mereka lakukan dan uang menyusul kemudian dan menjadi bagian dari kesuksesan itu. Bandinkan dengan para Hua Na alias orang pribumi. Kita adalah orang paling serakah. Kita tidak suka pekerjaan kita dan lebih banyak menuntut uang. Belum belum bekerja dengan baik, kita sudah menuntut gaji lebih. Kita meletakan uang pertama, kita serakah, ketika menjadi dokter belum apa-apa dalam melayani, kita sudah hitung-hitungan. Ketika si majikan Tionghoa membandingkan antara gaji dan pekerjaan kita, kita mengeluh bahwa mereka pelit, padahal kalau kita rajin berkaca, kita akan sadar bahwa bukan mereka yang pelit tetapi kita yang terlalu serakah. Kita mementingkan uang diatas segala-galanya melebihi kecintaan terhadap pekerjaan kita. Hasilnya? Kita tidak akan pernah sukses. Si Tionghoa udah kaya raya di Istana Ceria, kita si serakah hidup sengsara di Gubuk Derita.
Bayangkan ketika kita memulai perjalan dan menggunakan peta yang salah. Apakah kita akan mencapai tujuan? Begitu juga ketika kita mulai perjuangan dalam hidup. Ketika kita memutuskan untuk memulainnya dengan uang di kepala kita, kita menggunakan peta yang salah. Bukannya mencapai uang yang banyak, kita malah akan tetap menjadi pecundang sampai kita mati. Begitulah dengan masyarakat yang memulai dengan peta yang salah. Ketika anggota-anggota masyarakat memulai segala sesuatu dengan uang diotaknya maka korupsi, kolusi, nepotisme, kekacauan, kemelaratan, kebohongan, manipulasi, diktatorisme, dan segala hal buruk lainnya yang menjadi muara masyarakat ini. Ketika anak-anak muda memilih jurusan untuk karir masa depan mereka atas dasar uang, masyarakat ini akan kacau balau. Para anak muda memilih menjadi polisi karena uang, lainnya memilih menjadi dokter karena alasan uang, lainnya menjadi akuntan, suster, mantri, pakar computer, pakar bahasa, JAKSA dan sebagainya, bukan karena itu bidang yang mereka cintai, tetapi karena itu mendatangkan uang yang banyak. Hasilnya? Polisi yang korup, dokter yang sering malpraktek dan biaya kesehatannya kemahalan, guru-guru yang bisa disuap, jaksa-jaksa yang bisa disogok, akuntan yang bisa diatur agar main kotor, pakar computer yang tidak professional karena hobinya sebenarnya adalah bermain basket, dan kekacauan lainnya karena masyarakat ini tidak mampu menciptakan tenaga yang professional. Mereka menjadi masyarakat tanpa impian, tanpa mimpi, karena impian sebenarnya, impian murni seperti menjadi dokter karena ingin melayani, menjadi guru karena ingin memberi inspirasi, menjadi tentara untuk membela Negara, semua alasan murni dan tulus ini sudah terkubur karena satu mimpi buruk: menciptakan uang. Dan bukannya uang yang kita ciptakan malah kekacauan. Bukannya kesuksesan, malah kemunduran.
Wabah ketamakan ini mewabah bahkan sampai kerimba politik. Rakyat memilih karena uang, bertemu dengan politikus yang mencalonkan diri karena uang, cocoklah. Kalau anda seorang pemilih yang memilih karena dibayar, jangan tanya kenapa pemimpin ini bisa korup. Lihat ke cermin dan anda akan lihat siapa penyebab sebenarnya kekacauan ini. Kita adalah bangsa yang terlalu serakah!!!!
Apakah saya menyarankan agar kita membenci uang? Tentu tidak. Uang adalah salah satu hal paling penting dalam kebudayaan manusia. Tetapi uang hanyalah alat untuk mencapai kebaikan dan bukan kebaikan itu sendiri. Seperti kata Alkitab, CINTA akan uang adalah akar segala kejahatan, bukan Uang itu sendiri, tetapi cinta yang berlebihan akan uang. Mari kita jadikan uang bukan alasan utama, jadikan itu sebagai salah satu pertimbangan penting tetapi bukan yang terpenting. Kalau anda belum lulus SMA dan mau melajutkan perguruan tinggi, jangan dengar tentang kata-kata orang tentang jurusan anda yang katanya kurang lapangan pekerjaan. Jika engkau dedikasikan dirimu pada bidangmu, engkau menjadi orang yang pakar dan pada saat yang sama melakukan apa yang paling engku sukai dan kesuksesan akan mengikutimu. Kalau anda orang yang sudah bekerja, cintai pekerjaan anda dan jangan terlalu tamak dan sering memikirkan uang. Kalau anda tidak bisa mencintai pekerjaan itu, evaluasi lagi diri anda, apakah ini pekerjaan yang memang saya cintai? Kalau tidak, berhenti dan cari pekerjaan yang anda cintai. Hidup di bumi hanya sekali dan jangan sia-siakan itu dengan menghabiskan waktu mengerjakan hal yang tidak anda sukai. Memaksakan diri anda terhadap anda melaksanakan hal yang anda tidak sukai adalah seperti hidup dalam neraka.
Dan untuk siapapun yang membaca ini, mari kita evaluasi diri kita masing-masing. Apakah saya orang yang telalu mencintai uang sehingga mengorbankan orang lain, bahkan diri kita sendiri? Apakah saya penghancur masyarakat ini karena mencintai uang secara berlebihan? Apakah saya memilih kandidat politik karena uang? Kalau ya, saya harus bertobat karena itu adalah dosa yang sangat-sangat besar. Apakah saya orang yang suka menerima suap? Apakah saya orang yang suka merugikan orang lain karena terlalu cinta uang? Ingat saudara, cinta uang itu akar segala kejahatan. AKAR SEGALA KEJAHATAN. Bukan hanya kehancuran orang lain, tetapi diri anda sendiri. Orang yang terlalu cinta uang tidak akan pernah berhasil, seperti murid yang terlalu mencintai sertifikat bukannya mencintai didikan. Berbahagialah mereka yang mencintai didikan, bukannya mencintai sertifikat dan titel.
PS. Saya takut dan ragu ketika menulis tulisan ini. Hidup saya selamanya akan dinilai dari setiap tulisan yang saya buat. Saya mengambil resiko dengan sok suci, tetapi percayalah saya orang paling menjijkan di muka bumi. Saya menulis karena saya hanya sekedar suka menulis. Jangan jadikan ini sebagai bahan referensi dari Juan Mahaganti, Juan Mahaganti adalah orang yang sebegitu jahatnya sampai-sampai dia merasa tidak yakin dengan kebaikannya. Pembaca bebas mengutip apapun dari tulisan ini tanpa memberi kredit bagi Juan Mahaganti. Saya takut menjadi orang suci karena saya bukanlah salah satunya, saya orang berdosa, penuh dosa yang hanya sok tahu. Tetapi tolong jangan lihat dari sudut pandang penulisnya, memang sulit karena kita cenderung menerima informasi berdasarkan pemberi informasi. Tetapi ini hanyalah sudut pandang saya yang saya anggap kebijksanaan universal yang kalau kita semua praktekan bisa membawa kebaikan. Saya tidak mengklaim disini bahwa saya suatu hari akan sukses. Seperti yang saya sampaikan dalam tulisan sebelumnya bahwa saya ini punya kemungkinan besar ended up as a loser. Tetapi tolong sekali lagi jangan dilihat siapa penulisnya, tetapi kata-kata didalamnya. Apakah saya orang yang tidak suka jadi kaya??? Kalau saya bilang saya tidak suka jadi kaya, saya munafik… Saya suka jadi kaya, sebagaimana saya suka dapat sertifikat ijasah dengan nilai baik. Tetapi kaya bukanlah segalanya. Berbuatlah yang terbaik dengan memikirkan proses, tanggung jawab, nilai, bukan karena ujung-ujungnya uang.