Artikel menarik di Kompas beberapa hari lalu tentang kemajuan Korea
Selatan dalam “membina” industri kreatifnya sehingga menjadi maju dan
memberi dampak positif bagi industri lainnya sehingga memberi pengaruh
positif bagi perekonomian Korea Selatan secara keseluruhan. Dan pada
artikel yang sama, dijelaskan tentang bagaimana Indonesia bisa menjadi
maju industri kreatifnya dan Menteri kita yang membidangi industri
kreatif bertandang ke Korea Selatan untuk belajar dari mereka. Tetapi
dari semua fakta dan penulusuran empat halaman tersebut, ada hal yang
kurang. Satu hal yang sangat pentingnya sehingga bagi saya, tidak ada
kreatifitas yang bisa berkembang tanpa hal tersebut; Kemerdekaan.
Kemerdekaan yang saya maksudkan disini bukanlah kemerdekaan yang
dirayakan setiap tanggal 17 Agustus. Itu interpretasi kemerdekaan yang
terlalu sempit, saya berbicara tentang kemerdekaan sebenarnya,
kemerdekaan pribadi untuk mencapai apa yang membahagiakan baginya
tanpa ada gangguan dari orang lain.
Kemerdekaan adalah kunci utama kreatifitas. Jika kita lihat orang yang
selalu didikte, dia tidak memerlukan kreatifitas karena apa yang dia
lakukan hanyalah didasarkan atas apa yang diperintah oleh yang
mendikte. Orang yang merdeka di sisi lain, adalah keharusan untuk
mendapatkan kreatifitas. Tetapi sebenarnya kreatifitas adalah sifat
alami manusia. Tanpa ada perintah, kita makhluk yang secara asasi
adalah kreatif. Dan masing-masing kreatif pada bidang yang dia sukai.
Kreatifitas seni, kreatifitas kerja, kreatifitas belanja, kreatifitas
bercerita, dll. Tetapi kenapa ada sekelompok manusia yang lebih
kreatif dari pada yang lain. Kelompok manusia yang dikekang dalam
bertindak pasti tidak kreatif, berbeda dengan kelompok yang merdeka.
Contoh nyata: kenapa Industri kreatif begitu maju di Korea Selatan
tetapi tidak di Korea Utara?
Demikianlah bangsa kita yang tidak merdeka dalam bertindak, menjadi
bangsa yang tidak kreatif. Kompas mengambil contoh Gangnam Style dari
Korea Selatan yang membawa dampak domino bagi kemajuan industri
kreatif negara tersebut. Coba andaikan jika klip Gangnam Style
tersebut diciptakan oleh orang Indonesia, bagaimana kira-kira reaksi
sebagian kalangan “garis keras” di Indonesia? Kita lihat dulu apa yang
terjadi pada Inul Daratista, dan Iwan Falls dengan lagu “Manusia
Setengah Dewa”-nya. Atau, bagaimana dengan berbagai peraturan sensor
yang melarang para sineas untuk melakukan ini dan itu, dan bahkan UU
Perfilman mengharuskan seorang sineas harus melapor ke pemerintah
sebelum membuat film, apa itu kira-kira dapat menciptakan kreatifitas?
Jika kita telusuri, adalah fakta bahwa kelompok yang memberikan
kreatifitas berkreasi dan berekspresi sebesar-besarnya adalah kelompok
yang paling kreatif. Hal ini juga saya alami sebagai guru. Ketika
siswa saya biasakan dengan sistem dikte, maka terjadilah stagnansi,
tetapi jika saya merdekakan mereka tetapi tetap terarah pada satu
tujuan, maka ide itu muncul dengan sendirinya. Sehingga saran saya
bagi Ibu Menteri, jika beliau menginginkan industri kreatif kita maju, merdekakanlah seniman. Lindungi mereka dari intimidasi siapa saja,
bahkan intimidasi sensor dari pemerintah, dan Ibu Menteri pun tidak
perlu ke Korea Selatan.
No comments:
Post a Comment