Sunday, January 6, 2013

Sebuah Desa Bernama Indonesia



Adalah sebuah desa yang dipenuhi oleh peternak domba. Di desa tersebut terletaklah bukit hijau yang indah tempat para petani biasa memberi makan domba-domba mereka. Bukit ini dimiliki oleh seorang Wali Kota yang bijak yang tinggal di kota dekat desa tersebut dan Wali Kota yang bijak ini memutuskan agar setiap petani yang mampu membayar sejumlah uang untuk bisa memiliki sebidang tanah pada bukit yang indah ini. Demikianlah setiap peternak yang memiliki uang membeli tanah ini. Yang tidak memiliki uang menjual sebagian domba mereka hingga mereka memiliki cukup uang untuk membeli sebidang tanah di bukit ini agar mampu memberi makan domba mereka. Para peternak yang rajin memelihara dan menjaga dombanya menghasilkan lebih banyak domba dan mampu membeli tanah yang lebih luas. Ada peternak yang pada awalnya membeli tanah tetapi lama-kelamaan mereka menyadari bahwa mereka lebih baik menjadi penenun wol dari pada peternak domba, dan merupakan keputusan yang lebih bijak jika menjual tanah mereka pada peternak yang berbakat dan berkonsentrasi menjadi penenun wol. Demikianlah masing-masing orang memiliki apa yang sepantasnya mereka miliki, dan masing-masing menjaga keindahan dan kesuburan rumput di bukit tersebut, dan bukit itu menjadi lebih hijau, hidup, dan asri dari hari ke hari.

Sebelum kematiannya sang wali kota mengunjungi desa tersebut dan puas dengan apa yang dia lihat. Dia memutuskan agar para penduduk desa bisa membentuk pemerintahan dan hukumnya sendiri. Para penduduk desa tersebutpun duduk bersama dan mulai membicarakan nasib dari sumber daya mereka yang utama; bukit yang subur nan hijau. Beberapa pemikir di desa tersebut mulai mengemukakan pendapat seperti ini: bahwasanya bukit tersebut dulunya adalah milik bersama semua penduduk desa. Dan betapa indahnya saat itu ketika petani siapapun berhak untuk datang dan memberi makan ternaknya secara cuma-cuma di bukit tersebut. Betapa eratnya persatuan para penduduk desa tersebut karena mereka tidak perlu membeli dan menjual bidang tanah di bukit itu, dan demi menjaga persatuan setiap penduduk desa, demi kebaikan yang lebih besar bagi semua penduduk, demi keadilan dan mencegahnya eksploitas bersifat egoistis dari pemilik bidang tanah, demi kesejahteraan bersama semua penduduk, maka lebih baik jika bukit ini dimiliki oleh seluruh penduduk desa.

Demikianlah setiap orang menjadi pemilik bukit ini dan siapa saja berhak memberi makan ternak di bukit tersebut. Para petani yang dulunya adalah penenun melihat kesempatan yang lebih baik untuk menjadi peternak dan setiap orang di desa tersebut merasa bahwa adalah hal yang baik jika mereka memanfaatkan sebesar-besarnya kesempatan tersebut. Tiba-tiba saja setiap orang berebutan memberi makan ternak mereka, tetapi tidak ada satu pun yang terpikir bahwa suatu saat bukit tersebut bisa gundul. Beberapa orang yang dulunya memiliki bukit tersebut merasa bertanggung jawab untuk menanam kembali rumput dan mengendalikan jumlah penggunaan rumput di bukit tersebut, tetapi ketika mereka melihat peternak lain dengan lebih sigap memanfaatkan rumput gratis, mereka merasa bahwa usaha mereka hanya mendatangkan kesenangan bagi orang lain dan merugikan mereka. Mereka melihatnya sebagai ketidakadilan dan memutuskan berhenti untuk memelihara bukit tersebut, karena bagi keuntungan pribadi mereka adalah lebih baik untuk memberi makan sebanyak-banyaknya hewan ternak mereka sebelum seluruh bukit tersebut menggundul.

Satu angkatan berlalu dan bukit yang dulunya asri sekarang mulai hilang kehijauannya. Hal ini mengkhawatirkan para penduduk desa dan sekali lagi mereka memutuskan untuk bertemu dan membahas masa depan bukit mereka. Sayangnya, pada saat itu tidak ada diantara mereka yang hidup dan melihat betapa indah dan hijaunya bukit tersebut ketika masa pemerintahan sang Wali Kota yang bijak, dan mereka lupa bahwa pada zaman itu kehijauan bukit tersebut dihasilkan oleh orang-orang yang secara sah berhak memiliki dan dengan demikian, merawat bukit tersebut. Sehingga pada akhir pertemuan mereka datang dengan satu solusi; setiap penduduk akan dibatasi jumlah ternaknya yang bisa diberi makan di bukit tersebut. Untuk menjaga agar tidak ada yang memberi makan melebihi jumlah tersebut mereka akan membentuk Polisi desa yang dipimpin oleh kepala desa, yang tugasnya adalah menangkap dan menghukum siapa saja yang melanggar ketentuan itu. Pada awalnya semua merasa senang, tetapi yang lebih senang adalah keluarga kepala desa, karena sekarang dia menjadi orang yang lebih berkuasa, bukan sekedar menjadi penjaga keamanan desa, tetapi sebagai pengendali sumber daya alam utama di desa tersebut: bukit penuh rumput. Yang sangat merasa tidak senang dengan keputusan ini adalah mereka para pekerja keras, yang dengan kerja keras memiliki lebih banyak domba dibandingkan peternak lain. Mereka merasa ini ketidak adilan karena secara tidak langsung keputusan ini memaksa mereka untuk mengurangi kerja keras mereka dan membatasi potensi kemampuan mereka. Tetapi mereka punya rencana lain.

Waktu berjalan dan pada awalnya hukum baru ini dituruti. Tetapi para pengambil kesempatan, apalagi yang mau menghalalkan segala cara untuk melancarkan kepentingannya, melihat celah dalam kecurangan hati manusia. Orang kaya dari kota melihat kesempatan. Mereka tahu bahwa dengan harga yang tepat, siapa saja bisa dibeli dan dengan demikian mereka mulai mendekati si kepala desa. Mereka memberi ide bagi kepala desa bahwa mereka akan membeli bagian dari ternak orang lain untuk ditempatkan disana. Kepala Desa tahu bahwa itu adalah kecurangan, tetapi dengan penawaran yang tepat hati nuraninya bisa dilencengkan. Uang diberikan kepadanya dan para polisi yang menjaga bukit. Uang itu bukan hanya mampu membeli kepala desa tetapi semua petugas polisi yang ada disana, dan hati nurani mereka sekarang tidak mampu lagi membedakan mana yang baik dan buruk. Uang yang mudah didapat sekarang menjadi segalanya. Kepala Desa sekarang menjadi orang yang kuat, dengan semua polisi dibawahnya. Beberapa penduduk melihat praktek kotor ini dan menyatakan ketidaksetujuannya. Tetapi kepala desa sekarang terlalu kuat. Digunakannya kekuatannya untuk mengasingkan dan mengintimidasi orang-orang yang berani menentangnya. Karena mereka tidak punya kekuatan, mereka disingkirkan dan yang lain hanya bisa berdiam diri, takut untuk melawan dan mereka berpikir bahwa hal yang paling baik untuk dilakukan sekarang adalah diam dan ikut ambil bagian dalam permainan kotor ini.

Tetapi kepala desa menjadi lebih rakus dan rakus. Sekarang dia pun ingin mengambil bagian lebih dari permainan ini. Sebagaimana sejarah telah membuktikan lagi dan lagi, bahwa bahkan orang terkuat sekalipun tidak mampu mengalahkan dirinya sendiri, kepala desa pun demikian. Kebijaksanaannya sekarang telah pupus karena tidak ada yang mengendalikan kekuasanaannya. Menyadari bahwa Dia akan mati dan bahwa dia mungkin saja tidak bisa menikmati atau mewariskan kekuasaannya atas bukit itu, dia gunakan sebisa mungkin bukit yang dari hari ke hari makin hilang kesuburannya ini, yang makin tidak tertata dan buruk rupa. Pada saat itu, lebih banyak penduduk desa yang melihat kejahatan ini dan ketika mereka punya cukup banyak penduduk, mereka menyerang rumah kepala desa dan memintanya diganti. Polisi yang selama ini setia kepada kepala desa merasa bahwa mereka tidak akan mampu membendung jumlah penduduk yang terlalu banyak dan memutuskan berpihak kepada penduduk (walaupun selama ini mereka telah mengambil bagian dalam permainan korup dan kotor kepala desa dan kroninya, dan telah menjadi kaya oleh itu).

Kepala desa berhasil melarikan diri dan digulingkan kekuasaanya dan sekarang penduduk secara keseluruhan telah berkuasa. Mereka memutuskan untuk membentuk lagi sistem pemerintahan yang baru yang kali ini mereka harapkan bisa lebih bersih dan bertanggung jawab pada rakyatnya. Mereka merancang agar seorang kepala desa dipilih oleh penduduk dan hanya boleh berkuasa tidak lebih dari lima tahun, dan disamping kepala desa, kekuasaan untuk membuat peraturan diberikan pada sekelompok dewan desa yang dipilih oleh penduduk.  Tetapi masalahnya, bukit tersebut tetap menjadi milik semua orang. Tidak lama setelah kepala desa dan dewan desa serta ketua dewan desa yang baru terpilih, godaan untuk memanfaatkan kekuasaan atas bukit tidak tertahankan, akan tetapi kali ini mereka masing-masing menyadari kekuasaan mereka terbagi dan masing-masing bisa mencegah satu sama lain untuk berkuasa. Tetapi bukit itu terlalu berharga untuk dilewatkan godaannya dan sebagaimana sebelumnya, selama manusia mengelilingi dirinya dengan godaan, tidak akan perlu waktu lama baginya untuk jatuh. Dan kepala desa baru mengatur agar semua orang bisa disuap. Pendekatan yang penuh tipu daya dan bujuk rayu dia lancarkan. Tetapi dalam hal ini, cerita saya kurang jelas, karena kita tidak pernah tahu, siapa yang memulai ide untuk saling menyuap ini. Ada yang berkata, ketua dewan desa, ada yang berkata bahwa sang kepala desa, yang mulai mendekati satu sama lain, tetapi yang jelas persekongkolan itu pun terjadi. Kepala Desa memastikan bahwa siapa saja yang mau membayar, mereka bisa memiliki akses untuk memanfaatkan bukit ini sepuas-puasnya. Uang (dan segala bentuk penyuapan lain; rumah, domba, wanita) yang didapatkan dibahagikan kepada anggota dewan desa untuk memastikan agar mereka menurut dan tidak membuat hukum baru yang menyulitkan semua orang yang menjalankan skema korup ini. Anggota dewan desa akan kemudian menggunakan sebagian uang tersebut untuk membayar penduduk pada waktu pemilihan sehingga memastikan mereka terpilih kembali untuk menjabat sebagai anggota dewan desa.

Pada awalnya ada beberapa anggota dewan yang menolak godaan ini, tetapi satu persatu mereka jatuh, karena godaan yang berlebihan. Dan perlahan tapi pasti, ketika lebih banyak orang menjadi gila, maka kewarasan akan dianggap sebagai kegilaan. Kejujuran dianggap sebagai kemunafikan dan usaha mencari muka. Orang yang mau jujur dianggap sebagai pembuat onar dan pencari masalah. Ketulusan dalam melayani penduduk dianggap sebagai ketidak warasan dan ketidak jujuran. Orang-orang ini disingkirkan atau diacuhkan. Ada yang mencoba tetap bertahan tetapi ketika mereka melihat kesenangan yang didapatkan sejawat mereka, hati nurani mereka tidak mampu bertahan dan akhirnya mereka terhisap oleh lingkaran setan ini.

Tetapi ada satu perubahan yang lebih mengerikan. Masing-masing pejabat desa merasa bahwa pembatasan masa jabatan mereka berarti masa mereka memanfaatkan rumput dan bukit tersebut juga terbatas, sehingga dalam masa waktu yang terbatas tersebut mereka harus bisa memanfaatkannya sebisa mungkin. Para penyuap pejabat desa juga berpikiran yang sama. Mereka khawatir jika suatu hari pejabat yang terpilih sudah tidak mau disuap lagi, atau tidak bersahabat dengan mereka sehingga memilih menerima suap dari peternak besar yang lain. Mereka juga berpikir bahwa dalam masa waktu yang terbatas tersebut mereka harus bisa memanfaatkan bukit tersebut semaksimal mungkin, karena apapun yang mereka lakukan bukit tersebut bukanlah milik mereka selamanya. Jadi masing-masing dengan keserakahannya menjarah segala yang mereka bisa jarah dari bukit tersebut secepat dan semampu mereka. Tahun berganti, pejabat menjadi kaya, rakyat biasa menjadi lebih miskin. Bukit yang dulunya indah dan asri, yang dijaga oleh pemiliknya, sekarang mulai hancur lebur. Demikianlah tahun berganti, penguasa desa berganti, tetapi selama bukit tersebut adalah “milik bersama” maka berarti “tidak ada pemilik”. Yang memiliki adalah yang berkuasa, dan setiap penguasa yang berganti, tidak ada yang mampu untuk merubah budaya kotor setiap orang yang berdasarkan instinct-nya harus serakah. Sampai suatu hari rumput di bukit itu habis, dan yang tersisa adalah beberapa buah pohon besar, tempat dulu para peternak biasa beristirahat. Pohon ini pun dipotong oleh penyuap yang berdalih bahwa pohon tersebut mengandung kandungan yang berbahaya bagi domba-domba yang hidup disekitar bukit. Kayunya dijual, dan uangnya dibagi-bagikan untuk kesenangan penyuap dan pejabat.

Suatu hari hujan lebat melanda desa tersebut. Tanaman yang selama ini menopang tanah di bukit sekarang sudah hilang, dan yang terburuk pun terjadi. Banjir dan longsor dari bukit menutupi seluruh desa, ratusan orang kehilangan nyawa. Sebulan dari situ rakyat berkumpul sekali lagi untuk membahas apa yang sebenarnya terjadi. Mereka mulai berdebat apa yang sebenarnya menjadi penyebab semua ini. Mereka mulai menyalahkan kejahatan dan keburukan manusia. Ada yang menyalahkan desa sebelah, ada yang menyalahkan kota tetangga, karena dari situlah para pengusaha yang menyuap pejabat desa kebanyakan datang. Mereka mengatakan bahwa ini adalah program terencana masyarakat kota tersebut untuk menghancurkan desa mereka. Alasannya bermacam-macam; karena kota merasa iri dengan domba mereka, karena orang-orang kota tahu ada harta karun tersimpan diatas bukit tersebut, karena orang kota punya cara berpakaian berbeda dengan desa tersebut, karena desa tersebut dulunya adalah bagian dari kota tersebut sehingga sekarang mereka ingin menguasainnya kembali. Berbagai macam omong-kosong ini terus dicekoki ke otak para penduduk desa yang sekarang sudah setengah gila dan telah menggantung sampai mati semua anggota dewan desanya. Dan sekarang mereka bersiap untuk aksi yang lebih gila. Petani dan peternak miskin ini mengambil apa saja yang bisa membunuh di rumah mereka dan berbaris menuju kota untuk menyerang kota tersebut, sampai akhrinya mereka di hentikan oleh tentara penjaga kota. Mereka ditawan dan dibawa didepan pengadilan kota.

Mereka mulai mengangkat sejarah keindahan desa mereka, dan bagaimana desa mereka yang begitu indah dan begitu makmur sampai akhirnya mereka memutuskan untuk memisahkan diri dari kota tersebut, dan bagaimana kelompok orang kaya dari kota melaksanakan rencana jahat mereka sehingga desa itu sekarang hancur dan bertekuk lutut. Hakim kota mendengar keluh kesah mereka dengan tenang. Dia adalah orang terpelajar yang tau sejarah yang benar dari kota tersebut. Setelah penduduk desa selesai berbicara, sekarang saatnya untuk dia menjelaskan duduk persoalan sebenarnya.

“Wahai penduduk desa” serunya. “Tahukah kalian sejarah sebenarnya bukit yang kalian miliki itu? Yang dulunya begitu indah dan terawat, yang adalah bagi kalian, dan memang benar, sumber kecemburuan desa lain. Yang adalah sumber kehidupan dan kesejahteraan, keindahan dan kesuburan. Bukit itu dulunya adalah milik dari walikota kami. Dengan kebaikannya dia berikan bukit itu untuk siapa saja yang mau mengurus bukit tersebut. Tetapi suatu saat, entah karena kebijaksanaan dari iblis mana, kalian menjadikannya milik bersama. Hal itu membuat yang rajin memelihara keindahan bukit tersebut, yang secara alamiah merasa terpanggil untuk memelihara bukit tersebut karena itu adalah miliknya dan dia serta keturunannya akan diuntungkan jika mereka merawat bagian dari bukit tersebut yang mereka miliki, mereka itu yang adalah penyelamat bukit tersebut, berhenti untuk menjaga lagi bukit itu. Apa yang terjadi, kalian membiarkan para penjahat memelihara bukit tersebut. Mereka menjadi penjahat bukan karena mereka pada dasarnya jahat. Tetapi karena bukit tersebut kalian jadikan godaan yang begitu besar untuk orang menjadi pendosa. Tidak terpikirkah kalian, kenapa desa tetangga kalian yang begitu indah dan asrinya, yang tidak dianugerahi oleh pencipta dengan bukit seindah bukit kalian, tetapi bisa lebih kaya dan bahagia dari kalian? Mereka menjadi bahagia bukan karena kami tidak membenci mereka. Desa tersebut juga berpakaian berbeda dengan kami, juga dulunya adalah bagian dari kota ini, tetapi mereka sejahtera, dan kami tidak membenci mereka. Tidakah kalian sadar bahwa kalian sendirilah sumber penderitaan itu, dan dalam penderitaan tersebut kalian begitu bodoh dan tak mampu melihat sumber penderitaan itu mulai mencari alasan-alasan yang tidak karuan.”

“Kalian lihat sungai yang mengalir yang membelah kota ini? Yang menjadi sumber kemegahan kota ini? Dulunya sungai ini hampir menjadi sumber kehancuran kami sebagaimana bukit kalian itu. Leluhur kami merasa bahwa sungai ini adalah anugerah Tuhan, dan seharusnya tidak boleh satu orang pun memilikinya. Jadi kami putuskan agar tanah sekitar sungai tidak boleh dimiliki oleh satu orangpun tetapi menjadi milik bersama dengan walikotanya sebagai penyelia. Tetapi bukannya sungai ini menjadi indah, kami malah menghancurkannya. Karena tidak ada yang memiliki tanah ini, orang mulai membuang sampah disekitarnya. Tidak ada lagi yang menjaga dan merawat tepian sungai. Pemukim liar entah dari mana mulai berdatangan. Walikota mulai mengusir, tetapi mereka datang lagi. Dan kami harus mengeluarkan biaya yang begitu besar untuk mengusir dan menjaga tepian sungai yang dulunya begitu indah ini. Orang-orang tidak memperdulikan apa  yang dibuang kedalam sunga-sungai itu, karena tidak ada yang dipengaruhi oleh kehidupan ditepian sungai. Tetapi kerusakan yang paling utama adalah pada hati nurani kami. Penguasa yang seharusnya menjadi pengayom, kami rubah menjadi penadah kesempatan, kesempatan untuk merusak sungai kami. Sampai akhirnya kami putuskan; bukan setiap orang bisa memiliki sungai ini, tetapi setiap orang yang mau berkorban harus bisa memiliki sungai ini, dan dengan demikian mereka akan menjaganya. Kami bersyukur bahwa leluhur kami cukup bijak untuk melakukan ini.”

“Nah, sekarang aku ingin kalian kembali ke desa kalian dan mulai merawat apa yang tersisa dari kalian. Kalian telah diberikan kesempatan untuk belajar kali ini, dan jangan pernah sekali lagi mengulangi kesalahan itu. Aku hanya bisa berdoa bagi jiwa yang hilang, dan meratap dengan kalian.” Demikianlah hakim tersebut mengakhiri pidatonya dan seluruh penduduk desa pulang dengan kepala tertunduk.

Pembaca yang terhormat, cerita diatas adalah tentang bangsa kita; Indonesia. Ketika mendirikan bangsa ini, pendiri bangsa kita berharap bahwa bangsa ini akan menjadi lebih berkeadilan dan berkesejahteraan jika sumber daya dikuasai Negara untuk kesejahteraan bersama. Ini mereka tuangkan dalam Undang-undang dasar Negara kita dalam pasal 33 ayat 3; “Bumi dan Air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Tetapi dengan semua itu, bukanlah kecelakaan jika bangsa kita adalah salah satu yang terkorup didunia. Bukanlah takdir jika begitu banyak saudara-saudara sebangsa kita hidup dibawah garis kemiskinan. Bukanlah takdir jika begitu banyak pelanggaran hak asasi manusia terjadi di negeri ini. Kasus perselisihan tanah antara penduduk dengan perusahaan tambang (Bima, Picuan, Papua – Freeport), kasus penebangan hutan liar yang disponsori oleh pejabat, kasus korupsi di BUMN, tidak terjadi karena kesialan bangsa ini. Semua terjadi karena kepimilikan bersama, dimana pejabat sebagai penyelia milik bersama ini, dan mereka hidup ditengah godaan ini terus menerus.

Bukanlah karena kesialan jika bangsa lain punya De’beers, Freeport, Newmont, Exon, BP, Total, Shell, dan kita tidak punya satupun perusahaan yang mampu menyamai mereka.  Mari kita kembali ke fitrah segala hal: sumber daya adalah milik yang paling layak memilikinya, yaitu orang yang mau berusaha untuk memilikinya. Negara ini adalah milik rakyat Indonesia, sekali lagi milik rakyat Indonesia, bukan milik seluruh rakyat Indonesia. Apa yang anda rasakan jika Istri anda dinyatakan sebagai milik bersama? Demikian juga halnya jika ada yang menyatakan isi tanah anda adalah milik bersama. Itu adalah tidak adil, tidak bermoral, dan menciptakan kekacauan, kebiadaban, dan kemiskinan.

Sumber kemiskinan dan kesialan bangsa ini adalah satu kalimat dalam hukum kita: “bumi dan air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.